Minggu, 17 Juni 2012

DARI BALI ke LAMPUNG: PERIHAL PESISIR



DARI BALI ke LAMPUNG:
PERIHAL PESISIR

Tuun di Tuban
Ringkasan cerita yang dikenal Tuun di Tuban (Mendarat di Tuban) sebagai berikut:
Adegan yang dilukiskan adalah tentang pendaratan raja Melayu di Tuban (pantai utara Jawa). Raja Melayu ini sesungguhnya seorang pangeran kerajaan Jawa, Daha, yang hijrah ke tanah seberang dan diadopsi sebagai pewaris takhta oleh raja Melayu yang sudah uzur, Bagawan Malayu. Sang raja muda dianugerahi dua isteri, Putri dari Tanjungpura dan Awantipura (Kalimantan dan Ava-Birma?). dia meninggalkan raja tua dan kembali ke Jawa untuk melanjutkan pencarian terhadap saudarinya yang hilang. Di tengah perjalanan, raja tua mangkat, dan dikirimlah sebuah kapal untuk memberitahu raja muda. Mereka bertemu dan menyampaikan kabar duka itu kepada raja muda ketika kapalnya telah menempuh separuh perjalanan ke Jawa. Raja muda meneruskan perjalanan dan mendarat di Tuban, di mana dia disambut oleh pembesar setempat (akuwu), yang belakangan mempersembahkan putrinya untuk diambil sebagai isteri ketiga oleh raja Melayu itu. Ketika orang-orang Melayu dan orang-orang Jawa bertemu, pada mulanya timbul kecurigaan dan ancaman permusuhan, tetapi kemudian berlangsung pesta perayaan besar-besaran, di mana busana, makanan, dan tarian Melayu dan Jawa dipersandingkan. Akhirnya, oleh Adipati Tuban, sang raja Melayu diantarkan menemui raja Gegelang dan menawarkan jasanya (Manuskrip Malat)

“Transisi” yang terlibat di sini boleh dibilang adalah peristiwa naik takhta, kendati sang raja tua sudah menjadi Begawan atau pertapa dan “pensiun” dari singgasana kerajaan sebelum raja muda itu meninggalkan Melayu. “Kematian” yang disimbolkan kiranya kematian raja tua, meskipun simbolisme semacam ini agak membingungkan, karena bukan dia yang ditampilkan menempuh perjalanan dengan kapal.
Seorang seniman Ida Bagus Made Togog, menyebutkan lakon ini sebagai episode Malat yang paling “bermakna” (suksma –yang menyiratkan “berkah” dan “makna rohani”). Kisah ini sekarang tidak dipentaskan atau dilukis, namun pernah popular sebagai episode sendratari gambuh spektakuler yang melibatkan perahu-perahu, sebagai lakon wayang Gambuh, dan sebagai tema lukisan seperti yang dicontohkan disini, yang berasal dari desa seni lukis tradisional Kamasan, Klungkung (K.T. Satake, 1935).
Para pemain Gambuh yang Adrian Vikers wawancarai enggan membicarakan episode ini, karena dirasa angker dan berbahawa “menyebabkan kapal tenggelam”. Sejumlah pemain menyebutkan bahwa kisah ini membangkitkan emosi yang sangat kuat hingga merasuki aktivitas di luar pementasan (“kehidupan nyata”), dan mencontohkan berbagai pementasan di mana khalayah menjadi terluka dalam pertempuran. Mereka khususnya berbicara tentang emosi-emosi ini dalam konteks terjadinya konflik antara orang Melayu dan orang Jawa ketika kapal-kapal itu berlabuh untuk pertama kalinya. Walaupun tidak disebutkan dalam versi literer, atau minimal tidak ditonjolkan, hal ini merupakan bagian penting dari pementasan Gambuh yang disusun sedemikian rupa hingga berakhir dengan adegan konflik atau di-ambang konflik. Sejumlah pemain lain menonjolkan aspek-aspek yang lebih positif dalam narasi ini, dengan mengatakan betapa episode tersebut mengungkapkan asal-mula tiga tarian Bali yang dibawa ke kampung halaman oleh sang Raja Melayu, yakni tari laga Baris, yang ia gunakan untuk menggembleng pasukannya; Jauk, tari yang melibatkan figur seram yang dipakai sang raja untuk menggentarkan musuhnya sebelum perang; dan tari keratin Legong, yang dia gunakan sebagai hiburan sehabis berperang. Ida Bagus Togog, dalam versi lisan episode ini yang dituturkannya, menunjukkan identitas kultural serupa ketika mengasosiasikan Melayu denga Jawa, dan lokasi naratif “Jawa” dengan “Bali”
Deskripsi abad ke-19 tentang pementasan lakon ini tercantum dalam teks yang dikenal sebagai Kidung Yuda Mengwi atau Geguritan Nderet. Teks ini sebagian besar mengenai konflik antara penguasa Mengwi dan sebuah desa. Pada babak awal konflik, seorang hamba raja (parekan) yang sudah tua menyuarakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan yang diambil raja setelah dipengaruhi oleh pejabat tinggi perpajakan dan irigasi (sedahan agung), Gusti Nderet. Hamba ini ketika algojo hendak membawanya ke kuburan untuk melaksanakan eksekusi, dia mengenakan busana putih yang dihadiahkan oleh raja lama sebagai pengakuan atas kepiawaiannya pada masa muda sebagai pemain Gambuh. Dikisahkan bahwa dia menarikan lakon “Mendarat di Tuban”, mengakhiri pementasannya dengan menghaturkan sembah kepada Raja Gegelang. Dalam konteks ini, kisah ini dipergunakan untuk menonjolkan tema kesetiaan mengatasi munculnya  ancaman atau konflik. Di sini, sebagaimana di tempat-tempat lain di Bali, narasi adalah unsur semiotik dari perjuangan politik.
Inilah kisah yang paling bermakna, berbagai pernyataan, isyarat, dan asosiasi tersebut mengundang kita untuk merenungkan banyak kemungkinan interpretasi dan ramifikasi yang dibiakkan lakon ini. “Kematian” dan “transisi” tampil ke pemukaan. Salah satu pembahasan paling mutakhir tentang simbolisme kapal di Asia Tenggara menyarankan adanya kemungkinan dimensi makna yang lain. Dalam sebuah artikel yang menguliti problem tentang mengapa simbolisme kapal “terus-menerus ditepiskan, dikembangkan atau direkonstruksi” dalam wacana historis, Pierre-Yves Manguin menunjukkan bahwa simbolisme kapal dapat dibahas tanpa mengandalkan argumen-argumen yang berkutat pada perkara difusi atau asal-usul (1986).
Manguin mengemukakan bahwa kapal berfungsi sebagai wahana bagus (dan mudah diakses) untuk menyimbolkan tatanan sosial, karena kapal harus “dijalankan menurut hierarkhi yang ketat”. Selain itu “tatanan ruang adalah vital di atas kapal”, sehingga “bentuk-bentuk yang menyerupai kapal dapat dipandang sebagai prinsip pengorganisasian esensial masyarakat yang tertib”. Manguin mengutip contoh dari sebuah teks Bali, Kidung Sunda, yang menuturkan perjalanan segenap bangsa Sunda ke Majapahit dengan menumpang 200 kapal besar dan 200 perahu (1986: 201). Jika analisis Manguin kita tambahkan pada komentar-komentar sebelumnya tentang episode Malat, khususnya versi lukisan, terbukalah kemungkinan untuk memandang kesemuanya itu sebagai komentar mengenai tatanan politik hierarkhis dan pengorganisasian sosial. Dalam sejumlah lukisan (misalnya, contoh yang diilustrasikan di sini), ini tampak jelas dalam penggambaran deretan bangsawan yang ditampilkan secara berjenjang, dari kedudukan terendah sampai tertinggi (Vikers, 1984: 1-35). Problem lain yang dilihat Adrian Vikers pada argumen Manguin adalah argumennya terkesan mengusung konteks dan isu politik kontemporer, namun ia membingkai uraiannya seakan-akan penggambaran kapal tersebut relevan dengan masyarakat Indonesia kuno.
Dari banyak penggambaran episode ini yang tersedia dalam lukisan, dan dengan menggunakan berbagai komentar Bali yang disebutkan di atas, tafsir lebih lanjut dimungkinkan. Penggambaran dalam lukisan tentang episode pendaratan di Tuban (Vikers, 1984: 19; 1985: 164; danTh. Galestin, 1954: 7-30) menonjolkan pertemuan antara orang Melayu dan orang Jawa, antara budaya asing dengan budaya yang sudah dikenal akrab. Dalam banyak lukisan, perbedaan itu ditegaskan dengan memasukkan pelaut Cina dan Eropa, yang dalam sejumlah adegan tampak mengusung peti, mungkin kiasan tentang perang orang asing dalam perdagangan di Bali (Vikers, 1984: 17-26). Dalam lukisan lainnya, penekanan diberikan pada tanda-tanda perbedaan kultural yang terjelma dalam aneka gaya busana, makan, minum, tari dan musik. Di sini, perbedaan asing adalah mewah dan eksotik, tetapi merupakan bagian dari hakikat pertukaran. Dalam lukisan yang menonjolkan tatanan dan hierarkhi sosial, ada penekanan pada bagaimana orang asing Melayu dapat terserap dengan mudah ke dalam struktur sosial dominan. Betapa pun, masyarakat Melayu pada umumnya dengan masyarakat Jawa, dan perbedaannya hanya terletak pada gaya tampilan luar (Galestin, 1954: 7-30; Vikers, 1987). Secara signifikan, istrinya bersembahyang di kuil “Penguasa Selatan” (Galestin, 1954: 21). Dalam hal ini pertemuan serta bahaya dan ikhtiar dalam menempuh perjalanan diberkahi lewat ritual. Persembahyangan menegaskan dimensi spiritual kisah ini, karena perjalanan dengan bobot dan bahaya yang demikian besar tentu menuntut keteguhan batin dan kesaktian luar-biasa. Ritus juga menegaskan sebuah tema yang hadir dalam berbagai versi literer kisah ini: bahwa sang raja Melayu sendiri sesungguhnya bukan orang asing, melainkan seorang pangeran Jawa yang menyamar. Daya adikodrati yang mendalangi pertemuan dan pertukaran antara Jawa dan Melayu adalah para dewata Bali yang sudah tidak asing lagi.
Isu ini penting bagi contoh yang dipilih di sini: Dalam lukisan koleksi Tropen Museum yang berlatar Tuun di Tuban, ditampilkan di pojok kiri bawah, kapal raja digambarkan sebagai kapal terbesar. Dalam adegan di kanan bawah, raja dan para pengikut para pengikutnya bertemu dengan Akuwu Tuban di keratin Tuban, dan sang Akuwu memberikan penghormatan kepada raja mancanegara itu. Pada lajur bawah karya ini, aliran gerak menuju kanan, ke kelompok orang Jawa yang menduduki kira-kira seperempat ruang dari kedua adegan. Di lajur tengah lukisan, gerak mengarah ke kiri, seolah menunjukkan bahwa kedatangan orang Melayu berujung pada integrasi dengan konteks Jawa, sebuah integrasi yang bersambung ke lajur atas, di mana tokoh-tokoh dalam lukisan kembali menghadap ke kanan. Berkenaan dengan lajur atas ini, orientasinya adalah ke pura Penguasa Selatan. Pada tiap lajur unsur-unsur narasi yang signifikan ditampilkan di sebelah kiri: di tingkat bawah ada kapal-kapal yang mengangkut raja dan para pengikutnya; di tingkat tengah ada putri-putri sang Akuwu yang dihaturkan sebagai isteri untuk raja; dan di tingkat atas ada pura. Melalui paralelisme, lukisan ini berupaya mengisyaratkan pertautan antara perjalanan ke luar negeri atau aristokrasi mancanegara, jalinan perkawinan, dan persembahan religius atau identitas Hindu. Lukisan ini tidak menampilkan pelaut Cina atau Eropa, melainkan berkonsentrasi pada martabat kedirajaan sang penguasa Melayu dan hubungan dia dengan budaya dan agama Jawa, yang betapa pun adalah budaya dan agama Bali. Lukisan ini menekankan pertemuan dua unsur: “Melayu” dan “Jawa”, budaya Melayu dan budaya Jawa. Inilah dua fokus budaya Pesisir yang lebih umum, dua titik acuan dalam aneka teks dan penjelasan kultural (Vikers, 1987).
Dalam berbagai ringkasan dari banyak versi episode ini, dimungkinkan untuk menangkap ragam kandungan maknanya: pertemuan antara budaya asing dan budaya yang sudah dikenal akrab, serta kemungkinan konflik dan akomodasi yang muncul darinya; hubungan antara perdagangan dan pertukaran kultural; transportabilitas budaya; dan suatu kesadaran tentang betapa berbagai daerah di Nusantara dipandang oleh orang Bali sebagai memiliki basis kultural dan sosial yang serumpun.
Untuk membicarakan episode ini lebih jauh, tiap versi kiranya harus dianalisis dalam konteks spesifiknya. Saying sekali, kurangnya informasi pokok perihal kapan dan di mana lukisan-lukisan itu dikoleksi tidak mengizinkan analisa kontekstual yang terperinci tentang jenis makna yang disarankan oleh contoh tarian Gambuh dalam Kidung Yuda Mengwi. Namun demikian, Adrian Vikers memakai contoh tentang episode ini untuk menunjukkan betapa berbagai kemungkinan maknanya banyak bersangkut-paut dengan Bali abad ke-19. Pelbagai versi adegan itu berkaitan dengan pola interaksi dengan Islam, para pedagang asing, Belanda, Jawa, serta hakikat agama dan politik di dalam kerajaan-kerajaan Bali. Ada banyak kemungkinan makna personal yang berhubungan dengan isu tentang kekuasaan, tatanan dan pagelaran. Semua makna tersebut sangat sedikit sangkut-pautnya dengan budaya Austronesia atau Dongson.

Tampan Pasisir
Tampan pasisir Lampung tidak dapat dianalisis dengan sama terperincinya seperti karya-karya Bali, karena dewasa ini tidak ada pengrajin tenun atau seniman yang bisa menuturkan makna yang sekiranya dimiliki tekstil tersebut. Kendati demikian, menarik bahwa sejumlah kecil pengarang yang berspekulasi tentang makna kain ini tertarik kepada maknanya pada abad ke-18, abad ke-19 atau abad ke-20. Kebanyakan mengawali dengan data perihal masyarakat Lampung yang memperlihatkan “kelestarian” (survival) watak kultural primordial, kemudian meloncat mundur ribuan tahun.
Agar lebih jelas, dalam kesempatan ini Adrian Vikers tidak membicarakan semua kain Lampung yang bermotif kapal. Bentuk tampan pasisir hanyalah satu jenis kain Lampung bermotif kapal yang terbatas di wilayah selatan Lampung. Jenis lainnya adalah berbagai kain “darat” yang membentuk khazanah tekstil yang dikoleksi di Barat, dan pelbagai corak selatan setempat dari Kalianda dan Teluk Semangka (Holmgren dan Spertus, 1980: 157-198). Corak Kalianda dan Teluk Semangka dapat dipandang sebagai variasi corak tampan pasisir.
Ada korelasi antara corak kain dan pengelompokkan kultural di Lampung (atau “ranah Lampung”, sebutan Belanda untuk kawasan ini). Corak “darat” terutama bertalian dengan wilayah-wilayah yang digolongkan sebagai adat pepaduan, yaitu wilayah yang menonjolkan semacam identitas “suku pribumi” (tribal), yang nanti Adrian Vikers bahas lebih jauh. Dalam penyebarannya, corak Kalianda tampak bertalian dengan Kerajaan Darah Putih (yang mencakup wilayah Ratu, Daratan, dan Rajabasa), sedangkan corak Teluk Semangka dapat dihubungkan dengan wilayah Kerajaan Semangka (di seputar wilayah Wanasaba dan Kota Agung). Tampan pasisir terutama berasal dari kawasan atau bekas Kerajaan Teluk Betung, dan mungkin dari sejumlah wilayah Darah Putih (B. Suwondo, 1980: 48-52). Ciri paling mencolok dari ragam-ragam tampan yang lebih mutakhir adalah penggambaran non-abstrak berbagai figur wayang dan (terutama) kapal. Kecenderungan abstraksi dalam corak Kalianda dan Teluk Semangka mungkin hasil dari upaya sengaja mengembangkan corak unik untuk menandai identitas khas dua wilayah ini (Holmgren dan Spertus, 1980).
Corak tampan pasisir sudah dibahas secara mendalam oleh Holmgren dan Spertus, yang memaparkan bahwa tekstil-tekstil tersebut sangat kuat mengusung narasi (Holmgren dan Spertus, 1980). Mereka menguraikan sebagian dari banyak ragam adegan pada tampan pasisir: penggambaran kelahiran seorang putra agung di kapal; prosesi armada raja, lengkap dengan gajah-gajah di kapal; transfer peti harta dengan kapal; dan penggambaran seorang bangsawan kerajaan bersama tiga wanita di sampan pelesir. Setidaknya sebagian dari adegan-adegan ini pararel dengan proses ritual di kalangan bangsawan Lampung Selatan yang memiliki kain itu.
Sebagai catatan kaki untuk wawasan mengagumkan yang disediakan oleh Holmgren dan Spertus, Adrian Vikers ingin mengemukakan dengan lebih terperinci tentang apa kiranya narasi pada kain-kain itu. Tidak seperti penulis yang lain yang menulis tentang tekstil Lampung (Dijk dan de Jonge 1980), mereka tidak mengajukan Dongson atau muasal kultural lainnya sebagai kunci menafsirkan kain-kain itu. Sebagai gantinya, mereka membahas kain-kain itu dengan mengacu kepada kurun sepanjang delapan abad sebelum kain-kain itu diproduksi. Mereka berargumen bahwa dunia kultural yang disikapkan oleh tekstil-tekstil tersebut adalah dunia sebuah budaya pesisir internasional klasik Sriwijaya-Jawa kuno. “Kami percaya bahwa citraan kapal yang canggih mulai berkembang pada suatu ketika dalam kurun perdagangan awal (sekitar abad 3-14), yang kemungkinan besar mencapai puncaknya antara abad 7 dan abad 11” (Holmgren dan Spertus, 1980: 165). Bukti tentang rujukan kepada budaya kuno ini muncul dalam penggambaran berbagai corak kapal yang belum ada untuk sekurang-kurangnya 400 tahun, beserta gaya wayang yang dipergunakan figure-figurnya, wayang yang merupakan ragam “teater utama” (Holmgren dan Spertus, 1980: 167, 179). Tidak disebut adanya narasi lokal yang dapat menjelaskan episode-episode yang digambarkan itu (Tos van Dijk dan de Jonge, 1980: 32; P.J. Worsley, 1972: 222-223), dan pembicaraan mengenai rujukan ditinggalkan pada taraf yang secara teoritis kabur.


DAFTAR PUSTAKA

Dijk, Tos van dan Nico de Jonge. 1980. Ship Cloths of the Lampung, South Sumatra. Amsterdam: Galerie Mabuhang
Galestin, Th. 1954. “Malat Story”, dalam Lamak and Malat in Bali, and a Sumba Loom. Amsterdam: Royal Tropical Institute Amsterdam Nr. CXIX, Dept. of Cultural and Physical Anthrropology Nr. 53.
Hoolmgren, Robert J. dan Anita E. Spertus. 1980. “Tampan Pasisir: Pictorial Documents of an Ancient Indonesian Coastal Culture”, dalam Matiabelle (ed). Indonesian Textille: Irene Emery Roundtable on Museum Textille. Washington D.C.: Textille Museum
Satake, K.T. 1935. Camera Picture of Sumatra, Jawa, Bali. Middlesbrough: Hood.
Suwondo, Bambang et al. 1980. Adat Istiadat Daerah Lampung. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Woorsley, P.J. (ed). 1972. Babad Buleleng (penerjemah dan pengantar). The Hague: Nijhoff
Vikers, Adrian. 1984. “Ritual and Representation in Nineteenth-Century Bali”. RIMA 18, 2.
_____________. 1987. “Hinduism and Islam in Indonesia: Bali and the Pasisir World”. Indonesia, 44.

DARI BALI ke LAMPUNG: PERIHAL PESISIR



“Adrian Vikers, penulis buku ini tidak pernah ragu untuk menempatkan karya sastra baik sebagai sumber sejarah maupun sebagai historiografi dan representasi dari kenyataan mentalitas masyarakatnya”
(Prof. Dr. Bambang Purwanto)


DARI BALI ke LAMPUNG:
PERIHAL PESISIR

Pelayaran apa yang membawa kita dari Bali ke Lampung dengan kapal? Di pantai mana kita berlabuh untuk menautkan dua budaya Indonesia ini? Sejarah kultural menjadi isu identitas nasional di Indonesia pada awal abad ke-20, ketika pertanyaan eksistensi “Indonesia” menyeruak dari perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Kini kohesi kultural Indonesia adalah fakta yang lahir dari rahim nasionalisme, kendati fakta tidak selalu tanpa perselisihan.
Sejak era nasionalis hingga dewasa ini, salah satu kiblat historis utama adalah kuno Majapahit. Akibatnya, kebudayaan dominan Indonesia dipandang sebagai kebudayaan keratin-keraton Jawa Tengah yang mengaku keturunan kerajaan klasik tersebut. Warisan nasionalis “bhineka tunggal ika” tidak bergulat dalam kancah persaingan berbagai model dan visi alternatif tentang masa silam. Upaya pemerintah sekarang untuk mengelola kebudayaan nasional dan, terkait dengan itu, suatu penerimaan umum terhadap kesatuan identitas Indonesia oleh seluruh rakyat Nusantara, belum menghasilkan sejarah identitas kultural Indonesia yang koheren. Pada tulisan ini adalah ikhtiar untuk mendefinisikan salah satu aspek dari hakikat identitas kultural yang menautkan mayoritas kerajaan dan “suku” di Indonesia yang pada masa sebelum Indonesia eksis sebagai negara modern. Contoh yang dipakai adalah lukisan dari Bali dan tekstil dari Lampung, Sumatera Selatan. Koneksi antara keduanya menyiratkan bahwa di luar Jawa, di tepian ideal Jawa klasik tentang intisari “Indonesia”, terhampar serangkaian koneksi dan satu kesadaran peradaban yang sama sekali berbeda dari model Orde Baru tentang kejawakunoan, meskipun demikian, kesadaran peradaban ini menggunakan Jawa (atau lebih tepatnya, “Jawa”) sebagai acuan kunci. Kesadaran peradaban ini bukan pula seperti yang dipeluk oleh Sukarno yang modernis-dinamis, yang dalam upayanya membentuk sebuah bangsa telah menyeru preseden-preseden kuno yang kiranya mengaburkan kebaruan negaranya. Kesadaran yang Adrian Vikers maksud di sini adalah kesadaran peradaban di mana perbedaan kultural dikenali, kadang ditegaskan, tetapi tetap mengusung simbol-simbol bersama, dan dengan itu memunculkan berbagai model tindakan yang dihayati bersama dan suatu kesadaran tentang masyarakat yang didefinisikan melalui jalinan bahari.

Kesadaran Pesisir
Rempah-rempah, budak dan kisah pergerakan benda, manusia dan bentuk-bentuk kultural seantero Asia Tenggara, khususnya melalui dunia maritim yang berbataskan bandar-bandar Asia Tenggara benua dan meliputi apa yang kini Malaysia, Filipina Selatan dan Indonesia adalah penting selama berabad-abad sebelum kehadiran orang Eropa terasakan di kawasan ini.
Di bidang perdagangan, anyaman cosmopolitan dari berbagai budaya di dunia maritim Asia Tenggara telah terdokumentasikan dengan baik sejak zamannya Van Leur, tetapi nama untuk dunia maritim ini justru datang dari ranah filologi, Pesisir (Pasisir). Th. Pigeaud mendeskripsikan teks-teks yang dimiliki bersama di berbagai wilayah sebagian bagian dari sastra “Daerah Pantai” atau sastra Pesisir. Namun lebih dari itu, dalam dokumentasi Pigeaud tentang teater dan seni di Jawa, makna istilah ini tidak merujuk kepada dunia sastra belaka, melainkan dunia budaya (1967: 6-7; 1938).
Sastra Pesisir, demikian dikemukakan Pigeaud, dalam penyebarannya di sepanjang Pantai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan Malaysia pada khususnya adalah kesusastraan teks berbahasa Jawa atau Melayu, dan terkait dengan bangkitnya negara-negara Islam kuat di Jawa. Pada awal abad ke-16, pusat budaya Pesisir adalah Surabaya-Gresik, Demak-Jepara dan Cirebon-Banten. Dari pusat-pusat ini, menurut uraian Pigeaud, sastra Pesisir menyebar berturut-turut ke Lombok dan Palembang, ke Lampung dan ke Banjarmasin (Kalimantan). Dalam prosesnya, watak Jawa dari kesusastraan pusat-pusat inti ini jalin-menjalin dengan kesusastraan Melayu, Arab dan Persia (Pigeaud, 1938). Contoh-contoh semacam ini pararel dengan pergerakan politik para pangeran di Nusantara, atau mereka yang disebut sebagai bajak laut, dan para budak, dalam sebuah sistem terbuka yang mencakup berbagai kerajaan yang bergolak, dan di mana kerajaan-sebagaimana diistilahkan orang Eropa-bercampur dengan apa yang oleh para penutur Eropa yang sama digolongkan sebagai rakyat “suku pribumi” (“tribal” peoples).

Simbolisme Kapal
Untuk mengilustrasikan keserumpunan Pesisir, Adrian Vikers telah memilih dua contoh dari budaya Pesisir, yaitu lukisan Bali yang menampilkan sebuah versi adegan cerita Panji Malat Rasmi, Malat, dan kain Lampung (Sumatera Selatan) yang dikenal dengan sebagai tampan pasisir. Keduanya menarik karena sama-sama menggambarkan kapal, meski secara stilistik jelas tidak memiliki kesamaan apapun. Selain menunjukkan bagaimana aspek-aspek umum budaya Pesisir beroperasi di lingkungan spesifik, keduanya dapat dipergunakan sebagai bagian dari kritik terhadap cara mempelajari sejarah kultural Indonesia yang menitikberatkan pada muasal “primitif” sebagai kunci untuk menjelaskan kemiripan budaya.
Kedua contoh Adrian Vikers adalah representasi tentang kapal, dan dapat dijelaskan dengan merujuk kepada khazanah sastra perihal simbolisme kapal di Indonesia. Sastra semacam ini berpusat pada simbolisme kapal sebagai manifestasi dari masyarakat Indonesia kuno. Pelbagai simbol terjalin melalui asal-usul bersama dan difusi. Dalam tulisan ini, Adrian Vikers bermaksud menjelajahi berbagai koneksi dalam budaya historis yang lebih mutakhir. Adrian Vikers akan melakukan itu dengan coba mengikhtisarkan salah satu kontur budaya Pesisir.
Kapal, lazimnya dalam bentuk peti mati atau sarkofagus, digunakan di berbagai daerah Indonesia untuk merepresentasikan perjalanan jiwa (Lihat Vroklage 1936: 712-57; 1940: 193-99, 230-34, 263-70). Dengan membandingkan kain tampan dan ritual Lampung, ada pendapat yang menyatakan bahwa kapal juga menyimbolkan gerak menempuh babak-babak kehidupan (Dijk dan de Jonge 1980). Kedua argumen ini terikat pada sebuah pandangan bahwa distribusi simbol-simbol semacam itu bersumber dari asal-usulnya pada zaman kuno. Melalui sebaran simbol kapal, rumah, tanduk kerbau, ular dan burung, kita bisa-dengan metode ini-menguraikan suatu budaya-Asali (Ur-culture) Indonesia megalitik.
Argumen ini terasa persuasif jika menilik deretan buktinya. Berbagai bentuk dan pola yang mirip antara satu sama lain terentang dari Madagaskar sampai Taiwan (Jerome Feldman, 1985). Distribusi bentuk-bentuk tersebut pararel dengan relasi rumpun bahasa yang menautkan Indonesia, Malaysia, Filipina, Australia Aborigin, dan pulau-pulau Pasifik.
Mazhab Antropologi Strukturalisme Belanda tampil mempelajari hubungan di antara berbagai belahan Indonesia sebagai manifestasi kultural dari pola-pola perkerabatan orisinal. Bentuk-bentuk simbolik yang disebutkan di atas dikaji oleh mazhab ini terutama dalam kaitannya dengan pola-pola perkerabatan puak ganda dan perkawinan lintas-puak (Van Dijk dan de Jonge, 1980). Penjelasan difusionis telah lama ditolak dalam aliran antropologi lainnya, karena menciptakan berbagai citra yang sepenuhnya hipotesis atau tidak relevan dengan masyarakat masa kini (Penny van Esterik, 1984: 77-91). Namun betapa pun pendekatan ini tetap tertanam kukuh dalam kajian tentang kesenian Indonesia di luar Jawa dan Bali.
Kebanyakan tulisan mengenai kesenian Indonesia yang tidak berfokus pada keindiaan (Indic) atau pengaruh eksternal lainnya dengan ringan menerima berbagai asumsi perihal difusi dari asal-usul tunggal dan pencarian terhadap pola kultural bersama yang “primitif”, “arkais” atau “kesukuan” (tribal) dalam bentuk-bentuk simbolisme (Fabian, 1983: 30). Namun di luar Indonesia, ada sejumlah kecil mazhab analisis yang melanggengkan apa yang pada hakikatnya merupakan sebuah model dari Jerman abad ke-19 tentang penyelidikan “ruh” nasional atau rasial dan muasal prasejarahnya.

Simbolisme Kapal Bali
Pendekatan “arkais” cukup mudah dipakai untuk menjelaskan citra kapal dalam contoh dari Bali yang ditampilkan di dalam tulisan ini: citra kapal merepresentasikan sebuah perjalanan simbolik, yaitu perjalanan menempuh babak-babak kehidupan, atau perjalanan dari kehidupan menuju kematian. Untuk memperkuat argumen ini, tidak tertutup kemungkinan ditemukan simbolisme kapal yang lain di Bali. Dalam ritual kematian, pendeta yang menjadi imam, biasanya seorang pedanda (pendeta tinggi Brahmana), harus “melayarkan” (ngentas) jiwa dari dunia ini ke alam baka (Hooykaas 1976: 46). Demikianlah, di sebuah desa di Bali Timur, simbolisme kapal menjadi bagian dari upacara pemurnian. Sebuah kapal dibiat dari pelepah daun kelapa dan diberi muatan simbolik. Pada saat bersamaan, dibuatlah falus setinggi kira-kira satu meter, disebut “lingga desa” (kleng desa). Pada gilirannya kemudian, kapal tersebut dibawa ke gundukan batu yang merepresentasikan laut, dan serta-merta dibakar ketika tetua desa melocati falus itu (Danker Schaareman, 1986: 132-40).
Dari riset Adrian Vikers mengenai penggunaan episode yang digambarkan tersebut dalam beragam bentuk artistik di Bali, Adrian Vikers mendapati bahwa setumpuk asosiasi lain yang muncul dari narasi ini sulit diabaikan. Untuk mempertahankan penjelasan tentang “kapal mendiang”, dan “ritus transisi”, ada aspek-aspek dari plot episode itu yang relevan dengan tema-tema tersebut. Akan tetapi ada pula berbagai kemungkinan makna lain yang akan terabaikan ketika berfokus pada dua makna simbolik itu.

DAFTAR PUSTAKA
Dijk, Tos van dan Nico de Jonge. 1980. Ship Cloths of the Lampung, South Sumatra. Amsterdam: Galerie Mabuhang.
Esterik, Penny van. 1984. “Continuities and Transformations in Southeast Asian Symbolism: A case Study from Thailand”. BKI 140: 77-91.
Feldman, Jerome (ed.). 1985. The Eloquent Dead. Los Angeles. UCLA Museum
Fabian, Johannes. 1983. Time and the Other. New York: Columbia University Press.
Hooker, M.B. (ed.). 1976a. “Balinese Death Ritual – As Described and Explained from the Inside”, Riview of Indonesian and Malayan Affairs. RIMA 10, 2: 46.
Piageaud, Th. 1967-1970. Literature of Java Cataloque Raisonne of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public Collections in the Netherlands, 3 jilid.
Schaareman, Danker. 1986. Tatulingga: Tradition and Continuity. Basel: Wepf, Basler Beitrage zur Ethnoglogie Band 24.

PERADABAN PESISIR : Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara


PERADABAN PESISIR : Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara
Penulis                                   :           Adrian Vikers
Kata Pengantar                     :           Bambang Purwanto
Penerbit                                 :           Pustaka Larasan
Cetakan Tahun                     :           2009

A.    IKHTISAR BUKU
Berangkat dari karya sastra yang direpresentasikan oleh ceritera-ceritera Panji, pemahaman dari dalam yang menjadi ciri dari buku ini telah menunjukkan bahwa di satu masa Asia Tenggara sebagai sebuah entitas dan identitas di masa lalu merupakan sebuah kawasan yang berbagi pengalaman sejarah bersama dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain secara kultural hanya karena perbedaan kesukubangsaan, politis dan letak geografis. Ceritera-ceritera Panji tidak hanya hidup pada orang Melayu, Jawa, atau Thai yang merasa terikat pada ikatan biologis, antropologis, dan politis tertentu, melainkan juga menyebar secara merata ke seluruh wilayah ini melewati batas-batas ikatan sempit yang ada. Lokalitas yang termuat dalam ceritera Panji juga tidak hanya terbatas pada satu wilayah kultural tertentu melainkan juga melintasi batas-batas etnisitas dan geografis yang secara langsung membangun sebuah budaya kawasan. Hal itu misalnya dapat dilihat dengan jelas di dalam Malat, sebuah syair kidung Bali yang amat penting pada abad ke-18 dan 19. Paparan tentang Melayu, Jawa, dan Bali di dalam Malat menunjukkan adanya interaksi antar budaya yang intensif untuk membuktikan bahwa “sekian banyak ‘budaya’ itu adalah manifestasi dari sebuah ‘peradaban’ bersama”.

B.     TENTANG PENULIS
Prof. Adrian Vikers memperoleh gelar Ph.D dari University of Sydney pada tahun 1987 dengan disertasi tentang kajian teks Bali yang berjudul “The Desiring Prince: The Balinese Kidung Malat as Text”. Sebelum menjadi Guru Besar Studi Asia Tenggara di Universitas Sydney, beliau cukup lama mengajar di Universitas Wollongong Australia.
Tulisan-tulisannya telah tersebar di berbagai jurnal internasional dan buku kumpulan tulisan serta sering menyampaikan makalah pada forum ilmiah internasional. Beberapa bukunya yang sudah diterbitkan, antara lain, Bali: A Paradise Created (Penguin, 1989), Journeys of Desire: The Balinese Malat in Text dan History (KITLV Press, 2005), dan yang terakhir A History of Modern Indonesia (Cambridge University, 2005).
Kini, beliau sedang menyelesaikan proyek riset tentang penulisan kembali sejarah Indonesia sejak jatuhnya Soeharto dan tentang Industri Garmen di Asia Tenggara.

C.    SUMBER TULISAN “PERADABAN PESISIR : Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara”
§  BAB II  Hinduisme dan Islam di Indonesia: Bali dan Dunia Pesisir
Diterjemahkan dari artikel “Hinduisme and Islam in Indonesia: Bali and the Pasisir World,” dalam Indonesia 44: 30-58, 1987. Versi revisi dari makalah yang disampaikan dalam Kongres ke-15 Internasional Associatioan for the History or Religions di University of Sydney, 18-23 Agustus 1985.
§  BAB III Dari Bali ke Lampung: Perihal Pesisir
Diterjemahkan dari artikel “From Bali to Lampung by way of the Pasisir,” dalam Archipel 45: 55-76, 1993.
§  BAB IV “Identitas Melayu”: Modernitas, Tradisi Rekaan, dan Bentuk-bentuk Pengetahuan
Diterjemahkan dari artikel “Malay Identity”: Modernity, Invented Tradition, and Forms of Knowledge.’ RIMA 31, 1: 173-212, 1992.
Pernah diterbitkan dalam Timothy P. Barnard (ed.), Contesting Malaynes: Malay Identity across Boundaries, Singapore: Singapore University Press, 2004.
§  BAB V Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara
Versi terjemahan dari makalah yang berjudul Towards A Cultural History Of Southeast Asia yang disampaikan pada Konferensi Internasional Historians of Asia di Bangkok, 1996.
§  BAB VI Pramodernitas di Asia Tenggara
Versi terjemahan dari makalah yang berjudul Premodernity In Souteast Asia: Panji and Pasisir, yang disampaikan pada Asian Studies Association of Australia Biennial Conference di University of New England, Armidale, 1992.

Kamis, 10 Mei 2012

SEJARAH PENDIDIKAN NASIONAL: Dari Masa Klasik Hingga Modern

AWAL PENDIDIKAN BELANDA bagi ANAK-ANAK PRIBUMI
*
Sesudah VOC gulung tikar pada 1799, Indonesia menjadi daerah jajahan Belanda dengan nama Hindia Belanda. Usaha-usaha pendidikan kolonial Belanda yang di ajarkan di Maluku tidak dapat meluas ke daerah yang lain. Maka, pada saat pemerintahan Hindia-Belanda dijalankan, pendidikan bagi bangsa Indonesia belum baik. Pada saat itu, Gubernur Daendels agak memerhatikan nasib bangsa Indonesia. Ia (1801) telah menyatakan bahwa perlu diselenggarakan pengajaran bagi anak-anak Jawa (Indonesia) untuk memperkenalkan kepada anak-anak itu tentang kesusilaan, adat istiadat, dan pengertian-pengertian agama.
Akan tetapi, cita-cita Daendeles tidak dapat direalisasi, berhubung tidak adanya anggaran untuk pengajaran bangsa Indonesia. Saat itu penjajahan Belanda sempat terhenti atau berganti ketika dalam konteks internasional mereka dikalahkan Inggris. Dan Inggris sempat menjadikan Indonesia sebagai jajahannya (1811-1816) belum juga memberikan/mengusahakan pendidikan. Baru setelah Belanda merebut Indonesia kembali, keluarlah surat keputusan (koniklijk besluit 1848) yang isinya tentang penetapan anggaran belanja pengajaran bagi orang-orang Indonesia, terutama bagi anak-anak pegawai Indonesia. Sementara itu 1884, keluar surat keputusan yang memberikan kesempatan berdirinya sekolah swasta.
Konteks pendidikan dan pengajaran ini pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kebuthan pegawai rendahan di kantor-kantor pamong praja atau kantor-kantor yang lain (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 38-39).
Di zaman pemerintahan Hindia-Belanda ini, terdapat tiga jenis kegiatan pendidikan, yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Penggambaran tentang masing-masing tingkatan dan jenis pendidikan itu adalah sebagai berikut:
1. PENDIDIKAN RENDAH (LAGERE ONDERWIJS).
Pada dasarnya baru pada 1800 Belanda bersedia memerhatikan pendidikan bagi bangsa kita, itupun masih terbatas pada anak-anak yang statusnya disamakan dengan anak Belanda. Setelah keluar Keputusan Raja tanggal 30 September 1848 No.95 mulailah pemerintah Hindia mendirikan sekolah rendah bagi anak-anak pribumiputra (Inladse Lagere School) di Pasuruan dan Jepara (Jawa Tengah). Tujuan sekolah ini ialah untuk mendidik calon pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintah.
Kemudian, sesuai dengan Keputusan Raja tanggal 25 September 1892 yang dimuat dalam Lembaran negara 1883 No. 125, pendidikan rendah bagi anak-anak bumiputra diubah dengan membaginya menjadi dua macam, yaitu:
a. Sekolah Kelas Satu (De Scholen Der Eerste Klasse) yang kelak (1914) menjadi HIS (Holland Inlandse School). Sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak pemuka atau tokoh masyarakat, pegawai pmerintah, atau orang-orang bumiputra yang terhormat lainnya. Sekolah ini hanya di kota karesidenan, kabupaten, kecamatan, atau tempat-tempat pusat perdagangan perusahaan.
b. Sekolah Kelas Dua (De Sholen Der Tweede Klasse), yaitu sekolah bagi anak-anak bumiputra pada umumnya. Berbeda dengan sekolah kelas satu, sekolah ini didirikan di daerah kota kecamatan atau di daerah desa yang maju. Lama belajarnya 5 tahun. Tujuannya tidak jelas. Bahasa pengantarnya bahasa daerah atau bahasa Melayu.
*
Di samping itu berkat Jasa Gubernur Jenderal Van Huetsz, pada 1906 didirikan pula sekolah bagi anak-anak bumiputra yang lebih rendah yang disebut "sekolah desa (volgschool)". Lama belajarnya 3 tahun. Bahasa pengantarnya bahasa daerah. Materi pelajarannya hanya terpusat pada membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Jadi sekolah ini sebenarnya semacam kursus Pemberantasan Buta Huruf (PBH), tetapi lebih rendah ketimbang Kelompok Belajar Pendidikan Dasar (KBPD) sekarang. Sekolah ini tidak banyak manfaatnya. Tamatan sekolah ini tidak bisa diterima menjadi pegawai (mungkin karena tidak bisa berbahasa Belanda). Setelah 3 atau 4 tahun, murid keluar dari sekolah sambungan/lanjutan (vervolkschool) yang merupakan sekolah sambungan dari sekolah desa. Lama belajarnya 2 tahun (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 39-41).
Tamatan sekolah desa yang mampu dan pandai diberi kesempatan melanjutkan ke sekolah peralihan (sckakel school). Lama belajar sekolah ini 5 tahun. Mulai tahun pertama telah diberi pelajaran bahasa Belanda dan muali tahun ketiga telah dipergunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar sekolah. Materi pelajaran disamakan dengan HIS sehingga sekolah ini mempunyai derajad yang sama (disamakan) dengan HIS, dan bagi tamatannya diberi kesempatan untuk melanjutkan ke MULO (SMTP). Bagi anak-anak Belanda, disediakan sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sekolah rendah itu:
1) HIS (HOLANDS-INDLANDSE SCHOOL), lamanya 7 tahun. Sekolah ini dapat dimasuki anak-anak Indonesia dari anak-anak pegawai pemerintah Hindia-Belanda.
2) ELS (EUROPESE LAGERE SCHOOL), lamanya 7 tahun. Sekolah ini mempunyai tiga tingkatan, diperuntukkan bagi anak-anak Belanda sesuai dengan tingkatan-tingkatan orang Belanda. Tiga tingkatan ELS, yaitu:
- ELS klas I (erste)
- ELS klas II (twede)
- ELS klas III (thirte).
ELS kelas III ini juga diperuntukkan bagi anak-anak Indonesia yang hidupnya seperti orang Belanda atau anak-anak indo. Sekolah rendah untuk anak-anak Cina (HCS=Holand Chinese School) dan anak-anak Arab (HAS= Holand Arabishe School) juga memakai bahasa pengantar bahasa Belanda dan sistemnya pun disesuaikan dengan sekolah rendah Belanda sehingga setingkat ELS.
*
Suatu keuntungan bagi bangsa Indonesia bahwa anak-anak bumiputra telah mendapat kesempatan untuk bersekolah sehingga pada 1940 telah tercatat anak-anak bumiputra yang bersekolah di sekolah rendah yang berbahsa daerah sejumlah 2 juta lebih dan di sekolah rendah Belanda sebanyak 88 ribu lebih. Sayangnya kebanyakan anak-anak keluaran (lulusan) sekolah desa beberapa tahun kemudian menjadi tuna-aksara. Ini disebabkan gurunya yang tidak mampu sehingga metode mengajarkannya kurang baik dan anak-anak tidak berkesempatan mengembangkan diri.
2. PENDIDIKAN MENENGAH (MIDDELBAAR ONDERWIJS).
Hanya terdapat satu jenis sekolah lanjutan yang menurut sistem persekolahan Belanda digolongkan ke dalam sekolah dasar yaitu sekolah dasar yang lebih luas (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs = MULO). Sekolah ini merupakan lanjutan dari sekolah dasar (rendah) yang berbahasa pengantar bahasa Belanda. Lama sekolah 3 dan 4 tahun. Didirikan pertamakali tahun 1914 dan diperuntukkan bagi golongan bumiputra dan timur asing. Kelanjutan MULO ini ialah sekolah menengah umum (Algemene Middelbareschool = AMS). Mulai berdiri tahun 1915.
AMS terdiri dari dua jurusan, yaitu:
a. Bagian A: Pengetahuan Kebudayaan (Cultureweten Schap) yang dibagi lagi menjadi:
1. Bagian A1 : Sastra Timur
2. Bagian A2 : Sastra Klasik Barat.
b. Bagian B : Pengetahuan Alam.
Disamping itu, terdapat pula sekolah menengah bagi warga negara Eropa, bangsawan bumiputra, atau tokoh-tokoh termekuka. Sekolah ini disebut Hoogere Burger School (HBS) kelanjutan dari ELS. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda. Bahasa pelajaran yang diberikan berorientasi ke Eropa Barat (khususnya Belanda). Lama sekolah 3 tahun (yang dulu disebut Gymnasium), sudah ada sejak tahun 1860, dan HBS 5 tahun mulai didirikan pada 1867.
*
3.Pendidikan Tinggi
a. Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS = Geneskundige Hoge School) didirikan tahun 1928. Namun sebelumnya telah ada Sekolah Dokter Jawa (1851), 1902 diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Arsten). Di samping itu, ada NIAS (Nederlandsch Indische Arsten School). Pada 1928, semua dijadikan satu yang disebut GHS, ada di Jakarta.
b. Sekolah Tinggi Hukum (RHS = Rechts Hoge School) didirikan pada 1924 di Jakarta.
c. Sekolah Tinggi Tekik (THS = Technische Hoge School) didirikan tahun 1920 di Bandung. Sekolah ini didirikan atas prakarsa Konintelijk Institut Voor Hoger Technisch Onderwijs ini Nederlansch Indie sehingga mutunya dapat diakui oleh dunia (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 43-44)
*
4. SEKOLAH-SEKOLAH KEJURUAN
Untuk memenuhi tenaga teknis di perusahaan-perusahaan maupun kongsi-kongsi Belanda, didirikanlah sekolah kejuruan, antara lain:
a. Sekolah Pertukangan (Ambachts Leergang), lama belajar 2 tahun, menerima lulusan sekolah ini pada zaman kemerdekaan. Sekolah ini dijadikan sekolah kerajinan (SK). Sekolah pertukangan ini ada dua macam yakni, yang berbahasa daerah diperuntukkan bagi yang akan bekerja di pabrik, dan yang berbahasa Belanda diperuntukkan bagi calon mandor.
c. Sekolah Teknik (Technish Onderwijs), lama belajar 3 tahun. Sekolah ini mendidik tenaga pengawas.
c. Sekolah Dagang (Handels Onderwijs), lama belajar 3 tahun.
d. Sekolah Pertanian (Landbouw Onderwijs), mendidik tenaga yang akan bekerja di bidang agraris, pertanian dan kehutanan.
e. Sekolah Kewanitaan (Maiisjes Vakonderwijs). Sekolah ini berdiri atas jasa R.A. Kartini (Soemanto dan Soeyarno: 44-45).
*
5. SEKOLAH GURU
Sekolah guru ini terutama ditujukan bagi murid yang akan menjadi guru sekolah rendah. Maka, dengan didirikannya sekolah rendah, semakin banyak diperlukan guru. Alasan pendirian sekolah ini juga karena pemerintah Belanda merasa keberatan jika harus menggaji guru-guru Belanda. Maka, sebagai penghematan anggaran didirikan juga sekolah calon guru sekolah rendah.
Sekolah-sekolah guru dapat disebutkan:
a. Sekolah Guru Bumiputra (Kweekschool Voor Indlands Nder Wijsers) didirikan pada 1908. Lama belajarnya 4 tahun.
b. HIK (Hollandsh Inlandsche Kweeschool), lama belajar 6 tahun atau 3 tahun setelah MULO, telah didirikannya sejak 1851 di Surakarta.
c. HKS (Hogere Kweekschol) tahun 1914 di Purworejo untuk anak-anak Jawa, dan tahun 1917 di Bandung untuk anak-anak luar Jawa. HKS lama belajarnya 3 tahun, diambil dari HIK 3 atau 4 orang yang pintar.
d. Normal School, yang dipersiapkan untuk guru sekolah desa adalah 2 tahun. Normal School dipersiapkan untuk sekolah Klas II yang lama belajarnya 4 tahun.
*
Lalu ada usha mengganti kepala sekolah orang Belanda kepada orang-orang Indonesia dengan melalui pendidikan 2 tahun bagi guru-guru yang sudah bekerja paling sedikit 5 tahun dan pintar. Pendidikannya disebut Hoofd Acte Cursus (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 45-46).
*
Daftar Pustaka:
Soemanto, Wasty dan F.X. Soeyarno. 1983. Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional.