Kamis, 03 Mei 2012

TAN MALAKA: Bapak Republik yang Dilupakan

MADILOG (Materialisme, Dialektika, Logika): Naskah dari Rawajati
Di desa Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di Kalibata, Jakarta, ia menyewa gubuk bambu. Pada sepetak ruang sekitar 15 meter persegi. Di rumah itulah, Ibrahim Datuk Tan Malaka, dari pulul enam pagi hingga pukul 12 siang, berkutat merangkum gagasan dan pikirannya.
Kelak sebuah pikiran itu mewujud dalam sebuah buku termasyur: Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Tan menulis Madilog sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943.
Selama bermukim di Rawajati, ia kerap menyambangi Museum Bataviaashe Genootschap van Kunsten en Wetenschappen-sekarang Museum Nasional-untuk mencari dan membaca naskah rujukan. Ke museum kini yang terletak di seberang Monumen Nasional itu ia sering berjalan kaki, kadang butuh waktu empat jam.
Bila hendak ke sana, Tan bangun pukul setengah lima subuh. Tiba di museum sekitar pukul sembilan, ia biasanya tak lebih dari satu jam di perpustakaan. Setelah sebentar mempelajari keadaan di kota, "Sorenya kembali jalan kaki menuju sarang saya di Kalibata," tulis Tan dalam memoranya, Dari Penjara ke Penjara II.
Sejarawan Belanda, Harry Albert Poeze, mengatakan Madiolog merupakan bentuk pikiran yang telah lama mengendap bertahun-tahun dalam diri Tan Malaka. Tan merangkum pemikirannya dari hasil bacaan selama pengembaraan di Belanda, Cina, Singapura.
Tan tidak mencantumkan sumber rujukan dalam Madilog. Jilid pertama seluruhnya ditulis berdasarkan ingatannya. Selanjutnya, Tan Menggunakan rujukan dari perpustaakan di museum yang dikunjunginya. "Tan ingin mengelakkan kesan bahwa Madilog sepenuhnya buah pikirannya sendiri," kata Poeze.
Istilah Madilog merujuk pada cara berpikir, bukan pandangan hidup. Poeze, dalam bukunya, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945, mengatakan inti Madilog adalah penglihatan masa depan Indonesia yang merdeka dan sosialis. "Tulisan ini merupakan karya orisinal Tan Malaka," ujar Poeze.
Selama menulis Madilog, Tan selalu berdiskusi dengan sejumlah pemuda. Dia banyak bercerita tentang kesengsaraan penduduk di bawah penguasaan Jepang. Karena aktivitas inilah, Asisten Wedana Pasar Minggu pernah datang dan menggeledah gubuknya.
Karena tidak menemukan sesuatu, Asisten Wedana itu kemudian meminta maaf kepada Tan. Sang pejabat tidak tahu Tan telah menyembunyikan kertas-kertasnya dikandang ayam
Tan Malaka membawa naskah Madilog ke Bayah Selatan. Madilog juga dibawanya berpetualang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tan Malaka baru memperkenalkan Madilog tiga tahun setelah kemunculannya.
Ia menulis, "Kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan saksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya".A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar