Minggu, 22 April 2012

BAJAK LAUT

BAJAK LAUT
Perompakan merupakan sebuah fenomena yang menarik sejak abad XIX di kawasan Asia Tenggara. Hal itu terbukti dari ditemukannya catatan mengenai bajak laut di berbagai sumber seperti dalam laporan perjalanan lintas laut, laporan kegiatan AL kolonial, buku panduan navigasi pada masa itu, nota dinas yang menyangkut keamanan pantai, buku cerita tentang pelayaran, dan jenis-jenis kepustakaan lain yang berkaitan dengan pelayaran pada abad XIX. Sumber-sumber tersebut selalu menyinggung adanya kegiatan bajak laut (zeeroof) di kawasan itu.
Bahkan arsip kolonial Belanda selalu menyediakan judul “bajak laut” meskipun adakalanya dalam tahun tertentu tidak ada berita mengenai bajak laut. Hal itu membuktikan bahwa masalah bajak laut pada masa itu sudah menjadi masalah rutin sehingga dirasa perlu menyediakan satu rubrik tersendiri setiap tahun dalam agenda administrasi kolonial. Perhatian terhadap perompakan di Indonesia juga cukup banyak. Buku-buku tentang perompak atau perompakan yang diterbitkan Balai Pustaka ternyata cukup laris. Sebagai contoh, buku karangan La Side berjudul Bajak Laut yang mengisahkan petualangan perompak di perairan Selat Makassar dan sekitar Pulau Selayar diterbitkan sampai dua kali. Kecuali itu juga ada buku Perompak Lanun yang mengungkapkan petualangan perompak di perairan antara Sumatra dan Serawak. Dalam kategori cerita populer terdapat buku berjudul Raja Kecil karangan Rosihan Anwar yang tokoh ceritanya adalah seorang perompak.
Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat umum tidak selalu menganggap bajak laut sebagai penjahat. Tokoh bajak laut dalam beberapa hal dapat digolongkan sebagai “social bandit” yang mendapat dukungan rakyat, karena kegiatan mereka dilihat sebagai suatu bentuk protes terhadap kekuasaan yang lalim, atau terhadap keadaan yang sedang dideritanya, meskipun cara-cara kekerasan yang ditempuh para bandit itu sesungguhnya tidak disetujui oleh masyarakat.
Namun pada umumnya bajak laut di perairan Nusantara pada abad XIX mengalami nasib yang malang. Mereka menemukan ajalnya karena serangan tentara kolonial, tertangkap lalu dihukum mati oleh pengadilan kolonial dalam usahanya menanamkan law and orde menurut nilai-nilai Barat. Kadang mereka juga dikejar dan dikeroyok rakyat setempat karena dendam atas perompakan dan perampasan harta benda, termasuk penculikan warga kampung untuk dijadikan budak.
Dari sudut manapun bajak laut disoroti, ada satu faktor yang menjadi permasalahan umum yang dimasukkan dalam kategori bajak laut, yaitu adanya unsur kekerasan untuk menahan kapal, perahu atau sampan, merusak dan membakar kampung, merampas harta benda, menculik orang untuk diperbudak, serta membunuh orang yang melawan.
Menurut A.B. Lapian untuk menyoroti kegiatan bajak laut perlu dibuat tipologi Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut. Orang Laut : semua kelompok masyarakat yang belum atau tidak mengenal bentuk organisasi kerajaan atau negara. Mereka ini terutama berkelompok dalam perkampungan perahu, artinya mereka bertempat tinggal dalam perahu yang berhimpun dalam satu lokasi tertentu, biasanya di suatu teluk atau muara sungai yang terlindung dari ombak besar dan angin ribut. Oleh karena sifat mobile dari rumah-rumah perahu ini maka mereka dengan mudah dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga mereka juga dikenal sebagai pengembara laut (sea nomads, sea-gypsies). Meskipun demikian sesungguhnya mereka tidak terus-menerus berpindah tempat atau mengembara karena wilayah perpindahannya terbatas. Hal itu seperti petani di darat yang berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang yang baru, tetapi areal perpindahannya terbatas dalam wilayah tertentu saja. Di antara mereka juga ada yang sudah tinggal di dalam rumah, tetapi rumah tersebut didirikan di atas tiang-tiang yang ditancapkan di bagian yang dangkal di tengah laut atau di tepi pantai yang selalu digenangi air laut walaupun air sedang surut. Bajak Laut : kelompok pelaut yang melakukan kekerasan tetapi tidak termasuk dalam golongan Orang Laut dan Raja Laut. Mereka ini bertindak untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan pemimpinnya. Oleh karena itu tindakan kekerasan dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Oleh karena itu para penguasa pribumi maupun pemerintah kolonial menganggap tindakan mereka itu sebagai tindakan di luar hukum dan memperlakukan mereka sebagai outlaw.
Aktivitas perompakan tentu mempunyai motif-motif tersendiri. Tidak jarang motif mereka mendapat dukungan dan simpati masyarakat setempat, malahan ada kalanya mereka diberi perlindungan ketika diburu oleh penguasa. Sebaliknya apabila motif ekspedisi mereka ditujukan guna menangkap orang untuk dijadikan budak, mereka akan dimusuhi atau setidaknya ditakuti oleh penduduk. Dalam kaitan ini banyak penduduk pantai yang berpindah ke pedalaman untuk menghindari serangan bajak laut yang ganas. Raja Laut : mengacu pada kapal dan perahu beserta isinya yang merupakan kekuatan laut raja-raja di Asia Tenggara. Raja Laut bertugas sebagai penjaga wilayah perairan kerajaan. Dalam tugasnya itu mereka merasa berwenang untuk menggunakan kekerasan terhadap siapa saja yang memasuki wilayah yang dijaganya tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku. Sayang perkembangan politik dan ekonomi pada abad XIX telah menyudutkan mereka dalam keadaan yang terdesak oleh kekuatan Barat.
Sebenarnya kekuatan Barat ini juga merupakan suatu bentuk khusus dari tipe raja laut. Walaupun mereka berasal dari luar Asia Tenggara, namun kedudukan meraka di wilayah ini yang telah ditanamkan sejak abad XVI (Spanyol), abad XVII (Belanda), abad XVIII (Inggris), dan abad XIX (Perancis) telah begitu kuat sehingga mereka memegang peranan penting di perairaan Asia Tenggara. Akhirnya mereka berkembang sebagai superpower atau adikuasa pada waktu itu. Mereka merupakan Adi-Raja Laut yang memiliki teknologi maju dan dan dalam perkembangannya memegang monopoli tenaga uap.
Sementara itu para Raja Laut pribumi pun sebenarnya berusaha untuk memperoleh kapal api, tetapi usaha tersebut sangat terbatas, lagipula dilaksanakan di bawah pengawasan negara-negara kolonial.
Dalam sistem hukum internasional yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Barat, tindakan piracy yang di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah “bajak laut” merupakan suatu perbuatan kriminal yang khas. Hal itu karena pengadilan dapat mengadili kasus bajak laut tanpa mempersoalkan kewarganegaraan pelakunya. Oleh karena itu, kondisi belum tertibnya masalah kewarganegaraan di negara-negara tradisional Asia Tenggara pada masa kolonial tidak mempersulit penguasa kolonial untuk mengadili tindakan kejahatan bajak laut.
Pada masa kolonial Belanda, pendefinisian perompak sangat sederhana dan tendensius. Secara umum setiap perahu pribumi yang membawa senjata tanpa ijin penguasa kolonial sudah dapat dikenakan tuduhan sebagai bajak laut atau perompak, meskipun perahu tersebut belum atau tidak melakukan tindak kekerasan di laut bebas.
Untuk tujuan mencegah tindakan perompakan terhadap kapal-kapal Belanda dan Eropa lainnya, pemerintah kolonial Belanda melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap kapal-kapal atau perahu-perahu yang berdomisili di wilayah yang berada di bawah kontrol Belanda. Perahu-perahu yang dilengkapi dengan peralatan model Eropa diwajibkan mempunyai pasport laut (zeebrief/sea passport) yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial dan harus diperbaharui secara berkala. Kecuali itu mereka juga harus mempunyai zeepas/sea letter setiap kali berlayar. Sementara itu untuk perahu-perahu layar yang dilengkapi dengan peralatan model pribumi diwajibkan untuk memiliki surat ijin berlayar tahunan (jaarpas) yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial di tingkat lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar