Jumat, 27 April 2012

ANALISIS KEBANGKITAN ISLAM dalam EKONOMI PETANI yang SEDANG BERUBAH: SUMATERA TENGAH 1784-1847 CHRISTINE DOBBIN


KEBANGKITAN ISLAM DALAM EKONOMI PETANI YANG SEDANG
BERUBAH: SUMATERA TENGAH 1784-1847
(CHRISTINE DOBBIN, Jakarta INIS, 1992)

Christine Dobbin
Buku Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847 pertama kali diterbitkan oleh Curzon Press bekerjasama dengan Scandinavian Institute of Asian Studies, sebagai Monograph Series No. 47 pada tahun 1983. Lembaga ini kemudian berubah nama menjadi Nordic Institute of Asian Studies, disingkat menjadi NIAS. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) tahun 1992, di bawah judul Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847.
Substansi Tulisan
Dobbin mengawali paparannya secara detail tentang ekologi sosial dan topografi Minangkabau, tentang tantangan dan anugerah alam dalam gerakan perdagangan masyarakat Minangkabau. Ternyata masih banyak yang tidak ketahui tentang perubahan sosial yang spektakuler dan tentang gerakan Paderi di Minangkabau dan Tapanuli. Kurang lebih 75% dari buku yang tebalnya 428 halaman ini, bercerita tentang dinamika perubahan orang Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pantai barat dengan segala masalah yang ditimbulkannya, dan tentang pertambangan emas dan besi, tentang industri rumah, perbengkelan alat pertanian, senjata tajam dan bedil, pertukangan, pertenunan, perkebunan komoditi ekspor, persaingan dan perang dagang dengan Belanda. Hal itu terjadi sejak berabad sebelum timbulnya gerakan Paderi.
Menarik untuk disimak, bahwa berabad sebelum lahirnya gerakan Paderi, agama Islam sudah lama berkembang di Natal , pantai barat Mandailing, Tapanuli Bagian Selatan. Hal ini terbukti dengan kehadiran Tuanku Lintau, seorang kaya, penduduk asli Lintau di Lembah Sinamar, yang datang  ke Natal untuk belajar agama Islam. Kemudian Tuanku Lintau meneruskan pendidikannya ke Pasaman yang juga didiami orang Mandailing yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal.
Usai menuntut ilmu agama Islam itu, kira-kira 1813, Tuanku Lintau kembali ke desanya  membawa keyakinan, bahwa sebagai penduduk Tanah Datar, ia mempunyai misi untuk memperbaiki tingkah laku dan moral penduduk lembah itu. Tuanku Lintau terkesan pada gerakan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh di Agam. Ia pun bergabung dengan kaum Paderi.
Secara khusus Tuanku Lintau merasa wajib menyadarkan keluarga raja yang bergaya hidup tidak sesuai dengan ajaran Islam, agar kembali ke jalan yang benar. Semula, Tuanku Lintau mendapat perlindungan dari Raja Muning, ialah Raja Alam Minangkabau yang bertahta di Pagaruyung. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, Tuanku Lintau justru melancarkan revolusi sosial, karena ia yakin  bahwa sistem kerajaan yang korup adalah hambatan bagi keberhasilan cita-citanya.
Tuanku Lintau dan pengikutnya menyerang Raja Alam. Banyak yang terbunuh, termasuk dua putera Raja Alam. Raja Alam dan cucunya berhasil menyelamatkan diri ke Lubuk Jambi di Inderagiri. Cucu Raja Alam ini kelak terkenal sebagai Sultan Alam Bagagar Syah, Raja Minangkabau terakhir.
Bahwa Natal di pantai barat Mandailing sebagai tempat pertama Tuanku Lintau menimba ilmu agama Islam, membuktikan, ternyata Perang Paderi bukanlah gerakan Islamisasi di Mandailing. Karena berabad sebelum timbulnya gerakan Paderi, ulama-ulama sufi telah mengajarkan agama Islam kepada orang Mandailing Natal. Tokoh utama penyebar agama Islam di kawasan pantai barat itu sampai ke pedalaman Mandailing adalah ulama besar sufi Syekh Abdul Fattah  (1765-1855). Ulama besar ini wafat dan dimakamkan di Pagaran Sigatal, Panyabungan. Murid-murid para sufi itulah yang secara damai membawa Islam ke pedalaman Mandailing.
Baik Paderi maupun Belanda saling khawatir terhadap ancaman penghancuran hegemoni dagang masing-masing di kawasan Minangkabau dan pantai barat itu. Itu sebabnya Belanda mengunci wilayah Padang sampai ke selatan agar tidak dijamah oleh kaum Paderi. Inilah yang mendorong pendudukan wilayah utara dalam hal ini Rao dan Mandailing yang kaya emas berkualitas tinggi dan komoditi ekspor lainnya. Dengan paparan ini menjadi mengerti mengapa gerakan perdagangan ini menjadi mengeras dalam era gerakan Paderi.
Gerakan Paderi di Mandailing mendapat perlawanan dari Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, raja ulama sekaligus primus inter pares raja-raja Mandailing. Ia dijuluki oleh Belanda sebagai Primaat Mandailing.
Dobbin, memaparkan bahwa perdagangan budak sangat penting bagi sistem Paderi. Pasalnya,  budak-budak bukan saja sebagai dagangan, tetapi juga sebagai pengangkut barang dan tentara cadangan. Itu yang menyebabkan kaum Paderi dapat bertahan begitu lama dalam melancarkan peperangan.
Mungkin tidak enak untuk mengatakan bahwa, Perang Paderi yang begitu lama (1803-1838),  yang selama ini begitu disakralkan, disebut oleh Dobbin sebagai perang dagang. Fakta  menunjukkan cara-cara kaum Paderi menggerakkan perang yang penuh kekerasan dan kebrutalan, jauh dari nilai-nilai Islam. Inilah yang mendorong sadar atau tidak sadar, lebih percaya kepada Dobbin.
Dobbin memperlihatkan, bahwa Paderi mampu menggeser para pedagang yang beroperasi di pemukiman orang Eropa yang berdekatan. Salah satu ciri gerakan Paderi yang menonjol adalah usaha membina perdagangan Minangkabau sekaligus melawan upaya-upaya dari luar yang hendak memonopoli perdagangan di kawasan ini. 
Dobbin menegaskan pada halaman 281-284 buku ini, bahwa tidak mengherankan jika Imam Bonjol mengarahkan perhatiannya ke utara, ke arah tetangganya yang kaya, setelah ia menetapkan kekuasaannya di Lembah Alahan Panjang. Imam Bonjol memulai serbuannya ke Rao dengan mengawasi pembuatan jalan yang baik ke Lubuk Sikaping, desa utama di ujung selatan lembah. Paderi mengukuhkan kedudukannya di Rao dan Mandailing yang terkenal sebagai penghasil emas berkualitas tinggi. Imam Bonjol sendiri, sebagai pelindung Tuanku Rao, diketahui telah dijanjikan akan mendapat keuntungan tahunan dari satu tambang emas di dekat Pakantan, Mandailing, dan mungkin beberapa tambang emas lainnya lagi.
Menurut Dobbin, salah satu bagian esensial dari pemikiran strategis Imam Bonjol adalah penguasaan lembah Mandailing yang subur itu. Sebab, dengan menguasai jalan keluar masuk ini, berarti menguasai jalan dagang darat ke pelabuhan-pelabuhan di pantai barat Mandailing yang sudah lebih dahulu dikuasai oleh konglomerat Paderi, Peto Mage, seperti pelabuhan Batahan, Natal, Kunkun, Tabuyung dan Singkuang.
Dobbin mengungkapkan bahwa Paderi mengobarkan simbol-simbol agama untuk memperkuat kelancaran perdagangannya. Serbuan pertama Tuaku Rao ke Mandailing Godang berjalan cepat dan sukses. Para Paderi sangat bersemangat menghapus memori kolektif orang Mandailing dengan menghancurkan karya-karya sastra daerah itu yang berisi nilai-nilai luhur kearifan Mandailing. Setelah membakar Panyabungan dan membawa budak sebanyak mungkin, Tuanku Rao mundur lagi ke Rao.
Dobbin menjelaskan bahwa selain pasar komoditi ekspor, Panyabungan juga merupakan pasar budak dan kerbau yang berasal dari Barumun. Tidak pelak, pasar Panyabungan menjadi ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang Minangkabau yang datang dari pantai barat itu.
Pusat Mandailing, Panyabungan, dan tiga desa besar di sekitarnya Hutasiantar, Gunung Tua dan Pidoli berpenduduk 10.000 orang dan 40 desa kecil lainnya berpenduduk 14.000 orang, merupakan daerah kaya, sekaligus sebagai pengespor beras. Emas dari Mandailing Kecil ditukar dengan beras di pasar Panyabungan, kemudian emas itu dibawa ke pantai barat untuk ditukar pula dengan garam, besi, kain katun, benang tembaga, ikan kering dan barang-barang lainnya. Lokasi pasar Panyabungan terletak di pinggir Aek Mata, tepat di simpang empat menuju Hutasiantar di timur, Pidoli Lombang di selatan, Panyabungan di barat dan Gunungtua di utara. Pasar inilah yang dibumihangus Paderi. Kemudian setelah tentara kompeni menguasai Mandailing, mereka membangun Fort Elout  (Benteng Elout) di atas puing-puing pasar Panyabungan, Juli 1834. Dengan demikian, kegiatan ekonomi tetap berjalan yang berpusat di dalam dan di sekitar benteng.
Dobbin memaparkan, bahwa gerakan Paderi, khususnya di utara Minangkabau, lebih pada gerakan perdagangan daripada gerakan penyebaran agama Islam. Pantaslah, tak satu pun bekas jejak kaum Paderi dalam bidang agama di kawasan itu. Jadi sesuai dengan sinyalemen saya di dalam buku Greget Tuanku Rao, bahwa Islam dibawa oleh orang Mandailing sendiri dari Pasaman dan pantai barat Mandailing. Proses Islamisasi itu berlangsung secara damai dalam suasana kekeluargaan. Mereka telah mengenal Islam berabad sebelum keberadaan kaum Paderi. Reputasi Natal sebagai pusat perguruan Islam di pantai barat Mandailing telah dibuktikan oleh Tuanku Lintau, tokoh legendaris Paderi yang belajar agama Islam di Natal, sebelum ia menceburkan diri dalam gerakan Paderi.
Gerakan reformasi ajaran Islam dan perdagangan pra Paderi, pada saat Paderi dan pasca Paderi pada hakikatnya adalah revolusi sosial yang dahsyat di Sumatera Barat. Saya mendapat kesan, bahwa Dobbin tidak mengenal secara langsung kawasan Mandailing dan pelabuhan-pelabuhannya di pantai barat. Padahal kawasan itu sangat penting dalam kancah perdagangan kaum Paderi. Selain itu ada nama-nama tempat yang tidak dikenal di daerah itu seperti Sungai Taru yang seharusnya Batangtoru, Achin seharusnya Aceh, Gunung Bualbuali seharusnya Sibualbuali dll. Seyogianya  penerjemah, Lilian T. Tedjasudhana dapat melakukan penyelarasan nama-nama itu. Tetapi ternyata justru penerjemah ini menambah kekeliruan dengan memakai istilah-istilah Jawa yang tidak kena-mengena dengan tradisi di alam Minangkabau, seperti kraton dan ningrat yang seharusnya istana dan bangsawan.
Buku ini sangat layak dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui kiat-kiat sukses orang Minangkabau dalam berniaga, sekaligus tentang taktik dan strategi gerakan Paderi, serta perubahan sosial yang luar biasa pada orang Minangkabau yang disebabkan oleh gerakan Paderi.
Ketertarikan Christine Dobbin melakukan penelitian ini
Gejolak dan ekspansi Islam sedemikian rupa sehingga dalam istilah sejarah keagamaan murni, periode antara tahun 1789 sampai 1848, paling tepat digambarkan sebagai masa kebangkitan Islam sedunia (E.J. Hobsbawn, 1962: 225).
Gerakan kebangkitan yang mekar di sejumlah masyarakat Islam pada akhir abad kedelapan belas dan permulaan abad kesembilan belas masih belum banyak dijelajahi dan tidak akan habis dikaji secara ilmiah seumur hidup penulis. Penulis sepakat dengan Hugh Seton-watson yang, ketika membahas gerakan Murid pada awal abad kedelapan belas di Caucasus, menulis: “Ketidakpuasan sosial, kebencian terhadap orang asing, dan puritanisme agama bercampur dalam gerakan itu, dan boleh dikatakan tidak mungkin seorang ahli sejarah untuk melepaskan mereka satu persatu (H. Seton-Watson, 1967: 291). Namun banyak perkembangan yang tampak dalam masyarakat Islam pada zaman itu akan tetap kabur kalau para ahli sejarah sedikitnya tidak mencoba menjalankan proses “pelepasan”, dan melanjutkan menilai letak kebangkitan dalam evolusi masyarakat islam. Meskipun sudah ada sejumlah usaha yang cukup mutakhir dalam jalur-jalur ini, harus dikatakan pada mulanya bahwa sangat sedikit kajian tentang gerakan kebangkitan Islam yang besar pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas telah berhasil menempatkan fenomena ini pada konteks sosial dan ekonomi yang memadai.
Penulis menyediakan konteks ini untuk memberi isi pada teks yang kosong tentang kebangkitan, memaksa pakar sejarah untuk menarik penelitiannya lebih mendalam ke masa lampau masyarakat tertentu yang menjadi tempat terwujudnya gerakan kebangkitan Islam itu sendiri. Dalam hal gerakan padri yang menjadi pokok kajian ini, masyarakat yang terlibat adalah masyarakat Minangkabau di Sumatra Tengah, salah satu kelompok besar yang menghuni Kepulauan Indonesia ini. Karena begitu sedikit tulisan ilmiah yang ada tentang sejarah masyarakat indonesia pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, maka tiap perembesan ke dalam lapangan kelihatannya hampir tidak akan menimbulkan masalah. Namun, sang pakar sejarah akan segera menemukan bahwa sejumlah ilmuwan yang mengabaikan orang-orang itu tidak akan ditiru oleh kelompok lain, dan para pakar antropologi, ekonomi dan ahli ilmu bumi ternyata memang sangat bersemangat dalam mengadakan penelitian. Meskipun upaya mereka sebagai pionir sangat berharga, patut disayangkan bahwa para pakar sejarah menerapkan cara memilah-milah yang memang dapat diterapkan dalam zaman ini, tetapi belum tentu andal untu masa lampau. Oleh sebab itu, para ahli sejarah yang merekonstruksi masa lampau Minangkabau harus sangat berhati-hati.
Christine Dobbin menyadari bahwa menulis tentang gerakan Padri berarti juga merekonstruksi sebuah masyarakat yang berada dalam gejolak transformasi pertanian. Untuk itu perlu dikumpulkan informasi sepotong demi sepotong mengenai semua desa-desa penting di Minangkabau, dan khusus mengenai sejarah pertaniannya. Namun, sejarah perkembangan desa di Indonesia sampai sekarang hampir tidak diketahui. Sampai sekarang belum ada sejarah satu desa yang menjadi pokok tulisan ilmiah. Sementara memperhatikan kajian dari sejarah Eropa, ke manakah pakar-pakar sejarah Indonesia harus berpaling untuk memungkinkan mendapatkan bimbingan jika tidak kepada pakar ekonomi yang khususnya mempelajari urusan Indonesia. Namun, bayang-bayang karya J.H Boeke sangat mempengaruhi persepsi. Walaupun ada pengakuan modern mengenai kesedian petani Indonesia untuk berinovasi apabila risiko dan ketidakpastiannya tidak terlalu besar (B. Glassburner, 1971: 162-78), dengan semua implikasinya terhadap dinamika sejarah desa, argumentasi Boeke bahwa “memasarkan produk pertanian sebenarnya asing bagi desa timur yang asli” (J.H. Boeke, 1953: 24) pasti telah menjadi hambatan bagi para sejarawan desa yang potensial. Yang lebih meyakinkan, sejauh yang menyangkut para pakar sejarah tentang Indonesia, adalah pandangan Boeke bahwa, kalau ada perubahan yang tanpak dalam ekonomi desa, “gerakannya terutama bersifat ekonomi; motif-motif yang menentukan bukan ekonomis, melainkan sosial..”. Ciri utama kehidupan desa adalah perubahan-perubahan yang terjadi harus diselidiki di bidang lain, terutama bukan di bidang ekonomi.” (J.H. Boeke, 1953: 30).
Meluasnya pandangan ini menimbulkan ketertarikan Christine Dobbin untuk memandang gerakan-gerakan sosial dan ekonomi di Indonesia pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas dari segi perubahan budaya atau dari segi tanggapan terhadap inisiatif kebijakan langsung yang dijalankan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tidak dapat diragukan lagi bahwa karena alasan ini, gerakan Padri secara tradisional dipandang sebagai akibat persengketaan antara kepala-kepala suku dalam masyarakat desa Minangkabau dan guru-guru Islam yang memasuki dunia Minangkabau dengan gagasan-gagasan baru dari dunia luar. Untuk mencoba melihat gerakan ini secara lebih luas, dengan mencakup sejarah ekonomi dan sosial tiap desa diperlukan kesediaan untuk melontarkan prakonsepsi intelektual pribadi dan menyimpang dari norma-norma tradisional
Sumber-sumber yang Dipergunakan:
Materi sumber yang dipergunakan dalam pengkajian ini sebagian besar menggunakan sumber-sumber dari Belanda, antara lain:
A.    Sumber Naskah
1.      Arsip-arsip resmi Belanda yaitu Algemeen Rijksarchief, Den Haag, antara lain seperti;
a.      Koloniaal Archief
Arsip ini berisi catatan United East India Company. Seri yang dipakai terdiri atas surat-surat dari pos-pos luar VOC kepada Gubernur Jenderal di Batavia, dan diberi judul Bataviasche Inkomende Brieven, Overgekomen. Untuk Padang butir-butir yang diacu adalah sebagai berikut:
3752         Inkomend        Briefboek         en Bylagen van Sumatra’s Weskust
                 Overgekomen 1790
3800         Inkomend        Briefboek         en Bylagen van Sumatra’s Weskust
                 Overgekomen 1791
3853         Inkomend        Briefboek         en Bylagen van Sumatra’s Weskust
                 Overgekomen 1793
3876         Inkomend        Briefboek         en Bylagen van Sumatra’s Weskust
                 Overgekomen 1794
b.      Archief van het Ministerie van Kolonien
Dokumen-dokumen penting yang berasal dari Kementrian Daerah Jajahan dalam periode 1814-1849 terdapat dalam satu tiga berkas Verbalen (notulen) – Openbare (umum), Geheim (rahasia) dan Kabinet. Ketiga kategori dipakai dalam karya ini. Setiap Verbaal terdiri dari seri dosir bernomor, dan setiap dosir berisi satu seri Exhibitum yang disusun menurut tanggal. Untuk mendapatkan bahan mengenai Sumatra Tengah harus melalui indeks, dari sini perlu diambil nomor dosir yang dimaksud dan tangga Exhibitum yang relevan. Selain itu untuk telaah ini juga dipakai buku-buku mengenai Besluiten (keputusan) Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan beberapa dokumen lain.
2.      Laporan-laporan yang diterbitkan yang ditulis oleh para pengamat Belanda masa itu tentang situasi Sumatra Tengah yaitu: Algemeen Rijksarchief Hulpdepot, Schaarsbergen Archief van de Nederlandsche Handel-Maatschappij.
Reisverslagen (Laporan Perjalanan), 1826-1840 No. 13, 22, 33, 38, 39
3.      Sedangkan laporan yang ditulis oleh orang Minangkabau hanya ada dua, laporan ini memberikan informasi akan keikutsertaan dalam gerakan kebangkitan Islam. Dapat ditemukan dan dipakai sumber informasi, bersama-sama dengan bahan dari Minangkabau seperti cerita-cerita tradisional, ungkapan-ungkapan adat dan bukti-bukti arkeologis.
Mempelajari segudang bahan arsip Belanda mengenai periode ini membutuhkan segenap ketrampilan “ahli sejarah sebagai ahli arkelogi” karena setiap laporan yang berjilid-jilid mengenai kampanye dan pertempuran Belanda di Sumatra Tengah harus diasing untuk mendapatkan beberapa cuil informasi yang ada di dalamnya mengenai ekonomi dari desa-desa yang dimaksud, keyakinan keagamaannya, dan rincian lain yang penting.
Mengenai gerakan kebangkitan Islamnya sendiri, banyak dari analisisnya harus didasarkan atas laporan paling awal yang dicatat oleh perwira militer dan pejabat sipil pemerintah Hindia Belanda, yang menyelidiki orang-orang Minangkabau yang berhubungan dengan mereka.
Selain itu, survai yang dilakukan oleh para penyelidik ilmiah Belanda dan para pelancong, yang sangat berharga untuk kajian ekonomi desa, ternyata juga bermanfaat sebagai acuan mengenai desa-desa sebagai pengikut atau penentang gerakan kebangkitan Islam ini, meskipun diperlukan penyaringan yang cermat untuk mengemukakan dalil mengenai aliran atau kecenderungan dalam sebuah desa.

B.     Sumber Cetakan
1.      Sumber Utama
Anderson, J., Anchen, and the Ports on the North and East Coast of Sumatra. London, 1840.
Anderson, J., Mission to the east Coast Sumatra, in MDCCCXXIII. Edinburg dan London, 1826.
Anon, “Het Inlandsch bestuur ter Westkust van Sumatra”, TNI, ii (1839), i.
B..d., “de Padries op Sumatra”, IM, ii (1845), i.
Bastin, J., The British in West Sumatra (1685-1825). Kuala Lumpur, 1965.
Bastin, (ed.) The Journal of Thomas Otho Travers, 1813-20. Singapura, 1960.
Boelhouwer, J.C., Herinneringen van Mijn Verbkijf op Sumatra’s Westkust, Gedurende de jaren 1831-1834. Den Haag, 1841.
Burckhardt, J.L., Notes on the Bedouins and Wahabys. 2 vol. London, 1831.
Burger, H., “Aanmerkingen Gehouden op eene Reize door Eenige Districten der Padangsche Bovenlanden”, VBG, xvi (1836).
Cortesao, A. (ed.), The Suma Oriental of Tome Pires. 2 vol. The Hakluyt Society, Seri II, vol. Lxxxix, xc. London, 1944.
2.      Sumber Sekunder
Abdullah, T., “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau”, Indonesia, ii (1996).
Abdullah, T., “Modernization in the Minangkabau World; West Sumatra in the Early Decades of the Twentieth Century”, Indonesia, ii (1996).
Bachtiar, H.W., “Negeri Taram: A Minangkabau Village Community”, dalam Koentjaraningrat (ed.), Villages in Indonesia. Ithaca, 1967.
Barratt Brown, M., The Economics of Imperialism. Harmondswortha, 1974.
Hobsbawn, E.J., The Age of Revolution. Europe 1789-1848. London, 1962.
Seton-Watson, H., The Russian Empire 1801-1917. Oxford, 1967

Sistematika Penulisan
Agar diperoleh suatu gambaran yang memadai dan mudah dipahami, maka sistematika penulisan buku Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatra Tengah 1784-1847 oleh Christine Dobbin ini di susun sebagai berikut:
Bab I sebagai bab pengantar untuk memberi penjelasan dan dasar-dasar geografis kebudayaan Sumatra Tengah.
Bab II dipaparkan tentang keadaan desa dan pasar dalam ekonomi domestik Minangkabau 1818-1834 dengan rinciannya sebagai berikut; perubahan dalam ekonomi Minangkabau, desa dataran: beras dan mineral, desa bukit: hasil pabrik dan hasil bumi khusus, pantai barat: desa-desa di kaki dan pantai, pantai timur: enterpot sungai dan pergeseran budi daya, pasar dan pedagang
Pembahasan buku ini akan di mulai dengan Bab III yang berisikan mengenai perwujudan perkembangan dan perubahan dalam jaringan perdagangan luar, 1347-1829. Pada bagian pertama dalam bab ini akan dikemukakan mengenai pentingnya perdagangan emas Minangkabau 1347-1795, entrepot di pantai barat dan pialang pantai 1529-1795, orang-orang Belanda dan pertumbuhan sistem pialang Padang 1665-1795, orang-orang Inggris dan kebangkitan perdagangan pertama 1760-1795, orang-orang Inggris, Penang dan kebangkitan perdagangangan kedua 1786-1819, orang-orang Amerika dan menanjaknya perdagangan kopi Minangkabau 1790-1829.
Permasalahan yang akan di bahas dalam Bab IV berisikan kebangkitan Islam 1784-1803, dengan analisisnya; Islam dalam masyarakat Minangkabau, gerakan kebangkitan Islam yang pertama 1784-1803, gerakan Padri 1803-1832, masuknya orang-orang Eropa di Dataran Tinggi Minangkabau 1818-1832
Pada Bab V akan diuraikan mengenai gerakan Padri di Utara 1807-1832; desa Bonjol 1807-1832, kemenangan Padri atas tanah Batak.
Bab VI berisikan nasionalisme Minangkabau dan tantangan dagang Belanda 1833-1841 dengan rincian; nasionalisme Minangkabau, perdagangan petani Minangkabau dan kebijakan dagang Belanda.
Bab VII epilog berisikan Imperialisme kopi 1841-1847 dan sesudahnya

Gaya Penulisan
Termasuk pembabagan penulisan sejarah modern atau historiografi modern sebab latar penulisan banyak dipengaruhi oleh masuknya ekspansi kegiatan orang-orang Eropa (Belanda) di Asia (Indonesia).
Berdasarkan tata urut tahun penulisan sejarahnya, Dobbin memaparkan sesuai dengan urutan tahun dan urutan peristiwa atau kebijakan pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sumatera Tengah, sehingga dapat di analisis bahwa penulisan Dobbin bersifat diakronik (sesuai urutan tahun dan peristiwa/kronologis).
Tulisan Cristine Dobbin yaitu Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847 termasuk ke dalam gaya penulisan Sejarah Ekonomi Pertanian. Dalam tulisannya Dobbin mencoba mengemukakan hubungan antara ekonomi dan kebangkitan keagamaan pada masyarakat di Sumatera Barat.
Dobbin melihat bahwa petani di Sumatera Barat telah gembira dengan karena telah terbebas dari tanaman kopi yang dipaksakan, di susul dengan masa kebangkitan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di dalam tulisan tersebut telah terjadi “Revolusi dalam Jiwa” atau telah dirasuki dengan mental ekonomi. Akibatnya dalam masyarakat Sumatera Barat telah mempunyai pandangan adanya “pilihan rasional” terutama dengan mengupayakan pertanian hasil perdagangan sehingga telah menggeser tanaman padi. Tulisan Dobbin ini sebagai pemahaman yang mendasar tentang terjadinya perubahan di Sumatera Barat.

Kelebihan Penulisan
Penulisan buku ini oleh Dobbin, kiranya sudah obyektif sebab mempunyai keunggulan memanfaatkan data-data arsip pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sumatera tengah tentang kebijakan ekonomi daerah tersebut. Keunggulan buku yang ditulis oleh Christine Dobbin seorang peneliti Inggris dengan menggunakan literatur yang 90% menggunakan literatur Barat itu adalah dalam hal penyajian sumber dan metodologi. Christine Dobbin memahami secermat mungkin fenomena masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat petani desa yang sedang berubah. Buku Christine Dobbin layak dibaca sebab memiliki keuggulan lebih terutama dalam penyajian data dan sumber-sumber serta metodologi. Dalam penyajian data dan sumber, Dobbin melacak hingga perpustakaan di Belanda, Malaysia, Inggris, Australia, Amerika sehingga ia paham dan fasih menggunakan bahasa-bahasa di negara itu. Hal ini menjadi acuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya apalagi yang berkaitan dengan penelitian-penelitian sosial kemasyarakatan.
Selain itu Dobbin dalam penulisan buku ini mampu mengilustrasikan/menggambarkan kegigihan yang kuat masyarakat Sumatera Tengah dalam berdagang. Kuatnya semangat dagang orang Minangkabau dan kaum Padri digambarkan oleh Christine Dobbin secara gamblang dan jelas. Beberapa penjelasan tentang semangat dagang kaum Paderi antara lain ditulis oleh Christine Dobbin pada halaman 260, 261, 280, 281 sebagai berikut: Pada kira-kira tahun 1812, Bonjol mulai menarik penduduk dari tempat-tempat lain di Minangkabau. Mereka datang untuk mengkaji ajaran Padri maupun untuk ikut serta dalam perdagangan desa yang sedang berkembang. Sama seperti pemimpin utama Padri lainnya, Imam Bonjol ingin membuat kampung halamannya menjadi pusat dagang yang penting. Dalam memoarnya disebutkan bahwa segera setelah ia mendirikan tempat pemukiman itu, ia menanam padi dan pohon buah-buahan dan mendirikan tempat peternakan sapi dan kuda. Selanjutnya, ia berkata bahwa kira-kira pada tahun 1812, Bonjol “begitu makmur berkat meningkatnya industri dan perdagangan sehingga banyak orang datang ke situ karena tertarik pada murahnya harga bahan makanan sebab beras, ternak, dan kuda tersedia berlimpah”. Tambahan lagi, setelah benteng desa lebih disempurnakan dan penduduknya dipersenjatai dengan layak, “mereka memusatkan diri sepenuhnya pada perdagangan. Dengan menikmati keadaan damai dan bersatu, kemakmuran nagari Bonjol makin lama makin bertambah dan pedagang-pedagang dari tempat lain banyak yang datang ke sini” (hal. 260). Walaupun sulit dibedakan antara yang suci dan yang duniawi, keadaan menjadi lebih mudah oleh kenyataan bahwa Imam Bonjol dengan cepat menjadi pemimpin perang dan perhatiannya tertuju pada hal lain. Kepada murid-muridnya yang berbondong-bondong datang ke Bonjol, ia memberikan latihan silat. Kemudian, ia membentuk pasukan khusus setelah kedudukannya di lembah cukup kuat untuk menyatakan jihad kepada daerah sekitarnya. Ia lalu mengembangkan pola serbuan tahunan ke daerah-daerah sekitarnya dan pasukan Bonjol selalu kembali dengan hasil rampasan yang cukup banyak. Setelah menang perang, mereka beristirahat untuk bercocok tanam selama satu tahun sebelum melakukan serbuan lain. Serbuan-serbuan ini biasanya dilakukan atas permintaan salah seorang pemimpin Padri. Pada diri mereka bercampur erat semangat agama dan keserakahan manusiawi. Diberitakan pada suatu penyerbuan di Agam, orang Bonjol tidak saja kembali dengan membawa ternak rampasan, melainkan juga piring, cangkir, kuali, dan alat keperluan rumah tangga lainnya (hal. 261). Kebanyakan perdagangan produk Batak pun berada di tangan orang-orang Minangkabau. Oleh sebab itu, serbuan pasukan Padri ke Mandailing dan hulu Barumun hanya merupakan satu tahap lain dalam pembebasan yang terus menerus dari dunia Minangkabau ke dunia Batak yang telah berlangsung berabad-abad (hal. 280). Tidak mengherankan jika Imam Bonjol memalingkan matanya ke utara, ke arah tetangganya yang kaya, setelah ia menetapkan kekuasaannya di Lembah Alahan Panjang. Lembah yang panjang dan sempit di sebelah lembahnya menampakkan kemakmuran yang cukup besar. Para pemimpin masyarakat Padri di Alahan Panjang menyadari bahwa kepemilikan atas tambang emas Rao pasti akan memberikan dimensi ekstra pada jaringan dagang yang hendak mereka ciptakan. Selain itu, tenaga kerja dari lembah itu juga merupakan tambahan yang sangat diharapkan. Imam Bonjol memulai serbuannya ke Rao dengan mengawasi pembuatan jalan yang baik ke Lubuk Sikaping, desa utama di ujung selatan lembah (hal. 281).

Kelemahan Penulisan
Dobbin dalam memaparkan tulisan ini lebih banyak menceritakan kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sumatera Tengah. Dan juga, dalam menuliskan penelitian ini lebih dominan menggunakan sumber-sumber Eropa. Sehingga corak penulisan Dobbin ini lebih dominan pada penulisan sejarah yang bersifat Eropasentris dan Nerlandosentris yaitu lebih banyak menampilkan peran orang-orang Eropa dan Belanda dalam sejarah ekonomi pertanian Sumatera Tengah.
Kata kunci Islam yang dimunculkan oleh Christine Dobbin pada judul dan pembahasannya di dalam buku, adalah tentang sejarah masuknya Islam dan keberagamaan orang Minangkabau. Hal itu cukup membuktikan bahwa Christine Dobbin memahami Islam dengan baik. Namun apakah dalam setiap pembicaraan tentang pergerakan Islam itu harus disertai keharusan menuliskannya dalam kisah-kisah heroik seorang tokoh yang gagah berani dan gegap gempita kehidupan masyarakat, dan jika tidak, penulisnya jadi kurang memahami Islam?. Padahal corak atau nuansa sejarah Islam di Sumatera Tengah tidak hanya di pusatkan pada tokoh tertentu, namun pergerakan masyarakat kecil, serta bentuk-bentuk budaya khas lain juga sangat berpengarh terhadap perkembangan sejarah Islam di Sumatera Tengah. Sehingga dapat diberi analisis kesimpulan, bahwa Dobbin kiranya kurang memahami bagaimana sejarah Islam yang ada di Sumatera Tengah, khususnya sejarah Islam yang timbul di tengah masyarakat Sumatera Tengah, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa peran tokoh Islam juga berpengaruh besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar