Kamis, 03 Mei 2012

SEJARAH PENDIDIKAN NASIONAL: Dari Masa Klasik Hingga Modern

Pendidikan di Zaman Kerajaan Hindu-Buddha

Dari catatan sejarah, proses pendidikan di tanah air dibarengi proses masuknya agama-agama dari luar masuk ke wilayah kita. Kebanyakan sumber tentang pendidikan di zaman kerajaan Hindu-Budha berasal dari Cina. Pendidikan tersebut dimulai dengan masuknya peradaban dan agama Hindu dan Buddha yang bisa kita lihat pada abad ke-5 Masehi melalui wilayah Kutai, Kalimantan
Dimulai dari prasasti yang ada di Kutai, isi antara lain menceritakan upacara pengorbanan terhadap dewa. Upacara tersebut ditujukan agar para raja, leluhur, dan keturunannya mendapatkan perlindungan dari dewa. Upacara dilakukan oleh kaum Brahmana. Upara itu menunjukkan adanya ajaran agama Hindu-Buddha (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 25).
Kemudian kita melihat kerajaan di Jawa Barat, Tarumanegara, melalui prasastai batu bertulis di dekat Desa Batutulis, Bogor. Batu bertulis mengabarkan kepada dunia bahwa di situ pernah berdidi sebuah kerajaan bernama Tarumanegara dengan rajanya yang memerintah, Purnawarman. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada abad ke-5 Masehi, sementara agama yang banyak dianut adalah Hindu.
Lalu bagaimana narasi pendidikan saat itu, berkaitan dengan tempat dan waktu, alat-alat tulisnya, murid dan gurunya, serta proses belajarnya? Sayangnya, belum ada sumber kuat dan valid yang bisa menjelaskan hal tersebut. Akan tetapi, dengan adanya bukti prasati tertulis tersebut, sudah dapat dipastikan dan menunjukkan bahwasanya di saat itu sudah mengenal dan bisa baca tulis.
Dari baca tulisnya, bangsa kita sudah mampu berhubungan, bertukar pengetahuan, dan berdagang dengan bangsa lain, antara lain Cina dan India.
*
Jika dilhat dari hurufnya, prasasti Batu Tulis memakai huruf palawa-palawascrift. Asal mula huruf ini berasal dari tanah Hindu. Saat itu kerajaan Tarumanegara telah menjalin hubungan dengan kerajaan luar negeri; Tiongkok, dengan seringnya negara tersebut dutanya ke negara tersebut. Jelas para duta tersebut sudah mendapat pendidikan mengenai keahliannya, berkaitan soal bahasa dan budaya dan tata pemerintahan. Hal demikian membuktikan bahwa pada masa tersebut telah terdapat proses, institusi, kebijakan pendidikan, yang tentunya tidak bisa disamakan dengan konteks sekarang (Bradjanagara, 1954: 10-11).
Kemudian dari sumber I-Tsing dapat diketahu bahwa di Sumatera terdapat kerajaan yang kuat serta berpengaruh bernama Sriwijaya yang pusat pemerintahannya terletak di sekitar Palembang sekarang. I-Tsing dalam perjalanannya dari Kanton ke India pada 671 M singgah lagi di Sriwijaya untuk menyalin dan menerjemahkah kitab-kitab agama Buddha. Karena tidak sanggup mengerjakan pekerjaan raksasa itu sendirian, ia pulang ke Kanton menjemput empat orang untuk membantunya dan dibawa ke Sriwijaya. Di samping kitab-kitab agama yang digarapnya, ia berhasil menulis dua biografi musafir-musafir pendahulunya dan suatu karya berbobot lainnya mengenai pelaksanaan agama Buddha di India dan di Semanjung Melayu. Karya-karya ilmiahnya dikirim ke Cina melalui ulama-musafir pada 692 M. Sedangkan, I-Tsing pulang ke Kanton pada 695 M.
Dari tulisannya dapat diketahui ciri-ciri agama BUddha pada waktu itu. Begitu pula, bahwa Siwijaya adalah pusat ilmu pengetahuan tempat para sarjana dan teolog Buddha sangat dihormati dan dihargai. Oleh sebab itu, para musafir dan ulama senang mendalami ilmu pengethuan di Sriwijaya, baik yang bersumber dari agama Buddha Mahayana maupun Hinayana. Salah seorang di antara tujuh dosen yang mempunyai reputasi internasional adalah Sakyakirti. Sampai kini karya-karya Sakyakirti masih dipelajari orang di Srilanka, Tibet, Kamboja dan Jepang.
*
Seorang mahaguru Sriwijaya yang termasyhur bernama Dharmapala adalah guru besar yang pernah memberikan kuliah-kuliahnya pada "universitas" Nalanda di Benggala (India Utara) selama 30 tahun. Perguruan tinggi yang ada di Siwijaya tidak kalah mutunya dengan yang ada di tanah suci India. Maka dari itu, banyak teolog dan muusafir Buddha belajar pula di Sriwijaya (Depdikbud, 1985: 56-58).
Pada abad ke-7, Dharmapala datang di Sumatera dan memberi pelajaran agama Buddha Mahayana kepada penduduk di daerah tersebut, yang semula menganut Hinayana. Keterangan-keterangan ini diperoleh dari seorang Tiongkok yang bernama I-Tsing, yang pada 672 dan 685 M berdiam di Palembang untuk belajar. Dari ini jelaslah bahwa dasar pendidikan pada waktu itu ialah agama. Atau, dengan perkataan lain, pendidikan memusatkan perhatiannya kepada agama.
Menurut I-Tsing, "universitas" di Sriwijaya dapat menampung beratus-ratus mahasiswa biarawan Buddha dan dapat belajar dengan tenang. Mereka tinggal di asrama-asrama khusus. Sistem dan metode sesuai benar dengan yang ada di India sehingga biarawan Cina dapat belajar di Sriwijaya sebelum melanjutkan studinya ke India (Depdikbud, 1985: 60).
*
Kemudian pada abad ke-8 di Jawa Tengah berdiri Kerajaan Kalingga dengan rajanya bernama Sanjaya. Peninggalan ini berbentuk batu tulis (lingga) yang ditemukan di Desa Canggal (Karesidenan Kedu).
Kemudian kerajaan itu di perintah oleh Raja Rakai Panangkaran dari wangsa Syailendara yang beragama Buddha. Waktu raja ini berkuasa, dibangunlah Candi Borobudur, Candi Sari, dan Candi Kalasan. Di dekat Candi Borobudur tersebut dibangun suatu tempat pendidikan agama Buddha yang dipimpin oleh seorang pendeta terkenal bernama Janabadra. Sekolah ini memakai sistem asrama (biara), yaitu guru dan murid-muridnya tinggal di asrama. Akan tetapi, murid-muridnya hanya dari keluarga raja dan pendeta, rakyat biasa sama sekali tidak dapat mengeyam pendidikan formal (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 27).
Di salah satu tembok Candi Borobudur, terlihat suatu lukisan di atas batu, yang menggambarkan suatu sekolah, seperti yang berlaku pada waktu sekarang. Kita melihat pendopo besar dan di tengah-tengah pendopo tampak di mata kita seorang Brahmana, sedang di kanan-kirinya dan dimukanya murid-murid, yang membuat lingkaran. Para siswa-siswa memegang buku, terlihat sedang menerima pelajaran membaca.
Buku apa yang sedang dibaca, tidak dapat diketahu secara pasti. Sistem yang dipakai pada waktu itu ialah sistem asrama. Siswa-siswa berdiam bersama-sama dengan Brahmana (gurunya) dalam suatu rumah. Para pendidik saat itu tidak menerima gaji, seperti zaman sekarang. Hidupnya terjamin oleh para siswanya, yang pada waktu-waktu tertentu memberikan kepadanya apa yang perlu untuk hidupnya.
Para siswa bekerja di samping belajar sehingga mereka dapat menjamin kehidupan gurunya. Buku pelajaran yang dipegang oleh para siswa terbentuk/tersusun dari rangkaian daun lontar, seperti yang sampai sekarang dapat kita lihat di Bali atau di museum. Adanya buku ini menjadi bukti bahwa bangsa kita pada waktu itu telah pandai membaca bahasa Sansekerta atau bahasa Kawi. Adapun huruf yang dipakai ilah huruf Jawa yang berlaku pada waktu itu.
Saat itu para pelajar atau peserta didik memiliki istilah cantrik, djedjangan, dan putut, dari berbagai jenis istilah pelajar tersebut terdapat kemungkinan bahwa pada waktu itu telah ada pengajaran rendah, menengah, dan tinggi. Dasar-dasar pendidikan dan pengajaran ialah agama Buddha atau agama Brahma. Kesimpulan ini dapat diambil penulis dari adanya agama Buddha dan agama Brahma di tanah Jawa Tengah (Borobudur dan Prambanan).
*
Daftar Pustaka
Bradjanagara, Sutedjo. 1956. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Depdikbud. 1985. Pendidikan Indonesia dari Zaman Ke Zaman.
Soemanto, Wasty dan F.X. Soeyarno.1983. Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar