A. Timbulnya Agama Islam dan Pesantren di Indonesia.
*
Kemunculan agama Islam dengan lembaga pendidikannya pesantren di
Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari kondisi perdagangan
internasional antar benua di dunia pada abad ke-13 begitu ramai lalu
lintasnya. Konsekuensi dari perkembangan perdagangan internasional
tersebut, Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan budaya berlimpah
menarik banyak pedagang asing yang meluaskan areal perdagangannya untuk
datang ke Indonesia. Bukan sekedar saudagar Cina, tetapi juga terdapat
sekelompok pedagang yang berasal dari daerah Gujarat, India maupun Timur
Tengah yang mengadakan kontak secara teratur dengan pedagang Indonesia
yang berasal dari Sumatera dan Jawa. Terutama dari saudagar-sudagar dari
Gujarat dan Timur Tengah yang memeluk agama Islam kemudian menjadi
salah satu faktor lahirnya agama Islam di Nusantara.
Dapat dikatakan
sebelum Islam masuk, pusat pemerintahan atau suatu kerajaan berada di
wilayah pedalaman, seperti Singosari ataupun Majapahit. Sementara
kerajaan-kerajaan di wilayah pesisir hanyalah bawahan dari kerajaan di
pedalaman tersebut.
Kondisi itu sebenarnya sangat kontras bagi
kelangsungan suatu pemerintahan untuk stabil dan bisa mengikuti
perkembangan zaman, karena para pedagang asing lebih banyak berhubungan
dengan kerajaan-kerajaan pesisir yang wilayahnya merupakan jalur
terdekat dari perdagangan internasional. Ditambah lagi ada ketegangan
yang diam-diam dapat meledak menjelang akhir dari pemerintahan kerajaan
Majapahit, antara kerajaan pesisir dengan pusat kerajaan di pedalaman.
Maka kedatangan agama Islam yang dibawa oleh pedagang Gujarat dengan
nilai-nilai budaya baru, disambut dengan hangat dan diterima dengan baik
oleh kerajaan pesisir. Salah satu motivasinya agar kerajaan-kerajaan
pesisir tersebut dapat melepaskan diri dari belenggu pajak dan upeti
kerajaan pedalaman yang saat itu mulai tidak berfungsi dengan baik
sebagai pemerintahan yang mengayomi rakyatnya. Faktor-faktor politis
inilah yang mendorong kerajaan-kerajaan Islam di pesisir, seperti Demak,
Banten, yang kemudian berangsur-angsur dapat menggeser kedudukan
kerajaan pedalaman, seperti Majapahit yang masih beragama Hindu.
Peralihan pusat kekuasaan tersebut menjadikan penyebaran agama Islam
lebih berkembang pesat menyebar ke seluruh wilayah Nusantara terutama
Jawa.
*
Walaupun sebenarnya tanda-tanda adanya agama Islam di
Tanah Air dapat ditelusuri pada tahun 1082 dengan adanya batu nisan
seorang istri pedagang Islam di Gresik (Jawa Timur), kerajaan Islam
tertua di Indonesia adalah Perlak di Aceh, didirikan pada 1292 dan
kemudian Samudra Pasai (1297). Pengembara Eropa terkenal, Marco Polo
pernah mengunjungi kerajaan-kerajaan tersebut dan mengutarakan pula
tentang peranan pedagang-pedagang Gujarat dari India.
Dengan kata
lain, penyebaran agama Islam data ke Indonesia melalui pusat-pusat
perdagangan di daerah pantai Sumatera Utara dan melalui urat nadi
perdagangan di Malaka. Kemudian, menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya
ke Indonesia bagian timur. Walaupun disana-sini terjadi peperangan,
secara menyeluruh, masuknya agama Islam ke Indonesia dan peralihan dari
agama Hindu ke Islam berlangsung secara damai dan tenang (Depdikbud,
1985: 63-64).
*
B. Jenis Pendidikan Islam
Jenis pendidikan Islam di Indonesia pada zaman tersebut dapat dibedakan menjadi:
1. Pendidikan Langgar
Hampir di setiap desa di Pulau Jawa terdapat tempat peribadahan. Di
tempat tersebut, umat Islam dapat melakukan ibadahnya sesuai denga
perintah agamanya. Tempat tersebut dikelola seorang petugas yang disebut
"amil", "modin", "lebai" (Sumatera). Petugas tersebut bertugas ganda;
yaitu memimpin dan memberikan do'a pada waktu hajat upacara keluarga
atau desa, dan jugga bertugas sebagai pendidik agama.
Apa yang
diajarakan di langgar merupakan pelajaran agama dasar, mulai dari
pelajaran dalam huruf Arab, tapi tak jarang pula dilakukan secara
langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibacakan dari
kitab Al-Qur'an. Tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar adalah
murid dapat membaca dan lebih tepat melagukan menurut irama tertentu
seluruh isi Al-Qur'an.
Pola pengajarannya dengan jalan; murid-murid
diajar secara individual, yaitu menghadap para guru satu persatu.
Sementara murid-murid lain yang belum mendapat giliran maju menghadap
guru, duduk bersila melingkar dengan tetap berlatih melagukan ayat-ayat
suci. Dalam hal ini guru melakukan koreksi kepada bacaan murid-murid
yang salah melafalkannya. Pelajaran biasanya diberikan pada pagi hari
(setelah shubuh) atau petang hari (sesudah atau sebelum maghrib). Proses
tersebut biasa selesai atau dapat diselesaikan selama beberapa bulan,
tetapi umumnya sekitar 1 tahun.
Para santri yang belajar di langgar
tersebut tidak dipungut biaya uang sekolah. Kalaupun ada uang sekolah
yang diberikan itu tergantung kepada kerelaan orangtua murid yang dapat
memberikan tanda mata berupa benda-benda "in natura" atau uang.
Sementara kalau orangtuanya miskin, anaknya dapat mengikuti pelajaran
tanpa membayar. Sesudah murid menyelesaikan pelajaran dalam arti tamat
membaca Al Qur'an, biasanya diadakan selamatan dengan mengundang makan
teman-teman murid atau kerabat dekat, di rumah guru atau di langgar.
Hubungan antara murid dan guru pada umumnya berlangsung terus walaupun
murid kemudian meneruskan pendidikan pada lembaga pendidikan yang lebih
tinggi. (Depdikbud, 1985: 64-65).
2. Pendidikan Pesantren
Di
dalam sistem pengajaran pesantren ini, para santri yaitu murid--murid
yang belajar di asramakan dalam suatu kompleks yang dinamakan "pondok".
Pondok tersebut dapat dibangun atas biaya guru yang bersangkutan ataupun
atas biaya bersama dari masyarakat desa pemeluk agama Islam. Di samping
pondok pesantren tersebut juga terdapat tanah bersama yang dipergunakan
untuk usaha bersama antara guru dan santri. Para santri belajar pada
bilik-bilik terpisah dan belajar sendiri-sendiri, tetapi sebagian besar
waktunya dipergunakan untuk bekerja di luar ruangan, baik untuk
membersihkan ruangan, halaman atau bercocok tanam. Mereka pada umumnya
telah dewasa dan dapat memenuhi kebutuhan sendiri, baik dari bantuan
keluarganya, atau telah mempunyai penghasilan sendiri.
Adakalanya,
untuk memenuhi kebutuhan pesantren secara keseluruhan, para santri kerap
bergerak ke luar pesantren untuk mencari dana pada umat Islam. Dan pada
umunya masyarakat dengan sukarela dan hati terbuka memberikan dana atau
materi yang diperlukan.
Besar kecilnya atau dalam dangkalnya bahan
studi yang diberikan pada pesantren tergantung pada kiai dan pondok
pesantren tersebut. Ada pondok pesantren yang diikuti oleh 8 sampai
dengan 10 orang. Akan tetapi, ada pula pesantren yang diikuti oleh
ratusan murid. Luas dan sempitnya bahan studi tidak sama, tetapi
semuanya telah mendapatkan pendidikan dasar pada langgar-langgar
setempat. Lama berlangsungnya pendidikan di pesantren juga tidak sama.
Ada yang belajar hanya satu tahun, tetapi ada pula yang belajar
bertahun-tahun hingga 10 tahun atau bahkan lebih.
*
Gambaran mengenai pelajaran pada pesantren sehari-hari, diperkirakan sebagai berikut:
Pada waktu shubuh di pagi hari setelah sembahyang, para santri
melakukan pekerjaan kerumah-tanggaan untuk kepentingan guru, seperti
membersihkan halaman, mengerjakan sawah atau ladangg, mengisi bak kamar
mandi, dan sebagainya. Harus diingat bahwa guru tidak memperoleh imbalan
dari para murid secara teratur. Sesudah itu, baru diberikan pelajaran
utama diseling dengan belajar sendiri. Pada siang hari, murid-murid
beristirahat dan pada waktu petang, belajar melakukan ibadah agamanya,
yaitu sembahyang (shalat). Pelajaran utama yang diberikan adalah dogma
keagamaan (ushuluddin), yaitu dasar kepercayaan dan keyakinan Islam, dan
fiqih: yaitu kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan bagi pemeluk
agama Islam, meliputi;
1. Syahadat, yaitu mengucapkan kalimat bahwa
tidak ada Tuhan yang harus disembah kecuali Allah dan Nabi Muhammad
adalah utusannya.
2. Menjalankan shalat.
3. Membayar zakat kepada fakir miskin.
4. Berpuasa pada bulan Ramadhan.
5. Pergi naik haji bagi yang mampu.
*
Dalam kompleks pesantren terdapat tempat kediaman para guru beserta
keluarganya dengan semua fasilitas rumah tangga dan tidak ketinggalan
masjid yang dipelihara dan dikelola bersama. Pendidikan dan pengajaran
di langgar dan di pesantren adalah suatu sistem yang diketemukan di
Jawa. Di Sumatera khususnya di daerah Minangkabau, terdapat suatu sistem
yang berada di antara sistem tersebut. Pendidikan dan pelajaran agama
yang diberikan melalui suaru-surau yang sebenarnya sama saja dengan
langgar atau masjid di Jawa. Perbedaan antara pendidikan dasar dan
lanjutan seperti yang ada di Pulau Jawa tidak nampak walaupun ada
surau-surau kecil yang memberikan pelajaran secara mendasar.
Sementara di Aceh terdapat suatu sistem yang mirip dengan surau di
Sumatera Barat, dinamakan "rangkang". Sama halnya denga langgar atau di
surau, para murid duduk di sekelilingi guru, kemudian diajar serta
dijelaskan satu per satu menurut gilirannya (Depdikbud, 1985: 65-68).
*
3. Pendidikan Madrasah
Kemunculan pendidikan Islam di Indonesia tipe madrasah menurut data
dari buku terbitan Depdikbud dihubungkan dengan sosok seorang menteri
terkenal dari dunia Arab bernama Nizam el-Mulk (abad ke-11) sebagi
pendiri lembaga pendidikan madrasah. Tokoh ini mengadakan pembaruan
dengan memperkenalkan sistem pendidikan yang semula bersifat murni
teologi (ilmu ketuhanan) dan menambahkan ilmu-ilmu yang bersifat
keduniawian, seperti astronomi (ilmu perbintangan) dan ilmu obat-obatan.
Di dalam perkembangannya, madrrasah ini ada yang berjenjang sejajar
dengan pendidikan dasar dan menengah.
Jika dibandingkan antara
sistem pendidikan di pesantren dan madrasah terlihat bahwa pendidikan di
pesantren hubungan antara guru dan murid masih terpengaruhi ciri-ciri
khas perguruan di India yang berasal dari sistem pendidikan Hindu.
Guru-guru tidak dibayar langsung dan tunai, tetapi murid harus bekerja
bagi kepentingan guru dalam arti untuk kepentingan rumah tangga atau
keperluan sehari-hari guru.
Pencarian dana untuk keperluan pesantren
kepada umat Islam juga identik dengan cara kaum biarawan Hindu atau
Buddha mencari dana bagi keperluan biaranya. Di madrasah guru-guru
diperkenankan menerima imbalan dalam bentuk uang tunai secara tetap dari
orangtua murid. Selain itu, pesantren pendidikan dan pengajaran
keagamaan masih bersifat tetap dominan dibandingkan dengan ilmu
pengetahuan lainnya. Hubungan antara guru dan murid, baik dalam surau,
rangkang, langgar atau pesantren pada umumnya bersifat kekal. Bekas
murid akan selalu menghormati bekas gurunya dalam keadaan bagaimanapun
juga. Ciri-ciri tersebut terdapat pula pada perguruan di India. Pada
pendidikan di madrasah, hubungan antara guru dan murid agak longgar dan
tidak mendalam seperti halnya di pesantren.
*
Daftar Pustaka
Depdikbud. 1985. Pendidikan Indonesia Dari Zaman Ke Zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar