Kamis, 10 Mei 2012

SEJARAH PENDIDIKAN NASIONAL: Dari Masa Klasik Hingga Modern

A. Timbulnya Agama Islam dan Pesantren di Indonesia.
*
Kemunculan agama Islam dengan lembaga pendidikannya pesantren di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari kondisi perdagangan internasional antar benua di dunia pada abad ke-13 begitu ramai lalu lintasnya. Konsekuensi dari perkembangan perdagangan internasional tersebut, Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan budaya berlimpah menarik banyak pedagang asing yang meluaskan areal perdagangannya untuk datang ke Indonesia. Bukan sekedar saudagar Cina, tetapi juga terdapat sekelompok pedagang yang berasal dari daerah Gujarat, India maupun Timur Tengah yang mengadakan kontak secara teratur dengan pedagang Indonesia yang berasal dari Sumatera dan Jawa. Terutama dari saudagar-sudagar dari Gujarat dan Timur Tengah yang memeluk agama Islam kemudian menjadi salah satu faktor lahirnya agama Islam di Nusantara.
Dapat dikatakan sebelum Islam masuk, pusat pemerintahan atau suatu kerajaan berada di wilayah pedalaman, seperti Singosari ataupun Majapahit. Sementara kerajaan-kerajaan di wilayah pesisir hanyalah bawahan dari kerajaan di pedalaman tersebut.
Kondisi itu sebenarnya sangat kontras bagi kelangsungan suatu pemerintahan untuk stabil dan bisa mengikuti perkembangan zaman, karena para pedagang asing lebih banyak berhubungan dengan kerajaan-kerajaan pesisir yang wilayahnya merupakan jalur terdekat dari perdagangan internasional. Ditambah lagi ada ketegangan yang diam-diam dapat meledak menjelang akhir dari pemerintahan kerajaan Majapahit, antara kerajaan pesisir dengan pusat kerajaan di pedalaman.
Maka kedatangan agama Islam yang dibawa oleh pedagang Gujarat dengan nilai-nilai budaya baru, disambut dengan hangat dan diterima dengan baik oleh kerajaan pesisir. Salah satu motivasinya agar kerajaan-kerajaan pesisir tersebut dapat melepaskan diri dari belenggu pajak dan upeti kerajaan pedalaman yang saat itu mulai tidak berfungsi dengan baik sebagai pemerintahan yang mengayomi rakyatnya. Faktor-faktor politis inilah yang mendorong kerajaan-kerajaan Islam di pesisir, seperti Demak, Banten, yang kemudian berangsur-angsur dapat menggeser kedudukan kerajaan pedalaman, seperti Majapahit yang masih beragama Hindu. Peralihan pusat kekuasaan tersebut menjadikan penyebaran agama Islam lebih berkembang pesat menyebar ke seluruh wilayah Nusantara terutama Jawa.
*
Walaupun sebenarnya tanda-tanda adanya agama Islam di Tanah Air dapat ditelusuri pada tahun 1082 dengan adanya batu nisan seorang istri pedagang Islam di Gresik (Jawa Timur), kerajaan Islam tertua di Indonesia adalah Perlak di Aceh, didirikan pada 1292 dan kemudian Samudra Pasai (1297). Pengembara Eropa terkenal, Marco Polo pernah mengunjungi kerajaan-kerajaan tersebut dan mengutarakan pula tentang peranan pedagang-pedagang Gujarat dari India.
Dengan kata lain, penyebaran agama Islam data ke Indonesia melalui pusat-pusat perdagangan di daerah pantai Sumatera Utara dan melalui urat nadi perdagangan di Malaka. Kemudian, menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia bagian timur. Walaupun disana-sini terjadi peperangan, secara menyeluruh, masuknya agama Islam ke Indonesia dan peralihan dari agama Hindu ke Islam berlangsung secara damai dan tenang (Depdikbud, 1985: 63-64).
*
B. Jenis Pendidikan Islam
Jenis pendidikan Islam di Indonesia pada zaman tersebut dapat dibedakan menjadi:
1. Pendidikan Langgar
Hampir di setiap desa di Pulau Jawa terdapat tempat peribadahan. Di tempat tersebut, umat Islam dapat melakukan ibadahnya sesuai denga perintah agamanya. Tempat tersebut dikelola seorang petugas yang disebut "amil", "modin", "lebai" (Sumatera). Petugas tersebut bertugas ganda; yaitu memimpin dan memberikan do'a pada waktu hajat upacara keluarga atau desa, dan jugga bertugas sebagai pendidik agama.
Apa yang diajarakan di langgar merupakan pelajaran agama dasar, mulai dari pelajaran dalam huruf Arab, tapi tak jarang pula dilakukan secara langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibacakan dari kitab Al-Qur'an. Tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar adalah murid dapat membaca dan lebih tepat melagukan menurut irama tertentu seluruh isi Al-Qur'an.
Pola pengajarannya dengan jalan; murid-murid diajar secara individual, yaitu menghadap para guru satu persatu. Sementara murid-murid lain yang belum mendapat giliran maju menghadap guru, duduk bersila melingkar dengan tetap berlatih melagukan ayat-ayat suci. Dalam hal ini guru melakukan koreksi kepada bacaan murid-murid yang salah melafalkannya. Pelajaran biasanya diberikan pada pagi hari (setelah shubuh) atau petang hari (sesudah atau sebelum maghrib). Proses tersebut biasa selesai atau dapat diselesaikan selama beberapa bulan, tetapi umumnya sekitar 1 tahun.
Para santri yang belajar di langgar tersebut tidak dipungut biaya uang sekolah. Kalaupun ada uang sekolah yang diberikan itu tergantung kepada kerelaan orangtua murid yang dapat memberikan tanda mata berupa benda-benda "in natura" atau uang. Sementara kalau orangtuanya miskin, anaknya dapat mengikuti pelajaran tanpa membayar. Sesudah murid menyelesaikan pelajaran dalam arti tamat membaca Al Qur'an, biasanya diadakan selamatan dengan mengundang makan teman-teman murid atau kerabat dekat, di rumah guru atau di langgar.
Hubungan antara murid dan guru pada umumnya berlangsung terus walaupun murid kemudian meneruskan pendidikan pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi. (Depdikbud, 1985: 64-65).
2. Pendidikan Pesantren
Di dalam sistem pengajaran pesantren ini, para santri yaitu murid--murid yang belajar di asramakan dalam suatu kompleks yang dinamakan "pondok". Pondok tersebut dapat dibangun atas biaya guru yang bersangkutan ataupun atas biaya bersama dari masyarakat desa pemeluk agama Islam. Di samping pondok pesantren tersebut juga terdapat tanah bersama yang dipergunakan untuk usaha bersama antara guru dan santri. Para santri belajar pada bilik-bilik terpisah dan belajar sendiri-sendiri, tetapi sebagian besar waktunya dipergunakan untuk bekerja di luar ruangan, baik untuk membersihkan ruangan, halaman atau bercocok tanam. Mereka pada umumnya telah dewasa dan dapat memenuhi kebutuhan sendiri, baik dari bantuan keluarganya, atau telah mempunyai penghasilan sendiri.
Adakalanya, untuk memenuhi kebutuhan pesantren secara keseluruhan, para santri kerap bergerak ke luar pesantren untuk mencari dana pada umat Islam. Dan pada umunya masyarakat dengan sukarela dan hati terbuka memberikan dana atau materi yang diperlukan.
Besar kecilnya atau dalam dangkalnya bahan studi yang diberikan pada pesantren tergantung pada kiai dan pondok pesantren tersebut. Ada pondok pesantren yang diikuti oleh 8 sampai dengan 10 orang. Akan tetapi, ada pula pesantren yang diikuti oleh ratusan murid. Luas dan sempitnya bahan studi tidak sama, tetapi semuanya telah mendapatkan pendidikan dasar pada langgar-langgar setempat. Lama berlangsungnya pendidikan di pesantren juga tidak sama. Ada yang belajar hanya satu tahun, tetapi ada pula yang belajar bertahun-tahun hingga 10 tahun atau bahkan lebih.
*
Gambaran mengenai pelajaran pada pesantren sehari-hari, diperkirakan sebagai berikut:
Pada waktu shubuh di pagi hari setelah sembahyang, para santri melakukan pekerjaan kerumah-tanggaan untuk kepentingan guru, seperti membersihkan halaman, mengerjakan sawah atau ladangg, mengisi bak kamar mandi, dan sebagainya. Harus diingat bahwa guru tidak memperoleh imbalan dari para murid secara teratur. Sesudah itu, baru diberikan pelajaran utama diseling dengan belajar sendiri. Pada siang hari, murid-murid beristirahat dan pada waktu petang, belajar melakukan ibadah agamanya, yaitu sembahyang (shalat). Pelajaran utama yang diberikan adalah dogma keagamaan (ushuluddin), yaitu dasar kepercayaan dan keyakinan Islam, dan fiqih: yaitu kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan bagi pemeluk agama Islam, meliputi;
1. Syahadat, yaitu mengucapkan kalimat bahwa tidak ada Tuhan yang harus disembah kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusannya.
2. Menjalankan shalat.
3. Membayar zakat kepada fakir miskin.
4. Berpuasa pada bulan Ramadhan.
5. Pergi naik haji bagi yang mampu.
*
Dalam kompleks pesantren terdapat tempat kediaman para guru beserta keluarganya dengan semua fasilitas rumah tangga dan tidak ketinggalan masjid yang dipelihara dan dikelola bersama. Pendidikan dan pengajaran di langgar dan di pesantren adalah suatu sistem yang diketemukan di Jawa. Di Sumatera khususnya di daerah Minangkabau, terdapat suatu sistem yang berada di antara sistem tersebut. Pendidikan dan pelajaran agama yang diberikan melalui suaru-surau yang sebenarnya sama saja dengan langgar atau masjid di Jawa. Perbedaan antara pendidikan dasar dan lanjutan seperti yang ada di Pulau Jawa tidak nampak walaupun ada surau-surau kecil yang memberikan pelajaran secara mendasar.
Sementara di Aceh terdapat suatu sistem yang mirip dengan surau di Sumatera Barat, dinamakan "rangkang". Sama halnya denga langgar atau di surau, para murid duduk di sekelilingi guru, kemudian diajar serta dijelaskan satu per satu menurut gilirannya (Depdikbud, 1985: 65-68).
*
3. Pendidikan Madrasah
Kemunculan pendidikan Islam di Indonesia tipe madrasah menurut data dari buku terbitan Depdikbud dihubungkan dengan sosok seorang menteri terkenal dari dunia Arab bernama Nizam el-Mulk (abad ke-11) sebagi pendiri lembaga pendidikan madrasah. Tokoh ini mengadakan pembaruan dengan memperkenalkan sistem pendidikan yang semula bersifat murni teologi (ilmu ketuhanan) dan menambahkan ilmu-ilmu yang bersifat keduniawian, seperti astronomi (ilmu perbintangan) dan ilmu obat-obatan. Di dalam perkembangannya, madrrasah ini ada yang berjenjang sejajar dengan pendidikan dasar dan menengah.
Jika dibandingkan antara sistem pendidikan di pesantren dan madrasah terlihat bahwa pendidikan di pesantren hubungan antara guru dan murid masih terpengaruhi ciri-ciri khas perguruan di India yang berasal dari sistem pendidikan Hindu. Guru-guru tidak dibayar langsung dan tunai, tetapi murid harus bekerja bagi kepentingan guru dalam arti untuk kepentingan rumah tangga atau keperluan sehari-hari guru.
Pencarian dana untuk keperluan pesantren kepada umat Islam juga identik dengan cara kaum biarawan Hindu atau Buddha mencari dana bagi keperluan biaranya. Di madrasah guru-guru diperkenankan menerima imbalan dalam bentuk uang tunai secara tetap dari orangtua murid. Selain itu, pesantren pendidikan dan pengajaran keagamaan masih bersifat tetap dominan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lainnya. Hubungan antara guru dan murid, baik dalam surau, rangkang, langgar atau pesantren pada umumnya bersifat kekal. Bekas murid akan selalu menghormati bekas gurunya dalam keadaan bagaimanapun juga. Ciri-ciri tersebut terdapat pula pada perguruan di India. Pada pendidikan di madrasah, hubungan antara guru dan murid agak longgar dan tidak mendalam seperti halnya di pesantren.
*
Daftar Pustaka
Depdikbud. 1985. Pendidikan Indonesia Dari Zaman Ke Zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar