Kamis, 10 Mei 2012

SEJARAH PENDIDIKAN NASIONAL: Dari Masa Klasik Hingga Modern

AWAL PENDIDIKAN BELANDA bagi ANAK-ANAK PRIBUMI
*
Sesudah VOC gulung tikar pada 1799, Indonesia menjadi daerah jajahan Belanda dengan nama Hindia Belanda. Usaha-usaha pendidikan kolonial Belanda yang di ajarkan di Maluku tidak dapat meluas ke daerah yang lain. Maka, pada saat pemerintahan Hindia-Belanda dijalankan, pendidikan bagi bangsa Indonesia belum baik. Pada saat itu, Gubernur Daendels agak memerhatikan nasib bangsa Indonesia. Ia (1801) telah menyatakan bahwa perlu diselenggarakan pengajaran bagi anak-anak Jawa (Indonesia) untuk memperkenalkan kepada anak-anak itu tentang kesusilaan, adat istiadat, dan pengertian-pengertian agama.
Akan tetapi, cita-cita Daendeles tidak dapat direalisasi, berhubung tidak adanya anggaran untuk pengajaran bangsa Indonesia. Saat itu penjajahan Belanda sempat terhenti atau berganti ketika dalam konteks internasional mereka dikalahkan Inggris. Dan Inggris sempat menjadikan Indonesia sebagai jajahannya (1811-1816) belum juga memberikan/mengusahakan pendidikan. Baru setelah Belanda merebut Indonesia kembali, keluarlah surat keputusan (koniklijk besluit 1848) yang isinya tentang penetapan anggaran belanja pengajaran bagi orang-orang Indonesia, terutama bagi anak-anak pegawai Indonesia. Sementara itu 1884, keluar surat keputusan yang memberikan kesempatan berdirinya sekolah swasta.
Konteks pendidikan dan pengajaran ini pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kebuthan pegawai rendahan di kantor-kantor pamong praja atau kantor-kantor yang lain (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 38-39).
Di zaman pemerintahan Hindia-Belanda ini, terdapat tiga jenis kegiatan pendidikan, yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Penggambaran tentang masing-masing tingkatan dan jenis pendidikan itu adalah sebagai berikut:
1. PENDIDIKAN RENDAH (LAGERE ONDERWIJS).
Pada dasarnya baru pada 1800 Belanda bersedia memerhatikan pendidikan bagi bangsa kita, itupun masih terbatas pada anak-anak yang statusnya disamakan dengan anak Belanda. Setelah keluar Keputusan Raja tanggal 30 September 1848 No.95 mulailah pemerintah Hindia mendirikan sekolah rendah bagi anak-anak pribumiputra (Inladse Lagere School) di Pasuruan dan Jepara (Jawa Tengah). Tujuan sekolah ini ialah untuk mendidik calon pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintah.
Kemudian, sesuai dengan Keputusan Raja tanggal 25 September 1892 yang dimuat dalam Lembaran negara 1883 No. 125, pendidikan rendah bagi anak-anak bumiputra diubah dengan membaginya menjadi dua macam, yaitu:
a. Sekolah Kelas Satu (De Scholen Der Eerste Klasse) yang kelak (1914) menjadi HIS (Holland Inlandse School). Sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak pemuka atau tokoh masyarakat, pegawai pmerintah, atau orang-orang bumiputra yang terhormat lainnya. Sekolah ini hanya di kota karesidenan, kabupaten, kecamatan, atau tempat-tempat pusat perdagangan perusahaan.
b. Sekolah Kelas Dua (De Sholen Der Tweede Klasse), yaitu sekolah bagi anak-anak bumiputra pada umumnya. Berbeda dengan sekolah kelas satu, sekolah ini didirikan di daerah kota kecamatan atau di daerah desa yang maju. Lama belajarnya 5 tahun. Tujuannya tidak jelas. Bahasa pengantarnya bahasa daerah atau bahasa Melayu.
*
Di samping itu berkat Jasa Gubernur Jenderal Van Huetsz, pada 1906 didirikan pula sekolah bagi anak-anak bumiputra yang lebih rendah yang disebut "sekolah desa (volgschool)". Lama belajarnya 3 tahun. Bahasa pengantarnya bahasa daerah. Materi pelajarannya hanya terpusat pada membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Jadi sekolah ini sebenarnya semacam kursus Pemberantasan Buta Huruf (PBH), tetapi lebih rendah ketimbang Kelompok Belajar Pendidikan Dasar (KBPD) sekarang. Sekolah ini tidak banyak manfaatnya. Tamatan sekolah ini tidak bisa diterima menjadi pegawai (mungkin karena tidak bisa berbahasa Belanda). Setelah 3 atau 4 tahun, murid keluar dari sekolah sambungan/lanjutan (vervolkschool) yang merupakan sekolah sambungan dari sekolah desa. Lama belajarnya 2 tahun (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 39-41).
Tamatan sekolah desa yang mampu dan pandai diberi kesempatan melanjutkan ke sekolah peralihan (sckakel school). Lama belajar sekolah ini 5 tahun. Mulai tahun pertama telah diberi pelajaran bahasa Belanda dan muali tahun ketiga telah dipergunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar sekolah. Materi pelajaran disamakan dengan HIS sehingga sekolah ini mempunyai derajad yang sama (disamakan) dengan HIS, dan bagi tamatannya diberi kesempatan untuk melanjutkan ke MULO (SMTP). Bagi anak-anak Belanda, disediakan sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sekolah rendah itu:
1) HIS (HOLANDS-INDLANDSE SCHOOL), lamanya 7 tahun. Sekolah ini dapat dimasuki anak-anak Indonesia dari anak-anak pegawai pemerintah Hindia-Belanda.
2) ELS (EUROPESE LAGERE SCHOOL), lamanya 7 tahun. Sekolah ini mempunyai tiga tingkatan, diperuntukkan bagi anak-anak Belanda sesuai dengan tingkatan-tingkatan orang Belanda. Tiga tingkatan ELS, yaitu:
- ELS klas I (erste)
- ELS klas II (twede)
- ELS klas III (thirte).
ELS kelas III ini juga diperuntukkan bagi anak-anak Indonesia yang hidupnya seperti orang Belanda atau anak-anak indo. Sekolah rendah untuk anak-anak Cina (HCS=Holand Chinese School) dan anak-anak Arab (HAS= Holand Arabishe School) juga memakai bahasa pengantar bahasa Belanda dan sistemnya pun disesuaikan dengan sekolah rendah Belanda sehingga setingkat ELS.
*
Suatu keuntungan bagi bangsa Indonesia bahwa anak-anak bumiputra telah mendapat kesempatan untuk bersekolah sehingga pada 1940 telah tercatat anak-anak bumiputra yang bersekolah di sekolah rendah yang berbahsa daerah sejumlah 2 juta lebih dan di sekolah rendah Belanda sebanyak 88 ribu lebih. Sayangnya kebanyakan anak-anak keluaran (lulusan) sekolah desa beberapa tahun kemudian menjadi tuna-aksara. Ini disebabkan gurunya yang tidak mampu sehingga metode mengajarkannya kurang baik dan anak-anak tidak berkesempatan mengembangkan diri.
2. PENDIDIKAN MENENGAH (MIDDELBAAR ONDERWIJS).
Hanya terdapat satu jenis sekolah lanjutan yang menurut sistem persekolahan Belanda digolongkan ke dalam sekolah dasar yaitu sekolah dasar yang lebih luas (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs = MULO). Sekolah ini merupakan lanjutan dari sekolah dasar (rendah) yang berbahasa pengantar bahasa Belanda. Lama sekolah 3 dan 4 tahun. Didirikan pertamakali tahun 1914 dan diperuntukkan bagi golongan bumiputra dan timur asing. Kelanjutan MULO ini ialah sekolah menengah umum (Algemene Middelbareschool = AMS). Mulai berdiri tahun 1915.
AMS terdiri dari dua jurusan, yaitu:
a. Bagian A: Pengetahuan Kebudayaan (Cultureweten Schap) yang dibagi lagi menjadi:
1. Bagian A1 : Sastra Timur
2. Bagian A2 : Sastra Klasik Barat.
b. Bagian B : Pengetahuan Alam.
Disamping itu, terdapat pula sekolah menengah bagi warga negara Eropa, bangsawan bumiputra, atau tokoh-tokoh termekuka. Sekolah ini disebut Hoogere Burger School (HBS) kelanjutan dari ELS. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda. Bahasa pelajaran yang diberikan berorientasi ke Eropa Barat (khususnya Belanda). Lama sekolah 3 tahun (yang dulu disebut Gymnasium), sudah ada sejak tahun 1860, dan HBS 5 tahun mulai didirikan pada 1867.
*
3.Pendidikan Tinggi
a. Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS = Geneskundige Hoge School) didirikan tahun 1928. Namun sebelumnya telah ada Sekolah Dokter Jawa (1851), 1902 diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Arsten). Di samping itu, ada NIAS (Nederlandsch Indische Arsten School). Pada 1928, semua dijadikan satu yang disebut GHS, ada di Jakarta.
b. Sekolah Tinggi Hukum (RHS = Rechts Hoge School) didirikan pada 1924 di Jakarta.
c. Sekolah Tinggi Tekik (THS = Technische Hoge School) didirikan tahun 1920 di Bandung. Sekolah ini didirikan atas prakarsa Konintelijk Institut Voor Hoger Technisch Onderwijs ini Nederlansch Indie sehingga mutunya dapat diakui oleh dunia (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 43-44)
*
4. SEKOLAH-SEKOLAH KEJURUAN
Untuk memenuhi tenaga teknis di perusahaan-perusahaan maupun kongsi-kongsi Belanda, didirikanlah sekolah kejuruan, antara lain:
a. Sekolah Pertukangan (Ambachts Leergang), lama belajar 2 tahun, menerima lulusan sekolah ini pada zaman kemerdekaan. Sekolah ini dijadikan sekolah kerajinan (SK). Sekolah pertukangan ini ada dua macam yakni, yang berbahasa daerah diperuntukkan bagi yang akan bekerja di pabrik, dan yang berbahasa Belanda diperuntukkan bagi calon mandor.
c. Sekolah Teknik (Technish Onderwijs), lama belajar 3 tahun. Sekolah ini mendidik tenaga pengawas.
c. Sekolah Dagang (Handels Onderwijs), lama belajar 3 tahun.
d. Sekolah Pertanian (Landbouw Onderwijs), mendidik tenaga yang akan bekerja di bidang agraris, pertanian dan kehutanan.
e. Sekolah Kewanitaan (Maiisjes Vakonderwijs). Sekolah ini berdiri atas jasa R.A. Kartini (Soemanto dan Soeyarno: 44-45).
*
5. SEKOLAH GURU
Sekolah guru ini terutama ditujukan bagi murid yang akan menjadi guru sekolah rendah. Maka, dengan didirikannya sekolah rendah, semakin banyak diperlukan guru. Alasan pendirian sekolah ini juga karena pemerintah Belanda merasa keberatan jika harus menggaji guru-guru Belanda. Maka, sebagai penghematan anggaran didirikan juga sekolah calon guru sekolah rendah.
Sekolah-sekolah guru dapat disebutkan:
a. Sekolah Guru Bumiputra (Kweekschool Voor Indlands Nder Wijsers) didirikan pada 1908. Lama belajarnya 4 tahun.
b. HIK (Hollandsh Inlandsche Kweeschool), lama belajar 6 tahun atau 3 tahun setelah MULO, telah didirikannya sejak 1851 di Surakarta.
c. HKS (Hogere Kweekschol) tahun 1914 di Purworejo untuk anak-anak Jawa, dan tahun 1917 di Bandung untuk anak-anak luar Jawa. HKS lama belajarnya 3 tahun, diambil dari HIK 3 atau 4 orang yang pintar.
d. Normal School, yang dipersiapkan untuk guru sekolah desa adalah 2 tahun. Normal School dipersiapkan untuk sekolah Klas II yang lama belajarnya 4 tahun.
*
Lalu ada usha mengganti kepala sekolah orang Belanda kepada orang-orang Indonesia dengan melalui pendidikan 2 tahun bagi guru-guru yang sudah bekerja paling sedikit 5 tahun dan pintar. Pendidikannya disebut Hoofd Acte Cursus (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 45-46).
*
Daftar Pustaka:
Soemanto, Wasty dan F.X. Soeyarno. 1983. Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional.

SEJARAH PENDIDIKAN NASIONAL: Dari Masa Klasik Hingga Modern

A. Timbulnya Agama Islam dan Pesantren di Indonesia.
*
Kemunculan agama Islam dengan lembaga pendidikannya pesantren di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari kondisi perdagangan internasional antar benua di dunia pada abad ke-13 begitu ramai lalu lintasnya. Konsekuensi dari perkembangan perdagangan internasional tersebut, Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan budaya berlimpah menarik banyak pedagang asing yang meluaskan areal perdagangannya untuk datang ke Indonesia. Bukan sekedar saudagar Cina, tetapi juga terdapat sekelompok pedagang yang berasal dari daerah Gujarat, India maupun Timur Tengah yang mengadakan kontak secara teratur dengan pedagang Indonesia yang berasal dari Sumatera dan Jawa. Terutama dari saudagar-sudagar dari Gujarat dan Timur Tengah yang memeluk agama Islam kemudian menjadi salah satu faktor lahirnya agama Islam di Nusantara.
Dapat dikatakan sebelum Islam masuk, pusat pemerintahan atau suatu kerajaan berada di wilayah pedalaman, seperti Singosari ataupun Majapahit. Sementara kerajaan-kerajaan di wilayah pesisir hanyalah bawahan dari kerajaan di pedalaman tersebut.
Kondisi itu sebenarnya sangat kontras bagi kelangsungan suatu pemerintahan untuk stabil dan bisa mengikuti perkembangan zaman, karena para pedagang asing lebih banyak berhubungan dengan kerajaan-kerajaan pesisir yang wilayahnya merupakan jalur terdekat dari perdagangan internasional. Ditambah lagi ada ketegangan yang diam-diam dapat meledak menjelang akhir dari pemerintahan kerajaan Majapahit, antara kerajaan pesisir dengan pusat kerajaan di pedalaman.
Maka kedatangan agama Islam yang dibawa oleh pedagang Gujarat dengan nilai-nilai budaya baru, disambut dengan hangat dan diterima dengan baik oleh kerajaan pesisir. Salah satu motivasinya agar kerajaan-kerajaan pesisir tersebut dapat melepaskan diri dari belenggu pajak dan upeti kerajaan pedalaman yang saat itu mulai tidak berfungsi dengan baik sebagai pemerintahan yang mengayomi rakyatnya. Faktor-faktor politis inilah yang mendorong kerajaan-kerajaan Islam di pesisir, seperti Demak, Banten, yang kemudian berangsur-angsur dapat menggeser kedudukan kerajaan pedalaman, seperti Majapahit yang masih beragama Hindu. Peralihan pusat kekuasaan tersebut menjadikan penyebaran agama Islam lebih berkembang pesat menyebar ke seluruh wilayah Nusantara terutama Jawa.
*
Walaupun sebenarnya tanda-tanda adanya agama Islam di Tanah Air dapat ditelusuri pada tahun 1082 dengan adanya batu nisan seorang istri pedagang Islam di Gresik (Jawa Timur), kerajaan Islam tertua di Indonesia adalah Perlak di Aceh, didirikan pada 1292 dan kemudian Samudra Pasai (1297). Pengembara Eropa terkenal, Marco Polo pernah mengunjungi kerajaan-kerajaan tersebut dan mengutarakan pula tentang peranan pedagang-pedagang Gujarat dari India.
Dengan kata lain, penyebaran agama Islam data ke Indonesia melalui pusat-pusat perdagangan di daerah pantai Sumatera Utara dan melalui urat nadi perdagangan di Malaka. Kemudian, menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia bagian timur. Walaupun disana-sini terjadi peperangan, secara menyeluruh, masuknya agama Islam ke Indonesia dan peralihan dari agama Hindu ke Islam berlangsung secara damai dan tenang (Depdikbud, 1985: 63-64).
*
B. Jenis Pendidikan Islam
Jenis pendidikan Islam di Indonesia pada zaman tersebut dapat dibedakan menjadi:
1. Pendidikan Langgar
Hampir di setiap desa di Pulau Jawa terdapat tempat peribadahan. Di tempat tersebut, umat Islam dapat melakukan ibadahnya sesuai denga perintah agamanya. Tempat tersebut dikelola seorang petugas yang disebut "amil", "modin", "lebai" (Sumatera). Petugas tersebut bertugas ganda; yaitu memimpin dan memberikan do'a pada waktu hajat upacara keluarga atau desa, dan jugga bertugas sebagai pendidik agama.
Apa yang diajarakan di langgar merupakan pelajaran agama dasar, mulai dari pelajaran dalam huruf Arab, tapi tak jarang pula dilakukan secara langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibacakan dari kitab Al-Qur'an. Tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar adalah murid dapat membaca dan lebih tepat melagukan menurut irama tertentu seluruh isi Al-Qur'an.
Pola pengajarannya dengan jalan; murid-murid diajar secara individual, yaitu menghadap para guru satu persatu. Sementara murid-murid lain yang belum mendapat giliran maju menghadap guru, duduk bersila melingkar dengan tetap berlatih melagukan ayat-ayat suci. Dalam hal ini guru melakukan koreksi kepada bacaan murid-murid yang salah melafalkannya. Pelajaran biasanya diberikan pada pagi hari (setelah shubuh) atau petang hari (sesudah atau sebelum maghrib). Proses tersebut biasa selesai atau dapat diselesaikan selama beberapa bulan, tetapi umumnya sekitar 1 tahun.
Para santri yang belajar di langgar tersebut tidak dipungut biaya uang sekolah. Kalaupun ada uang sekolah yang diberikan itu tergantung kepada kerelaan orangtua murid yang dapat memberikan tanda mata berupa benda-benda "in natura" atau uang. Sementara kalau orangtuanya miskin, anaknya dapat mengikuti pelajaran tanpa membayar. Sesudah murid menyelesaikan pelajaran dalam arti tamat membaca Al Qur'an, biasanya diadakan selamatan dengan mengundang makan teman-teman murid atau kerabat dekat, di rumah guru atau di langgar.
Hubungan antara murid dan guru pada umumnya berlangsung terus walaupun murid kemudian meneruskan pendidikan pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi. (Depdikbud, 1985: 64-65).
2. Pendidikan Pesantren
Di dalam sistem pengajaran pesantren ini, para santri yaitu murid--murid yang belajar di asramakan dalam suatu kompleks yang dinamakan "pondok". Pondok tersebut dapat dibangun atas biaya guru yang bersangkutan ataupun atas biaya bersama dari masyarakat desa pemeluk agama Islam. Di samping pondok pesantren tersebut juga terdapat tanah bersama yang dipergunakan untuk usaha bersama antara guru dan santri. Para santri belajar pada bilik-bilik terpisah dan belajar sendiri-sendiri, tetapi sebagian besar waktunya dipergunakan untuk bekerja di luar ruangan, baik untuk membersihkan ruangan, halaman atau bercocok tanam. Mereka pada umumnya telah dewasa dan dapat memenuhi kebutuhan sendiri, baik dari bantuan keluarganya, atau telah mempunyai penghasilan sendiri.
Adakalanya, untuk memenuhi kebutuhan pesantren secara keseluruhan, para santri kerap bergerak ke luar pesantren untuk mencari dana pada umat Islam. Dan pada umunya masyarakat dengan sukarela dan hati terbuka memberikan dana atau materi yang diperlukan.
Besar kecilnya atau dalam dangkalnya bahan studi yang diberikan pada pesantren tergantung pada kiai dan pondok pesantren tersebut. Ada pondok pesantren yang diikuti oleh 8 sampai dengan 10 orang. Akan tetapi, ada pula pesantren yang diikuti oleh ratusan murid. Luas dan sempitnya bahan studi tidak sama, tetapi semuanya telah mendapatkan pendidikan dasar pada langgar-langgar setempat. Lama berlangsungnya pendidikan di pesantren juga tidak sama. Ada yang belajar hanya satu tahun, tetapi ada pula yang belajar bertahun-tahun hingga 10 tahun atau bahkan lebih.
*
Gambaran mengenai pelajaran pada pesantren sehari-hari, diperkirakan sebagai berikut:
Pada waktu shubuh di pagi hari setelah sembahyang, para santri melakukan pekerjaan kerumah-tanggaan untuk kepentingan guru, seperti membersihkan halaman, mengerjakan sawah atau ladangg, mengisi bak kamar mandi, dan sebagainya. Harus diingat bahwa guru tidak memperoleh imbalan dari para murid secara teratur. Sesudah itu, baru diberikan pelajaran utama diseling dengan belajar sendiri. Pada siang hari, murid-murid beristirahat dan pada waktu petang, belajar melakukan ibadah agamanya, yaitu sembahyang (shalat). Pelajaran utama yang diberikan adalah dogma keagamaan (ushuluddin), yaitu dasar kepercayaan dan keyakinan Islam, dan fiqih: yaitu kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan bagi pemeluk agama Islam, meliputi;
1. Syahadat, yaitu mengucapkan kalimat bahwa tidak ada Tuhan yang harus disembah kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusannya.
2. Menjalankan shalat.
3. Membayar zakat kepada fakir miskin.
4. Berpuasa pada bulan Ramadhan.
5. Pergi naik haji bagi yang mampu.
*
Dalam kompleks pesantren terdapat tempat kediaman para guru beserta keluarganya dengan semua fasilitas rumah tangga dan tidak ketinggalan masjid yang dipelihara dan dikelola bersama. Pendidikan dan pengajaran di langgar dan di pesantren adalah suatu sistem yang diketemukan di Jawa. Di Sumatera khususnya di daerah Minangkabau, terdapat suatu sistem yang berada di antara sistem tersebut. Pendidikan dan pelajaran agama yang diberikan melalui suaru-surau yang sebenarnya sama saja dengan langgar atau masjid di Jawa. Perbedaan antara pendidikan dasar dan lanjutan seperti yang ada di Pulau Jawa tidak nampak walaupun ada surau-surau kecil yang memberikan pelajaran secara mendasar.
Sementara di Aceh terdapat suatu sistem yang mirip dengan surau di Sumatera Barat, dinamakan "rangkang". Sama halnya denga langgar atau di surau, para murid duduk di sekelilingi guru, kemudian diajar serta dijelaskan satu per satu menurut gilirannya (Depdikbud, 1985: 65-68).
*
3. Pendidikan Madrasah
Kemunculan pendidikan Islam di Indonesia tipe madrasah menurut data dari buku terbitan Depdikbud dihubungkan dengan sosok seorang menteri terkenal dari dunia Arab bernama Nizam el-Mulk (abad ke-11) sebagi pendiri lembaga pendidikan madrasah. Tokoh ini mengadakan pembaruan dengan memperkenalkan sistem pendidikan yang semula bersifat murni teologi (ilmu ketuhanan) dan menambahkan ilmu-ilmu yang bersifat keduniawian, seperti astronomi (ilmu perbintangan) dan ilmu obat-obatan. Di dalam perkembangannya, madrrasah ini ada yang berjenjang sejajar dengan pendidikan dasar dan menengah.
Jika dibandingkan antara sistem pendidikan di pesantren dan madrasah terlihat bahwa pendidikan di pesantren hubungan antara guru dan murid masih terpengaruhi ciri-ciri khas perguruan di India yang berasal dari sistem pendidikan Hindu. Guru-guru tidak dibayar langsung dan tunai, tetapi murid harus bekerja bagi kepentingan guru dalam arti untuk kepentingan rumah tangga atau keperluan sehari-hari guru.
Pencarian dana untuk keperluan pesantren kepada umat Islam juga identik dengan cara kaum biarawan Hindu atau Buddha mencari dana bagi keperluan biaranya. Di madrasah guru-guru diperkenankan menerima imbalan dalam bentuk uang tunai secara tetap dari orangtua murid. Selain itu, pesantren pendidikan dan pengajaran keagamaan masih bersifat tetap dominan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lainnya. Hubungan antara guru dan murid, baik dalam surau, rangkang, langgar atau pesantren pada umumnya bersifat kekal. Bekas murid akan selalu menghormati bekas gurunya dalam keadaan bagaimanapun juga. Ciri-ciri tersebut terdapat pula pada perguruan di India. Pada pendidikan di madrasah, hubungan antara guru dan murid agak longgar dan tidak mendalam seperti halnya di pesantren.
*
Daftar Pustaka
Depdikbud. 1985. Pendidikan Indonesia Dari Zaman Ke Zaman.

SEJARAH PENDIDIKAN NASIONAL: Dari Masa Klasik Hingga Modern

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MASA MATARAM LAMA dan MAJAPAHIT
A. Pendidikan Masa Mataram Lama
Perkembangan pendidikan dan pengajaran di Mataram Lama dapat dikemukakan karena berita-berita dari Tiongkok yang mengatakan bahwa sebelum Sanjaya telah ada kebudayaan Hindu. Sungguhpun Mataram pada waktu itu belum mencapai puncaknya kekuasaan, ada seorang raja putri dan ada suatu sekolah agama Buddha, yang dipimpin oleh seorang Jawa bernama Janabadra dan terkenal di seluruh dunia.
Agama Buddha yang diajarkan di Mataram Lama adalah Hinayana. Agama Buddha Mahayana datang di Jawa baru abad ke-8. Selain pelajaran agama, yang tercantum dalam Veda-Veda dan Upanischad mungkin sekali para siswa mempelajari kepustakaan Hindu, seperti Mahabarata dan Ramayana. Hal ini teridentifikasi dengan keberadaan tembok candi Prambanan yang dihias riwayat Sri Rama secara lengkap.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan itu, dapat dibayangkan pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh para guru (brahmana) kepada para siswa sebagai berikut:
1. agama Buddha atau Brahma
2. Kepustakaan (literatur) Mahabarata dan Ramayana
3. Filsafah dan kesusilaan (etika).
4. Kesenian, seni bangunan, seni lukis, dan seni pahat.
5. Ketuhanan (religi), seperti yang terbentang dalam Bhadgavad Githa.
6. Kenegaraan, seperti yang terbentang dalam Hastabrata.
7. Ilmu bangunan (bouwkunde) yang memungkinkan didirikannya candi-candi yang begitu besar.
8. Ilmu pasti dan ilmu alam, yang memungkinkan diadakannya perhitungan-perhitungan mengenai pembangunan candi-candi.
*
Tidak menyimpang dari kebenaran jika diuraikan bahwa pendidikan pada masa itu teratur baik dan bahwa pendidikan mengutamakan soal budi pekerti atau kesusilaan. Dibawah pemerintahan Sanjaya, Mataram mengalami kemakmuran yang tinggi. Diceritakan dalam sejarah, tidak terjadi tindakan kriminal, misalnya kantong berisi uang, yang terletak di tepi jalan berbulan-bulan tidak diambil orang. Disiplin kebatinan mendalam di sanubari rakyat Mataram Lama.
Perlu ditambahkan bahwa dalam zaman ini kepustakaan Jawa Kuno telah berkembang. Menurut Dr Stuterheim, Candi Sari dan Palosan mungkin sekali merupakan tempat penyimpanan buku-buku suci. Salah seorang guru bernama Wicawamitra, terhadap brahmana ini dikatakan, bahwa dia begitu tinggi keahliannya tentang sastra, berkenan memberi pelajaran di sekolah rendah (Bradjanagara, 1956: 17-19).
Pada zaman Erlangga, kebudayaan mendapat perhatian pada masa itu. Maka, terbitlah buku Arjuna Wiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa dan kitab Mahabarata yang berbahasa Sansekerta telah berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno. Akan tetapi, rakyat biasa pun belum dapat menikmatinya. Pendidikan tetap hanya untuk keluarga raja yang nantinya akan memegang pemerintahan. Pada pemerintahan Jayabaya (Kediri) pun, kebudayaan telah mendapat perhatian. Hal ini terbukti adanya kitab Baratayuda yang dikarang Empu Sedah dan diselesaikan oleh Empu Panuluh.
Kitab-kitab tersebut di atas sudah menunjukkan corak kebudayaan Jawa, dengan huruf dan bahasa Jawa Kuno tidak dipengaruhi oleh agama Hindu atau Buddha dan menurut ajaran-ajaran moral. Pemakaian istilah "Empu" kiranya hal itu dapat ditafsirkan bahwa pada waktu itu telah ada pendidikan semacam perguruan tinggi. Empu adalah ahli filsafat.
*
B. Pendidikan Masa Majapahit
Kerajaan Majapahit sempat menjadi negara besar. Seluruh daerah Nusantara yang menjadii wilayahnya mengalami kemajuan di hampir semua bidang. Bidang pemerintahan, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan sangat diperhatikan.
Dalam Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:
a. Pada waktu Hayam Wuruk sempat mengelilingi wilayahnya, ia berkenan tinggal di asrama-asrama tempat para Brahmana, putra-putra raja mendapat pendidikan.
b. Ilmu pengetahuan dipegang seluruhnya oleh para Brahmana dan para tapabrata.
Disebutkan, nama seorang guru, yaitu pada-paduka adalah seorang tapabrata, yang suci, susila. Kemudian, seorang srawaka, seorang yang tiada cacat, ahli ilmu pengetahuan para guru adalah ahli agama, ahli filsafat, dan sastrawan candi-candi, asrama, dan biara merupakan pusat-pusat pendidikan, pengetahuan, dan peradaban.
d. Di tempat-tempat pendidikan dilengkapi dengan perpustakaan (Sana Pustaka) (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 27-28).
*
Di dalam perkembangannya, kemudian kebudayaan Hindu telah membaur dengan unsur-unsur Indonesia asli dan memberikan ciri-ciri serta coraknya yang khas. Sampai jatuhnya kerajaan Hindu terakhir di Indonesia, yaitu Majapahit pada akhirnya abad ke-15, ilmu pengetahuan berkembang terus, khususnya di bidang sastra, bahasa, ilmu pemerintahan, tatanegara, dan hukum. Kerajaan-kerajaan Hindu, seperti: Kaling, Medang, Mataram, Kediri, Singosari, dan Majapahit melahirkan empu-empu dan pujangga-pujangga yang menghasilkan karya bermutu tinggi. Selain karya seni bangunan dan seni pahat dalam kerangka arsitektur yang menakjubkan, juga menghasilkan penjabaran ilmiah dalam bidang dogmatik, filosofi, sastra, dan bahasa.
*
Karya-karya peninggalan zaman Hindu yang terkenal di antaranya:
1. Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa (Kediri 1019).
2. Bharata Yudha karya Empu Sedah (Kediri 1157).
3. Hariwangsa karya Empu Panuluh (Kediri 1125).
4. Gatotkacasraya karya Empu Panuluh (Kediri 1125).
5. Smaradhahana karya Empu Dharmaja (Kediri 1125).
6. Negara Kertagama (Sejarah Pembetukan Negara) karya Empu Prapanca (Kanakamuni), sementara itu karya-karya lainnya adalah: Tahun Saka, Lambang, Parwasagara, Bhismacaranantya, Sugataparwa (Sugataparwawarnnna). Empu Prapanca merupakan keturunan seorang pujangga pula, yaitu pujangga Samenaka, yang juga seorang pembesar urusan agama Buddha yang dipilih oleh sang raja saat itu (Rajasanagara) (Majapahit 1331-1389).
7. Arjunawijaya karya Empu Tantular (Majapahit 1331-1389).
8. Sutasoma karya Empu Tantular (Majapahit 1331-1389).
9. Pararaton yang merupakan karya sejarah sejak berdirinya Kediri sampai jatuhnya Majapahit.
*
Kesimpulan dari pendidikan di zaman kerajaan Hindu-Buddha, terutama berkaitan dengan institusi pendidikannya, yaitu "padepokan". Padepokan sering dikaitkan dengan riwayat dan perjalanan serta peradaban agama Hindu, Buddha, dan agama lokal, terutama agama di Jawa. Padepokan merupakan tempat menggembleng, melatih kanuragan, melatih bela diri, melatih ilmu pemerintahan, melatih ilmu kebudayaan, dan kesenian, bermasyarakat, dan mengatur pola hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Padepokan dapat didirikan oleh negara, dalam hal ini kerajaan, yang tujuan jelas untuk mempersiapkan kader yang kelak ikut dalam birokrasi kerajaan tersebut.
Kesimpulan yang lain yaitu tentang pendidikan pada masa itu diarahkan pada kesempurnaan pribadi (terutama lapisan atas) dalam hal agama, kekebalan dan kekuatan fisik, ketrampilan dan keprigelan dalam memainkan senjata tajam dan menunggang kuda. Sedangkan bagi rakyat jelata atau lapisan bawah, relatif belu mengenyam pendidikan.
Syiwaisme dari Hinduisme dan Budhisme sebagai dua agama yang berbeda. Indonesia tampak pertumbuhannya secara berdampingan dengan mesra serta tampak adanya kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan untuk mempersatukan figur Syiwa dengan Buddha sebagai satu sumber yang maha-tinggi. Semboyan negara kita, Bhineka Tunggal Ika, adalaj perwujudan sinkretisme tersebut, sebagai salah satu bait dari syyair Sutasuma karangan Empu Tantular dari zaman Majapahit. Syiwa dan Buddha adalah dewa-dewa yang diperbedakan (bhinna), tetapi dewa-dewa itu ika, hanya satu (tunggal).
Pada abad-abad terakhir menjelang jatuhnya kerajaan Hindu di Indonesia, sistem pendidikan tidak lagi dijalankan secara besar-besaran seperti sebelumnya. Akan tetapi, dilakukan oleh para ulama guru kepada siswa dalam jumlah terbatas dalam padepokan. Kepada mereka diajarkan ilmu pengetahuan yang bersifat umum dan religius. Dengan demikian, pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi dipegang oleh kaum ulama atau brahmana.
Namun demikian, pendidikan dan pengajaran tidak dilaksanakan secara formal sehingga tiap siswa dimungkinkan untuk berpindah dari guru yang satu ke guru yang lain dalam meningkatkan atau memperdalam ilmu pengetahuannya. Para bangsawan, kesatria, serta pejabat kerajaan lainnya biasa mengirimkan anak-anaknya kepada ulama atau guru untuk dididik atau ulama atau guru diminta datang ke istana untuk mengajar anak-anak mereka.
Pendidikan di masa itu yang diutamakan adalah pendidikan keagamaan, pemerintahan, strategi perang, ilu kekebalan, serta kemahiran menunggang kuda dan memainkan senjata tajam (Gunawan, 1986: 4-6).
Daftar Pustaka:
Bradjanagara, Sutedjo. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Depdikbud. 1985. Pendidikan Indonesia Dari Zaman Ke Zaman.
Gunawan: Ary H. 1986. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Slamet Mulyana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LkiS.
Somanto, Wasty dan F.X. Soeyarno. 1983. Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya. Usaha Nasional.

Kamis, 03 Mei 2012

SEJARAH PENDIDIKAN NASIONAL: Dari Masa Klasik Hingga Modern

Pendidikan di Zaman Kerajaan Hindu-Buddha

Dari catatan sejarah, proses pendidikan di tanah air dibarengi proses masuknya agama-agama dari luar masuk ke wilayah kita. Kebanyakan sumber tentang pendidikan di zaman kerajaan Hindu-Budha berasal dari Cina. Pendidikan tersebut dimulai dengan masuknya peradaban dan agama Hindu dan Buddha yang bisa kita lihat pada abad ke-5 Masehi melalui wilayah Kutai, Kalimantan
Dimulai dari prasasti yang ada di Kutai, isi antara lain menceritakan upacara pengorbanan terhadap dewa. Upacara tersebut ditujukan agar para raja, leluhur, dan keturunannya mendapatkan perlindungan dari dewa. Upacara dilakukan oleh kaum Brahmana. Upara itu menunjukkan adanya ajaran agama Hindu-Buddha (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 25).
Kemudian kita melihat kerajaan di Jawa Barat, Tarumanegara, melalui prasastai batu bertulis di dekat Desa Batutulis, Bogor. Batu bertulis mengabarkan kepada dunia bahwa di situ pernah berdidi sebuah kerajaan bernama Tarumanegara dengan rajanya yang memerintah, Purnawarman. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada abad ke-5 Masehi, sementara agama yang banyak dianut adalah Hindu.
Lalu bagaimana narasi pendidikan saat itu, berkaitan dengan tempat dan waktu, alat-alat tulisnya, murid dan gurunya, serta proses belajarnya? Sayangnya, belum ada sumber kuat dan valid yang bisa menjelaskan hal tersebut. Akan tetapi, dengan adanya bukti prasati tertulis tersebut, sudah dapat dipastikan dan menunjukkan bahwasanya di saat itu sudah mengenal dan bisa baca tulis.
Dari baca tulisnya, bangsa kita sudah mampu berhubungan, bertukar pengetahuan, dan berdagang dengan bangsa lain, antara lain Cina dan India.
*
Jika dilhat dari hurufnya, prasasti Batu Tulis memakai huruf palawa-palawascrift. Asal mula huruf ini berasal dari tanah Hindu. Saat itu kerajaan Tarumanegara telah menjalin hubungan dengan kerajaan luar negeri; Tiongkok, dengan seringnya negara tersebut dutanya ke negara tersebut. Jelas para duta tersebut sudah mendapat pendidikan mengenai keahliannya, berkaitan soal bahasa dan budaya dan tata pemerintahan. Hal demikian membuktikan bahwa pada masa tersebut telah terdapat proses, institusi, kebijakan pendidikan, yang tentunya tidak bisa disamakan dengan konteks sekarang (Bradjanagara, 1954: 10-11).
Kemudian dari sumber I-Tsing dapat diketahu bahwa di Sumatera terdapat kerajaan yang kuat serta berpengaruh bernama Sriwijaya yang pusat pemerintahannya terletak di sekitar Palembang sekarang. I-Tsing dalam perjalanannya dari Kanton ke India pada 671 M singgah lagi di Sriwijaya untuk menyalin dan menerjemahkah kitab-kitab agama Buddha. Karena tidak sanggup mengerjakan pekerjaan raksasa itu sendirian, ia pulang ke Kanton menjemput empat orang untuk membantunya dan dibawa ke Sriwijaya. Di samping kitab-kitab agama yang digarapnya, ia berhasil menulis dua biografi musafir-musafir pendahulunya dan suatu karya berbobot lainnya mengenai pelaksanaan agama Buddha di India dan di Semanjung Melayu. Karya-karya ilmiahnya dikirim ke Cina melalui ulama-musafir pada 692 M. Sedangkan, I-Tsing pulang ke Kanton pada 695 M.
Dari tulisannya dapat diketahui ciri-ciri agama BUddha pada waktu itu. Begitu pula, bahwa Siwijaya adalah pusat ilmu pengetahuan tempat para sarjana dan teolog Buddha sangat dihormati dan dihargai. Oleh sebab itu, para musafir dan ulama senang mendalami ilmu pengethuan di Sriwijaya, baik yang bersumber dari agama Buddha Mahayana maupun Hinayana. Salah seorang di antara tujuh dosen yang mempunyai reputasi internasional adalah Sakyakirti. Sampai kini karya-karya Sakyakirti masih dipelajari orang di Srilanka, Tibet, Kamboja dan Jepang.
*
Seorang mahaguru Sriwijaya yang termasyhur bernama Dharmapala adalah guru besar yang pernah memberikan kuliah-kuliahnya pada "universitas" Nalanda di Benggala (India Utara) selama 30 tahun. Perguruan tinggi yang ada di Siwijaya tidak kalah mutunya dengan yang ada di tanah suci India. Maka dari itu, banyak teolog dan muusafir Buddha belajar pula di Sriwijaya (Depdikbud, 1985: 56-58).
Pada abad ke-7, Dharmapala datang di Sumatera dan memberi pelajaran agama Buddha Mahayana kepada penduduk di daerah tersebut, yang semula menganut Hinayana. Keterangan-keterangan ini diperoleh dari seorang Tiongkok yang bernama I-Tsing, yang pada 672 dan 685 M berdiam di Palembang untuk belajar. Dari ini jelaslah bahwa dasar pendidikan pada waktu itu ialah agama. Atau, dengan perkataan lain, pendidikan memusatkan perhatiannya kepada agama.
Menurut I-Tsing, "universitas" di Sriwijaya dapat menampung beratus-ratus mahasiswa biarawan Buddha dan dapat belajar dengan tenang. Mereka tinggal di asrama-asrama khusus. Sistem dan metode sesuai benar dengan yang ada di India sehingga biarawan Cina dapat belajar di Sriwijaya sebelum melanjutkan studinya ke India (Depdikbud, 1985: 60).
*
Kemudian pada abad ke-8 di Jawa Tengah berdiri Kerajaan Kalingga dengan rajanya bernama Sanjaya. Peninggalan ini berbentuk batu tulis (lingga) yang ditemukan di Desa Canggal (Karesidenan Kedu).
Kemudian kerajaan itu di perintah oleh Raja Rakai Panangkaran dari wangsa Syailendara yang beragama Buddha. Waktu raja ini berkuasa, dibangunlah Candi Borobudur, Candi Sari, dan Candi Kalasan. Di dekat Candi Borobudur tersebut dibangun suatu tempat pendidikan agama Buddha yang dipimpin oleh seorang pendeta terkenal bernama Janabadra. Sekolah ini memakai sistem asrama (biara), yaitu guru dan murid-muridnya tinggal di asrama. Akan tetapi, murid-muridnya hanya dari keluarga raja dan pendeta, rakyat biasa sama sekali tidak dapat mengeyam pendidikan formal (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 27).
Di salah satu tembok Candi Borobudur, terlihat suatu lukisan di atas batu, yang menggambarkan suatu sekolah, seperti yang berlaku pada waktu sekarang. Kita melihat pendopo besar dan di tengah-tengah pendopo tampak di mata kita seorang Brahmana, sedang di kanan-kirinya dan dimukanya murid-murid, yang membuat lingkaran. Para siswa-siswa memegang buku, terlihat sedang menerima pelajaran membaca.
Buku apa yang sedang dibaca, tidak dapat diketahu secara pasti. Sistem yang dipakai pada waktu itu ialah sistem asrama. Siswa-siswa berdiam bersama-sama dengan Brahmana (gurunya) dalam suatu rumah. Para pendidik saat itu tidak menerima gaji, seperti zaman sekarang. Hidupnya terjamin oleh para siswanya, yang pada waktu-waktu tertentu memberikan kepadanya apa yang perlu untuk hidupnya.
Para siswa bekerja di samping belajar sehingga mereka dapat menjamin kehidupan gurunya. Buku pelajaran yang dipegang oleh para siswa terbentuk/tersusun dari rangkaian daun lontar, seperti yang sampai sekarang dapat kita lihat di Bali atau di museum. Adanya buku ini menjadi bukti bahwa bangsa kita pada waktu itu telah pandai membaca bahasa Sansekerta atau bahasa Kawi. Adapun huruf yang dipakai ilah huruf Jawa yang berlaku pada waktu itu.
Saat itu para pelajar atau peserta didik memiliki istilah cantrik, djedjangan, dan putut, dari berbagai jenis istilah pelajar tersebut terdapat kemungkinan bahwa pada waktu itu telah ada pengajaran rendah, menengah, dan tinggi. Dasar-dasar pendidikan dan pengajaran ialah agama Buddha atau agama Brahma. Kesimpulan ini dapat diambil penulis dari adanya agama Buddha dan agama Brahma di tanah Jawa Tengah (Borobudur dan Prambanan).
*
Daftar Pustaka
Bradjanagara, Sutedjo. 1956. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Depdikbud. 1985. Pendidikan Indonesia dari Zaman Ke Zaman.
Soemanto, Wasty dan F.X. Soeyarno.1983. Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional.

Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia

Jejak Langkah Putra Sang Fajar
6 Juni 1901
Sukarni dilahirkan di Surabaya dari pasangan Ida Ayu Nyoman Rai Srimben (asal Singaraja, Bali) dan Raden Soekemi Sosrodihardjo (Probolinggo, Jawa Timur). Setelah pindah sebentar ke Sidoarjo, keluarga Soekemi menetap di Mojokerto, Jawa Timur dan Sukarno mulai bersekolah di sekolah dasar zaman Belanda hingga kelas lima. Lalu, ia melanjutkan pendidikan ke Europeesche Lagere School (ELS), sekolah Eropa berbahasa Belanda, di Surabaya.
1915:
Masuk Hoogere Burger School (HBS), sekolah menengah Belanda, dan ikut di rumah Tjokroaminoto, Ketua Sarekat Islam. Di situ, dia berkenalan dengan tokoh-tokoh senior pergerakan dan memulai proses magang politik. Kenyataan bahwa ia berhasil menyelesaikan HBS dalam lima tahun, dengan semua kegiatan sampingannya, membuktikan ia murid yang cerdas.
21 Januari 1921:
Artikel Sukarno yang pertama terbit di halaman depan koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam. Sukarno belakangan diminta menulis secara lebih teratur menggantikan Tjokro. Tahun ini, Sukarno juga mengawini Oetari Tjokroaminoto, perkawinan pertama Sukarno meski itu merupakan kawin gantung.
Pertengahan 1921:
Diterima sebagai mahasiswa di sekolah tinggi teknik (Technische Hooge School-Institut teknologi Bandung) di jurusan teknik sipil.
1923:
Menikahi Inggit Garnasih, janda berusia 12 tahun lebih tua dan induk semangnya selama ia kuliah di Bandung. Menurut penulis biografinya, "Inggit adalah satu-satunya wanita Bung Karno yang memberi tanpa pernah meminta." Inggit memang menjadi sumber inspirasi terbesar Sukarno.
25 Mei 1926:
Mendapatkan gelar insinyur dari THS. Meskipun ia insinyur sipil, minatnya justru arsitektur. Hotel Priangan adalah salah satu karyanya.
4 Juni 1927:
Mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandung yang merupakan gabungan berbagai gerakan kemerdekaan. Programnya: "Merdeka Sekarang Juga". Pada Kongres 1928, gerakan itu memproklamasikan diri sebagai partai, dengan nama baru: Partai Nasional Indonesia.
29 Desember 1929:
Sukarno ditangkap bersama tokoh PNI lain dan dijebloskan ke tahanan Penjara Banceuy. Tuduhannya: merencanakan pemberontakan kepada Belanda.
Pertengahan 1926:
Ikut mendirikan Klub Studi Umum, Bandung, klub diskusi yang berubah menjadi gerakan politik radikal. Terbit artikelnya yang terkenal: "Nasionalisme Islam, dan Marxisme". Gagasan itu menjadi obsesinya hampir sepanjang hayat, bahkan setelah kemerdekaan, dengan gagasan Nasakom-nya.
28 Oktober 1928:
Sumpah Pemuda. Berbagai kelompok pemuda menyatakan "memiliki bangsa, bahasa dan tanah air yang sama: Indonesia." Lagu kebangsaan Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan.
Agustus 1930:
Pengadilan Sukarno. Dalam pembelannya yang amat terkenal, "Indonesia Menggugat", ia mengecam penjajahan dan menyerukan perlawanan. Untuk pertama kalinya dia memakai istilah "Marhaen" sebagai ganti kaum buruh (proletar) Indonesia, sebuah upaya untuk mengadaptasi Marxisme di alam Indonesia. Ia juga membantah asumsi hakim yang menyatakan bahwa hanya kekerasan bersenjata alat untuk merebut kemerdekaan. "Tiada lagi senjata yang lebih baik dari jiwa dan apabila sadar dan bangkit membakar hati rakyat, lebih kuat dari seribu bedil, seribu meriam, seribu serdadu dan senjata lengkap," katanya lantang.
1 Agustus 1933:
Sukarno ditangkap untuk kedua kalinya. Sukarno kembali dituduh melakukan kegiatan menyebarkan pikirannya yang revolusioner dan menantang Belanda.
21 November 1933:
Sukarno menyatakan diri keluar dari Partindo. Sukarno bahkan juga telah menulis surat minta ampun kepada pemerintah Belanda dan berjanji menghentikan seluruh aktivitas politiknya.
17 Februari 1934:
Sukarno dibuang ke Ende, Flores.
Februari 1938:
Pengasingan Sukarno dipindahkan ke Bengkulu, tempat dia menjadi guru sekolah Muhammadiyah dan terpikat pemimpin Muhammadiyah setempat, Fatmawati, yang kemudian dikawininya pada 1943.
9 Juli 1942:
Sukarno kembali ke Pulau Jawa dan merebut simpati sebagai pemimpin pergerakan Indonesia di zaman Jepang.
16 April 1943:
Bersama Jepang Sukarno, membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera), yang ternyata dipakai Jepang sebagai pekerja paksa (Romusha). Dia juga menjadi propagandis Jepang melawan Sekutu: "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis." Gatot Mangkupradja, teman yang bersamanya dipenjara ppada 1930, diizinkan membentuk Pembela Tanah Air (Peta), cikap bakal tentara Indonesia.
7 September 1943:
Penguasa Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia kelak di kemudian hari (tidak ada batas waktu yang spesifik).
1 Juni 1945:
Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sukarno melahirkan istilah Pancasila, yang menjadi dasar negara Indonesia. Rapat itu juga menyepakati Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia.
16 Agustus 1945:
Sukarno menolak tuntutan pemuda untuk memproklamasikan Indonesia dengan alasan belum mendapat kepastian menyerahnya Jepang dalam perang. Mereka menculik Sukarno dan Hatta dan membawa ke Rangadengklok.
17 Agustus 1945:
Proklamasi Indonesia dibacakan oleh Sukarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia.
18 Agustus 1945:
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang dan menetapkan Sukarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Kelak mereka dikenal dengan Dwitunggal.
14 November 1945:
Kabinet pertama yang baru berusia tiga bulan jatuh, digantikan kabinet kedua dengan bentuk parlementer di bawah Perdana Menteri Sjahrir. Sejak saat itu kabinet selalu jatuh-bangun.
18 September 1948:
Pecah pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin Muso, tokoh PKI yang sejak 1920-an mengungsi di Moskow. Lewat radio, Sukarno mengancam, "Hidup bersama Bung Karno atau mati bersama Musso." Pemberontakan itu dikalahkan.
3 November 1945:
Pemerintah mengeluarkan maklumat yang isinya menyukai terbentuknya partai politik dan mengadopsi sistem parlementer.
17 Oktober 1952:
Dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober, ketika sebagian angkatan darat mengarahkan moncong meriamnya ke Istana dan menuntut Sukarno membubarkan parlemen. Mosi yang diajukan Manai Sophiaan dari PNI, untuk menyelidiki seluruh reorganisasi tentara, telah membangkitkan kemarahan angkatan darat.
18 April 1955:
Berlangsung Konferensi Asia Afrika, atas prakarsa Bung Karno. Inilah salah satu prestasi besarnya, konferensi tingkat dunia yang menyatukan aneka ras, warna kulit dan kepentingan di luar perang dingin blok komunis dan Barat.
31 Desember 1956:
Muhammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Kabinet yang jatuh-bangun, perpecahan dalam tubuh angkatan darat yang tak henti, dan kekecewaannya terhadap Sukarno yang tak pernah menyelesaikan revolusi sosialnya telah mendorong Bung Hatta menjauhi pusaran kekuasaan.
21 Februari 1957:
Sukarno membekukan sistem Demokrasi Parlementer yang berlangsung sejak 1950 dan menggantinya dengan Demokrasi Terpimpin. Ini menyulut pemberontakan di daerah sehingga kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh.
14 Maret 1957:
Sukarno memberlakukan keadaan perang dan darurat perang (SOB) akibat banyaknya pemberontakan militer di daerah. Dua tahun kemudian, ia berhasil menumpas semuanya.
30 November 1957:
Terjadi percobaan pembunuhan terhadap Sukarno. Semua pelaku dihukum mati. Para pelaku diidentifikasi sebagai kelompok antikomunis. Menurut buku karya Mangil, Kolonel Zulkifli Lubis yang bekas wakil KSAD terkait dengan kelompok ini. Sukarno juga terancam percobaan pembunuhan di Makassar dan saat Idul Adha di Jakarta.
5 jULI 1959:
Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya membubarkan Konstituante (DPR Sementara) dan kembali ke Undang-undang Dasar 1945.
17 Agustus 1959:
Sukarno memperkenalkan Manifesto Politik yang oleh MPRS dikukuhkan menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Manipol memuat lima pokok: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK).
30 September 1960:
Di depan Majelis Umum PBB, Sukarno menguraikan Pancasila dan perjuangan membebaskan Irian Barat dalam pidato yang berjudul To Build the World Anew.
1963:
Untuk menandingi Olimpiade yang digelar negara-ngera Barat, Sukarno menggelar pertandingan olahraga internasional Ganefo (Games of New Emerging Forces) di Senayan, Jakarta 10-22 November 1963, yang diikuti 48 negara.
3 Mei 1964:
Karena kebenciannya kepada kolonialisme Inggris di Asia, Sukarno menyerukan "Ganyang Malaysia". Setahun berikutnya, karena terpilihnya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia keluar dari PBB dan membentuk Poros Jakarta-Peking.
14 Januari 1965:
Partai Komunis Indonesia mulai melancarkan provokasi dengan tuntutan untuk mempersenjatai buruh dan tani (angkatan kelima). Sukarno belum menanggapinya, tapi angkatan darat dibawah Ahmad Yani menolak dengan tegas.
26 Mei 1965:
Beredar isu "Dokumen Gilchrist" yang menyebutkan adanya dewan jenderal dalam ttubuh angkatan bersenjata untuk mengambil kekuasaan dari Sukarno. Sukarno memanggil para petinggi AD ke istana.
Juli 1965:
Sukarno mulai sakit-sakitan dan D,N Aidit memerintahkan biro khusus PKI menyiapkan gerkan mengantisipasi dampak sakitnya Sukarno.
30 September 1965:
Penculikan dan pembunuhan tujuh Jenderal Angkatan Darat di Jakarta. PKI, yang memperoleh perlindungan Sukarno, dituding sebagai biang keladinya.
14 Oktober 1965:
Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera membekukan kegiatan PKI dan ormas-ormasnya. Sukarno menolak bertindak tegas terhadap PKI.
11 Maret 1966:
Dengan helikopter, Sukarno terbang ke Istana Bogor setelah mendengar Istana dikepng pasukan tak dikenal. Disanalah dia menandatangani Supersemar, yang isinya menyerahkan wewenang pengandalian keamanan kepada Mayjend Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi memulihkan keamanan dan menjaga ajaran Sukarno. Ternyata ada tiga versi surat, yakni versi Sekretariat Negara, versi Museum Arsip Nasional, dan yang berkembang dalam masyarakat.
20 Juni 1966:
Sidang Umum ke-4, MPRS di Jakarta antara lain menetapkan jika Presiden berhalangan tetap, pengemban Supersemar, yakni Soeharto, menjadi presiden.
21 Januri 1967:
Pidato pertanggungjawaban Sukarno pada 10 Januari 1967, Nawaksara, ditolak MPRS dan DPRGR menyimpulkan ada petunjuk Sukarno terlibat dalam peristiwa 30 September.
22 Februari 1967:
Sukarno diberhentikan dari jabatan presiden digantikan Jenderal Soeharto.
21 Juni 1970:
Sukarno wafat di Istana Bogor setelah menderita sakit yang lama di Wisma Yaso, Jakarta. Jenasah Soekarno dimakamkan di Blitar. Hingga akhir hayatnya, Sukarno tidak pernah diadili karena tuduhan pro-PKI.

Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman

Tamasya Sejarah Bersama Hatta
#
#
Ketajaman Pena Hatta dan Kekuatan Analisisnya Justru Lebih Digdaya Daripada Tembakan Salvo Mana pun.....^^.
*
*
*
Hatta menulis pertama kali ketika berusia 18 tahun, belum lagi dia masuk universitas. Dimuat dalam majalah Jong Sumatra, tulisan itu mengisahkan secara "otobiografis" tokoh khayali, seorang janda cantik dan kaya raya yang terbuju kawin lagi. "Namaku Hindania!" tulis Hatta. "Aku dilahirkan di matahari, hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya".
Kisah sederhana itu akan terjatuh menjadi roman picisan seandainya Hatta bercerita tentang cinta belaka. Hindania adalah personifikasi "Indonesia". Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, dia bertemu seseorang musafir dari Barat, Wolandia yang kemudian mengawininya. Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga "lebih mencintai hartaku daripada diriku" dan "menyia-nyiakan anakku". Dalam kepedihan Hindania bersyukur terjadi perubahan besar di Barat. Yakni ketika Maharaja Mars yang bengis naik tahta di "negeri maghrib", yang kebengisannya menyadarkan Wolandia untuk lebih bermuka manis.
Pada 1920, ketika Hatta menulis itu, pemerintah Belanda sedang gencar menerapkan kebijaksanaan "politik etis", bersikap lebih manis kepada rakyat pribumi, setelah mereka mengalami sendiri pahitnya dijajah Jerman selama Perang Dunia I, perang dahsyat yang dipersonifikasikan Hatta sebagai Maharaja Mars.
Tulisan pendek itu melukiskan luasnya bacaan Hatta dan minatnya pada sastra. Hatta mengintip sajak Heinrich Heine dalam bahasa Jerman. Dia juga menyebut Leo Tolstoi, Karl Marx, Bakunin, serta Dostojevsky.
Hatta hanya salah satu dari sedikit pemuda kala itu yang memiliki kesadaran terhadap kebangsaan Indonesia, sebuah konsep yang masih samar-samar. Dan sejak itu, seperti ingin mengompensasi tubuhnya yang kecil, wajahnya yang dingin berkacamata tebal, serta gaya bicaranya yang membosankan, dia mencari kekuatan pada menulis. Pena adalah senjata dia untuk memerdekakan bangsanya.
Bakat Tulisan di Negeri Belanda..
Bakat menulisnya, dan timbunan bacaannya, kian meluap ketika Hatta kuliah di Negeri Belanda. Buku dan perpustakaan tetap menjadi pusat hidupnya. Tetapi Hatta bukan cendekiawan di menara gading.
Di jantung kekuasaan kolonial itu, Hatta ikut mengubah watak Indische Vereeniging, perhimpunan mahasiswa Hindia, yang semula lebih bersifat sosial, menjadi gerakan politik perlawanan. Hatta dan teman-teman bahkan menjadi kelompok pertama pemuda yang memperkenalkan kata "Indonesia" dalam pengertian geopolitik, yakni ketika mereka mengubah nama perhimpunan itu dari Indische menjadi Indonesische Vereeniging.
Perhimpunan Indonesia menerbitkan majalah Hindia Poetra, yang belakangan juga diberi nama lebih provokatif, Indonesia Merdeka. Hatta menulis dua artikel dalam edisi perdana majalah itu, dalam bahasa Belanda yang dipujikan. Kelak, dalam memoirnya yang terbut pada 1980, Hatta mengenang betapa "para profesor Leiden meragukan majalah itu ditulis seluruhnya oleh pemuda-pemuda Indonesia".
Disamping menguasai bahasa Melayu dan Belanda, Hatta sendiri fasih berbahasa Inggris, Jerman dan Perancis, yang membuat tulisan dan pidatonya tentang gagasan kemerdekaan Indonesia memiliki gaung lebih luas secara internasional.
Banyak tulisan Hatta menjadi bukti terpenting yang menggugurkan mitos di kalangan tentara bahwa militerlah yang paling berjasa memerdekakan Indonesia melalui perjuangan senjata. Mengikuti perjuangan tanpa kekerasan ala Mahatma Gandhi, ketajaman pena Hatta dan kekuatan analisisnya justru lebih digdaya daripada tembakan salvo mana pun.
Akibat tulisan-tulisannya yang tajam mengkritik pemerintah kolonial, Hatta ditahan pada 1927. Dia tidak surut. Dari ruang penjara yang sempit, dia menulis pidato pembelaan yang nantinya akan dia bacakan selama tiga setengah jam di depan pengadilan. Judu pidato itu, "Indonesia Vrij" (Indonesia Merdeka), menjadi salah satu manifesto politik yang monumental. Disitulah persis di ulu hati kekuasaan kolonial dia menusukkan tikamannya.
Pulang ke Indonesia dengan membawa gelar sarjana, Hatta makin larut dalam kegiatan politik. Bersama Sutan Sjahrir dia mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, sebuah partai politik yang lebih menekankan aspek pendidikan politik dan pemberdayaaan rakyat terjajah. Dia juga aktif menulis dalam majalah yang diterbitkan partainya: Daulat Ra'yat.
Dan kembali, akibat tulisan-tulisannya di situ Hatta di buang ke Boven Digul, Irian, sebuah wilayah pembuangan yang sering disebut sebagai Siberianya Hindia Belanda. Tapi, dasar Hatta, dia membawa serta 16 peti buku ke tanah pengasingan. Buku-buku itu membuatnya mempunyai amunisi cukup untuk meluncurkan tulisan-tembakan salvonya ke koran-kooran di Batavia maupun Den Haag. Dia memang tidak bisa dibungkam.
Hatta adalah orator besar seperti halnya Sukarno. Tapi bukan lewat pidato dengan suara di bariton yang penuh wibawa, melainkan lewat tulisan-tulisannya yang tajam dan menggetarkan.
Setelah kemerdekaan, Hatta lebih bertindak sebagai seseorang "administratur", yang mencoba menerapkan pengalaman akademisnya yang luas ke alam nyata. Dia terlibat dalam penyusunan konstitusi yang menyumbangkan beberapa pasal penting, seperti "hak berkumpul dan berserikat" dan "penguasaan negara atas sumber daya alam", yang dua-duanya mencerminkan kepeduliannya pada kedaulatan rakyat serta kehidupan ekonomi mereka.
Memenuhi sumpahnya hanya kawin setelah Indonesia merdeka, dia melamar Rahmi Rahim pada November 1945. Hatta menghadiahi calon istrinya emas kawin yang tidak akan dipikirkan orang lain: buku Alam Pikiran Yunani yang ditulisnya sendiri.
Pada awal kemerdekaan itu Hatta juga terlibat dalam pergulatan politik yang diwarnai perpecahan di kalngan pendiri negara.
Terpaksa menjadi perdana menteri setelah beberapa kkali kabinet jatuh-bangun, Hatta harus menghadapi soal rumit: pemberontakan Madiun, agresi Belanda, diplomasi untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia dan pembentukan tentara nasional.
Namun, disela-sela kesibukannya, dia masih menulis artikel attau buku. Topik perhatiannya sangat luas, dari politik, koperasi, perbankan, hingga tentang Islam dan demokrasi. Hatta setidaknya dua kali menulis di Foreign Affairs, sebuah jurna prestisius internasional tentang kebijakan luar negeri. Disitualah Hatta menyodorkan konsep politik luar negeri yang "bebas dan aktif", yang diadopsi pemerintah Indonesia hingga kini.
Ketika wafat pada 1980, Hatta meninggalkan "30 ribu judul buku" dalam perpustakaan pribadi, sebagai warisannya yang termahal. Integritas dan kesederhanaan hidup menjadikannya mutiara yang langka di antara deretan pemimpin Indonesia masa kini maupun lampau. Tapi dia lebih langka lagi sebagai negarawan yang menulis.
Dengan begitu luas sumbangannya, dan begitu bernas pikirannya, adakah cara yang lebih baik untuk memperingati Hatta dengan membaca kembali buku-bukunya? Dengan mengikuti tamasya sejarahnya?.

TAN MALAKA: Bapak Republik yang Dilupakan

PENGGAGAS AWAL REPUBLIK INDONESIA
Berkelana sebagai orang buangan di saat rekan-rekannya di Tanah Air berjuang melawan imperialis membuat Ibrahim Datuk Tan Malaka nelangsa. Ia kian kesal ketika permohonannya untuk kembali ke Jawa ditolak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dirk Fock. Padahal keinginannya mengabdi kepada partai dan rakyat begitu menggebu-gebu.
Maka, disela-sela tugasnya sebagai agen Komitern di Tiongkok, Tan pun menulis sebuah brosur panjang: Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dalam kata pengantar, Tan menulis: "Jiwa saya dari sini dapat menghubungi golongan terpelajar (intelektuil) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat."
Naar de Republiek terbit di Kanton pada April 1925. Tak jelas berapa eksemplar brosur ini dicetak. Yang pasti, cuma beberapa buah yang berhasil masuk ke Indonesia. Tan kembali mencetak tulisan panjang itu ketika dia berada di Filiphina pada Desember 1925. Cetakan kedua inilah yang kemudian menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia. Para pemuda bahkan mengetik ulang buku ini-setiap kali dengan karbon rangkap tujuh.
Para pemimpin perjuangan, termasuk Bung Karno yang kala itu memimpin Klub Debat Bandung, membaca buku Tan. "Bung Karno selalu membawanya," kata Sayuti Melik, seperti yang dikutip Hadidjojo Nitimihardjo dalam pengantar edisi terjemahan Naar de Republiek.
Buku kecil ini terdiri atas tiga bab, masing-masing mengulas situasi politik dunia, kondisi Indonesia, dan garis perjuangan Partai Komunis Indonesia. Pada sub bab terakhir, "Halilintar Membersihkan Udara," tan mengecam kaum terpelajar Indonesia yang menurut dia, masa bodoh dengan perjuangan kemerdekaan. Tulisnya: Kepada kaum intelek kita seruhkan....... Tak terdengarkah olehmu, teriakann massa Indonesia untuk kemerdekaan yang senantiasa menjadi semakin keras?"
Bukan hanya Sukarno yang selalu membawa-bawa Naar ke mana-mana, Muhammad Yamin juga memujua Tan. Bagi Yamin, yang kemudia bergabung dengan Tan dalam kelompok Persatuan Perjuangan. Tan tak ubahnya Bapak Bangsa Amerika Serikat; Thomas Jefferson dan George Washington: merancang Republik sebelum kemerdekaannya tercapai

TAN MALAKA: Bapak Republik yang Dilupakan

MADILOG (Materialisme, Dialektika, Logika): Naskah dari Rawajati
Di desa Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di Kalibata, Jakarta, ia menyewa gubuk bambu. Pada sepetak ruang sekitar 15 meter persegi. Di rumah itulah, Ibrahim Datuk Tan Malaka, dari pulul enam pagi hingga pukul 12 siang, berkutat merangkum gagasan dan pikirannya.
Kelak sebuah pikiran itu mewujud dalam sebuah buku termasyur: Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Tan menulis Madilog sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943.
Selama bermukim di Rawajati, ia kerap menyambangi Museum Bataviaashe Genootschap van Kunsten en Wetenschappen-sekarang Museum Nasional-untuk mencari dan membaca naskah rujukan. Ke museum kini yang terletak di seberang Monumen Nasional itu ia sering berjalan kaki, kadang butuh waktu empat jam.
Bila hendak ke sana, Tan bangun pukul setengah lima subuh. Tiba di museum sekitar pukul sembilan, ia biasanya tak lebih dari satu jam di perpustakaan. Setelah sebentar mempelajari keadaan di kota, "Sorenya kembali jalan kaki menuju sarang saya di Kalibata," tulis Tan dalam memoranya, Dari Penjara ke Penjara II.
Sejarawan Belanda, Harry Albert Poeze, mengatakan Madiolog merupakan bentuk pikiran yang telah lama mengendap bertahun-tahun dalam diri Tan Malaka. Tan merangkum pemikirannya dari hasil bacaan selama pengembaraan di Belanda, Cina, Singapura.
Tan tidak mencantumkan sumber rujukan dalam Madilog. Jilid pertama seluruhnya ditulis berdasarkan ingatannya. Selanjutnya, Tan Menggunakan rujukan dari perpustaakan di museum yang dikunjunginya. "Tan ingin mengelakkan kesan bahwa Madilog sepenuhnya buah pikirannya sendiri," kata Poeze.
Istilah Madilog merujuk pada cara berpikir, bukan pandangan hidup. Poeze, dalam bukunya, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945, mengatakan inti Madilog adalah penglihatan masa depan Indonesia yang merdeka dan sosialis. "Tulisan ini merupakan karya orisinal Tan Malaka," ujar Poeze.
Selama menulis Madilog, Tan selalu berdiskusi dengan sejumlah pemuda. Dia banyak bercerita tentang kesengsaraan penduduk di bawah penguasaan Jepang. Karena aktivitas inilah, Asisten Wedana Pasar Minggu pernah datang dan menggeledah gubuknya.
Karena tidak menemukan sesuatu, Asisten Wedana itu kemudian meminta maaf kepada Tan. Sang pejabat tidak tahu Tan telah menyembunyikan kertas-kertasnya dikandang ayam
Tan Malaka membawa naskah Madilog ke Bayah Selatan. Madilog juga dibawanya berpetualang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tan Malaka baru memperkenalkan Madilog tiga tahun setelah kemunculannya.
Ia menulis, "Kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan saksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya".A

Peranan Ki Hajar Dewantara dalam Pembentukan Taman Siswa

A. Tokoh Ki Hajar Dewantara
Figur tokoh yang fenomenal dan menjadi legenda adalah Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dengan Taman Siswa yang beliau dirikan. Beliau lahir di Yogyakarta, tanggal 2 Mei 1889. Beliau adalah putra dari KPH Suryaningrat, dengan nama Suwardi Suryaningrat. Pada usia 40 tahun, berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
Bertentangan dengan kebiasaan para putra bangsawan pada waktu itu, sejak masa kanak-kanak, beliau suka bergaul dengan anak-anak rakyat biasa. Setelah tamat dari ELS, beliau masuk STOVIA tetapi tidak sampai tamat. Sekolah ini beliau tinggalkan karena kekurangan biaya. Disamping itu, beliau banyak mendpat pelajaran kesenian Jawa dari ayahnya.
Setelah tamat dari STOVIA, beliau bekerja di Pabrik Gula Bojong (Purbalingga), kemudian pindah ke Apotek Rath-kamp Yogyakarta. Ternyata, pekerjaan ini tidak disukainya., Kemudian, beliau terjun ke bidang jurnalistik dan kemudian terjun ke dunia politik.
Bersama-sama dengan Dr. Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka mendirikan partai politik Indische Partij (IP). Namanya terkenal menjelang peringatan 100 tahun kemerdekaan pemerintah Belanda (1913). Ketika itu, rakyat Indonesia diminta mengumpulkan uang guna merayakan hari kemerdekaan Belanda. Hal ini ditentangnya. Ini kemudian melahirkan karangan yang berjudul "Als Ik Eens Een Nederander" ("Andaikan Saya Seorang Belanda"), yang tidak hanya membuat geger pemerintahan Belanda di Indonesia, tetapi juga pemerintahan Belanda di negara asalnya.
Karena tulisan itu, IP dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Ki Hajar Dewantara pun dibuang ke Bangka, Dr. Cipto Mangunkusumo ke Banda Neira, Dr. Douwes dekker ke Kupang. Atas permintaannya, mereka lalu dibuang ke negeri Belanda pada 6 September 1913.
Akan tetapi dalam pembuangan ini, Ki Hajar Dewantara justru menggunakan waktu yang sebaik-baiknya mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran. Sesudah 4 tahun di negeri Belanda, putusan pembuangan dicabut Namun baru pada tahun 1919 mereka dapat pulang ke Indonesia.
Setelah sampai di Tana Air, beliau bertiga meneruskan perjuangannya. Akan tetapi, mereka tidak pernah berhenti keluar masuk penjara. Beberapa tahun kemudian, mereka memisahkan diri untuk melanjutkan perjuangan sesuai dengan keahlian dan profesinya. Dr. Douwes Dekker mendirikan Kesatrian Institut di Bandung, yang mendidik kader-kader ekonomi dan persurat-kabaran. Sayangnya, perguruan ini tidak berkembang. Ki Hajar Dewantara lalu menjadi guru di Perguruan Adhidarma, Yogyakarta. Ia kurang puas, lalu mendirikan National Onderwijs Institut Taman Siswa (Perguruan Kebangsaan Taman Siswa), pada 3 Juli 1992 (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 58-60).
B. Kelahiran Taman Siswa
Taman Siswa lahir sebagai rekasi terhadap sistem pendidikan kolonial yang berta sebelah. Janji pendidikan untuk rakyat Bumi Putera masih merupakan janji kososng saja. Ki Hajar Dewantara yang banyak bergaul dengan rakyat biasa benar-benar merasakan hal itu. Di samping itu, Ki Hajar Dewantara yang sebelumnya telah terjun dalam bidang politik berpendapat bahwa rakyat Indonesia harus menggalang persatuan dan jiwa "suatu bangsa". Dengan kata lain, rakyat Indonesia harus berjiwa nasionalisme. Hanya dengan jiwa nasionalisme inilah cita-cita kemerdekaan akan dapat tercapai. Itu semua dapat ditempuh lewat pendidikan.
Setelah Taman Siswa berdiri, ternyata banyak mengalami rintangan, antara lain:
1. Pada 1924, barang milik Taman Siswa dilelang di muka umum karena Ki Hajar Dewantara tidak bersedia membayar pajak rumah tangga. Akan tetapi, barang-barang itu setelah dibeli/dilelang dikembalikan lagi oleh pembelinya.
2. Pada tahun 1932, keluar onderwijs ordonantie sekolah partikelir, yang isinya:
- sekolah partikelir harus meminta izin
- guru-gurunya harus mempunyai ijin mengajar, dan
- isi pengajarannya harus sesuai dengan sekolah negeri.
Ini berarti keberadaan Taman Siswa terancam. Dengan perjuangan yang gigih, Ki Hajar Dewantara menentang ordonantie itu, dan tahun 1933 ordonantie itu dicabut.
3. Pada tahun 1935, Taman Siswa dikenakan pajak upah. Ini jelas tidak sesuai karena Taman Siswa tidak mempunyai majikan ataupun buruh. Taman Siswa bekerja atas dasar kekeluargaan.
4. Penderitaan yang paling parah ialah pada zaman penjajahan Jepang. Pada waktu itu, sekolah-sekolah partikelir dilarang. Akibat peraturan itu, Taman Siswa yang sudah mempunyai 199 cabang dan tersebar di seluruh Indonesia ditutup. Akan tetapi diam-diam ada beberapa cabang yang masih dapat meneruskan.
C. Pengembangan Taman Siswa
Di dalam mengembangkan Taman Siswa ini, Ki Hajar Dewantara menempuh jalan non-kooperasi, harus mampu berdiri sendiri dan atas dasar keyakinan sendiri. Oleh karenya, beberapa kali tawaran subsidi dari pemerintah Hindia-Belanda datang padanya ia menolak (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 61-63).
Asas-asas Taman Siswa yang dibantu/disusun pada 1922 merupakan asas perjuangan yang disahkan oleh Kongres taman Siswa tanggal 7 Agustus 1930.
Adapun asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Adanya hak seseorang untuk mengatur dirinya.
2. Pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia yang merdeka lahir batin, pikiran dan tenaga.
3. Pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat.
4. mempertinggi pengajaran, tetapi yang tidak menghambat tersebarnya pendidikan dan pengajaran untuk seluruh masyarakat.
5. Berkehendak untuk mengusahakan kekuatan diri sendiri.
6. Keharusan untuk hidup sederhana.
7. Mengorbankan segala kepentingan untuk kebahagiaan anak didik (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 63).
Di dalam perkembangannya, asas-asas itu kemudian dijadikan dasar Taman Siswa dengan nama Panca darma. Setelah diperbaiki, isi Panca darma itu menjadi seperti berikut:
1. Kemanusiaan
Darma tiap-tiap kemanusiaan itu ialah mewujudkan kemanusiaan dengan kesucian dan kemurnian hati serta adanya rasa cinta kasih terhadap sesama. Pendidikan merupakan usaha kebudayaan yang bermaksud untuk memberikan tuntunan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar kelak dalam garis kodrati pribadinya dan dengan adanya pengaruh segala keadaan yang mengelilingi dirinya anak dapat berkembang lahir batinnya dan maju ke arah peradaban kemanusiaan.
2. Kodrat Hidup/Alam/Ilahi
Diri manusia menunjukkan adanya suatu kekuatan, sebagaimana telah ditentukan adanya oleh kekuatan dari ilahi. Kekuatan ini perlu dikembangkan agar anak mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup.
3. Kebudayaan
Kebudayaan sebagai buah budi manusia di dalam memperjuangkan hidupnya terhada kekuasaan alam dan kemajuan zaman. Manusia harus dapat membuktikan kesanggupannya mengatasi persoalan-persoalan hidupnya agar dapat mencapai kebahagiaan hidupnya, dalam suasana tertib dan damai. Menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan yang merupakan buah budi manusia yang bersifat lahir dan batin, selalu mengandung sifat-sifat keluhuran, kehalusan dan keindahan/keharuan, yang ada pada hidup manusia pada umumnya. Pendidikan juga harus diarahkan untuk mengembangkan kebudayaan agar bangsa Indonesia dapat maju sesua dengan perkembangan zaman. Di dalam mengembangkan kebudayaan itu, Ki Hajar Dewantara mengajukan teori "trikon", yaitu:
1. Konsentris
Di dalam mengambangkan kebudayaan, tidak boleh mengalahkan kebudayaan sendiri, justru itu bertitik tolak atau berpusat pada kebangsaan kita.
2. Kontinu
kebudayaan itu tidak mandeg, tidak statis, tetapi dinamis, selalu berkembang terus. Kebudayaan tiap generasi merupakan mata rantai kebudayaan generasi sebelumnya.
3. Konvergensi
Kebudayaan di dalam perkembangannya selalu mendapat pengaruh dari kebudayaan lain, kebudayaan bangsa-bangsa lain. Di dalam hal ini, kita harus selektif, tidak semua pengaruh itu menjadikan kebudayaan kita berkembang baik. Maka, dalam menerima pengaruh kebudayaan bangsa lain itu, kita harus memilih agar perpaduannya dapat mengembangkan kebudayaan kita.
4. Kebangsaan
Manusia di dunia ini memang mempunyai harkat dan martabat yang sama. Akan tetapi, di dalam mengembangkan harkat dan martabatnya, manusia mempunyai ciri-ciri khas sendiri sesuai denga ciri-ciri kehidupan kebangsaannya. Hidup manusia tidak akan memperoleh kebahagiaan apabila manusia itu menyendiri.
Manusia tidak dapat melupakan atau mengabaikan kehidupan bersama, terutama dalam kelompok kemasyarakatan. Pendidikan bertujuan menuntun anak agar dapat bekerjasama secara kooperatif, bersatu dalam satu kekuatan bangsa.
5. Kemerdekaan/Kebebasan
Manusia dalam hidupnya mempunyai kebebasan di dalam mengembangkan dirinya. Akan tetapi, kebebasan ini tidak berarti kebebasan yang tidak terbatas, tetapi kebebasan yang bertanggungjawab. Anak sebagaimana manusia, perlu diberikan kebebasan agar anak dapat mengembangkan diri sebaik-baiknya (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 64-66).
Sementara itu, untuk mencapai cita-cita dasar kebudayaan bangsa, terutama pada anak didik, dikembangkan beberapa hal yaitu:
1. Anak harus dididik untuk dapat menerima, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan.
2. Mengembangkan budaya bangsa sekaligus menjunjung harkat dan martabat manusia pada umunya.
3. Tidak melupakan kepentingan dan kehidupan anak.
4. Mendidik anak harus disesuaikan denga kodrat hidup anak.
5. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk mengembangkan dirinya (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 66-67).
D. Sistem Pendidikan Taman Siswa
Sistem pendidikan Taman Siswa yang dijalankan disebut Sistem Pamong yang mendasarkan pada:
1. Kodrat Hidup Anak
Kodrat anak meliputi Kodrat Ilahi-suatu kemampuan yang dimiliki anak sebagai anugerah Tuhan- dan Kodrat alam, yaitu kemampuan yang dimiliki anak sebagaimana mestinya sebagai anak.
Kodrat anak itu terwujud sebagai bakat anak. perkembangan dan kemajuan anak dicapai berdasarkan perkembangan kodratnya. Pendidik tidak dapat memaksakan, tidak dapat ikut menentukan secara mutlak, tetapi pendidik harus bisa menjadi "pamong". Pendidik harus berdiri di belakang anak, tetapi tetap mempengaruhi dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan diri. Pendidik baru turun tangan apabila anak memang perlu bimbingan dan tuntunan agar anak tidak menyimpang dari garis dasarnya karena adanya gangguan atau rintangan, misalnya. Inilah maksud semboyan Ki Hajar Dewantara yang disebut "Tut Wuri Hnadayani". Atau, lengkapnya, "Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani".
2. Dasar kedua adalah kemerdekaan. Artinya, anak didik harus diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri. Anak didik hendaknya dibiasakan menggunakan cipta, rasa dan karsanya sendiri. Begitu pula sikap hatinya. Jadi, hendaknya anak dididik agar menjadi orang dewasa yang merdeka lahir dan batinnya, yang disertai rasa tanggungjawab.
E. Pandangan Ki Hajar Dewantara terhadap Pendidikan
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan secara luas. Anak mendapatkan pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah, dan di masyarakat. Maka, dikenal tiga lingkungan pendidikan, yaitu:
1. Lingkungan Pendidikan di Keluarga
Lingkungan pendidikan ini merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Orangtua memegang peranan penting di dalam proses pendidikan.
2. Lingkungan Pendidikan di Sekolah
Keluarga tentu tidak mampu memberikan semua kebutuhan pendidikan anak. Maka, keluarha harus dibantuk oleh sekolah. Oleh karena itu, pada prinsipnya sekolah hanyalah menolong melayani kebutuhan yang belum dapat terlayani di dalam keluarga.
3. Lingkungan Pendidikan di Masyarakat
Anak perlu teman, perlu bergaul dengan teman dan orang lain agar mendapat wawasan yang luas. Di dalam pergaulan inilah anak-anak mendapatkan pendidikan (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 67-69).
Pelaksanaan kegiatan pendidikan Taman Siswa, terbagi dalam beberapa hal yaitu sebagai berikut:
1. Sekolah Taman Siswa menggunakan tingkatan-tingkatan:
- Taman Siswa Indriya: Taman Kanak-Kanak,
- Taman Muda: Sekolah Dasar,
- Taman Dewasa: SMP,
- Taman Madya: SMA dan,
- Taman Ilmu: Perguruan Tinggi,
2. Bahan pengajaran dan kurikulm yang ada di Taman Siswa sesuai dengan sifatnya yang nasionalis. Maka, bahan pengajaran/kurikulum harus didasarkan dan digali dari kebudayaan nasional.
3. Pendidikan budi pekerti memperoleh perhatian yang lebih besar karena hal itu merupakan dasar pembentukan watak kepribadian anak. Tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara ialah agar anak mencapai hidup yang bahagia lahir dan batin (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 70-71)
DAFTAR PUSTAKA
Soemanto, Wasty dan F.X. Soeyarno. 1983. Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional.