Kamis, 03 Mei 2012

Peranan Ki Hajar Dewantara dalam Pembentukan Taman Siswa

A. Tokoh Ki Hajar Dewantara
Figur tokoh yang fenomenal dan menjadi legenda adalah Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dengan Taman Siswa yang beliau dirikan. Beliau lahir di Yogyakarta, tanggal 2 Mei 1889. Beliau adalah putra dari KPH Suryaningrat, dengan nama Suwardi Suryaningrat. Pada usia 40 tahun, berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
Bertentangan dengan kebiasaan para putra bangsawan pada waktu itu, sejak masa kanak-kanak, beliau suka bergaul dengan anak-anak rakyat biasa. Setelah tamat dari ELS, beliau masuk STOVIA tetapi tidak sampai tamat. Sekolah ini beliau tinggalkan karena kekurangan biaya. Disamping itu, beliau banyak mendpat pelajaran kesenian Jawa dari ayahnya.
Setelah tamat dari STOVIA, beliau bekerja di Pabrik Gula Bojong (Purbalingga), kemudian pindah ke Apotek Rath-kamp Yogyakarta. Ternyata, pekerjaan ini tidak disukainya., Kemudian, beliau terjun ke bidang jurnalistik dan kemudian terjun ke dunia politik.
Bersama-sama dengan Dr. Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka mendirikan partai politik Indische Partij (IP). Namanya terkenal menjelang peringatan 100 tahun kemerdekaan pemerintah Belanda (1913). Ketika itu, rakyat Indonesia diminta mengumpulkan uang guna merayakan hari kemerdekaan Belanda. Hal ini ditentangnya. Ini kemudian melahirkan karangan yang berjudul "Als Ik Eens Een Nederander" ("Andaikan Saya Seorang Belanda"), yang tidak hanya membuat geger pemerintahan Belanda di Indonesia, tetapi juga pemerintahan Belanda di negara asalnya.
Karena tulisan itu, IP dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Ki Hajar Dewantara pun dibuang ke Bangka, Dr. Cipto Mangunkusumo ke Banda Neira, Dr. Douwes dekker ke Kupang. Atas permintaannya, mereka lalu dibuang ke negeri Belanda pada 6 September 1913.
Akan tetapi dalam pembuangan ini, Ki Hajar Dewantara justru menggunakan waktu yang sebaik-baiknya mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran. Sesudah 4 tahun di negeri Belanda, putusan pembuangan dicabut Namun baru pada tahun 1919 mereka dapat pulang ke Indonesia.
Setelah sampai di Tana Air, beliau bertiga meneruskan perjuangannya. Akan tetapi, mereka tidak pernah berhenti keluar masuk penjara. Beberapa tahun kemudian, mereka memisahkan diri untuk melanjutkan perjuangan sesuai dengan keahlian dan profesinya. Dr. Douwes Dekker mendirikan Kesatrian Institut di Bandung, yang mendidik kader-kader ekonomi dan persurat-kabaran. Sayangnya, perguruan ini tidak berkembang. Ki Hajar Dewantara lalu menjadi guru di Perguruan Adhidarma, Yogyakarta. Ia kurang puas, lalu mendirikan National Onderwijs Institut Taman Siswa (Perguruan Kebangsaan Taman Siswa), pada 3 Juli 1992 (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 58-60).
B. Kelahiran Taman Siswa
Taman Siswa lahir sebagai rekasi terhadap sistem pendidikan kolonial yang berta sebelah. Janji pendidikan untuk rakyat Bumi Putera masih merupakan janji kososng saja. Ki Hajar Dewantara yang banyak bergaul dengan rakyat biasa benar-benar merasakan hal itu. Di samping itu, Ki Hajar Dewantara yang sebelumnya telah terjun dalam bidang politik berpendapat bahwa rakyat Indonesia harus menggalang persatuan dan jiwa "suatu bangsa". Dengan kata lain, rakyat Indonesia harus berjiwa nasionalisme. Hanya dengan jiwa nasionalisme inilah cita-cita kemerdekaan akan dapat tercapai. Itu semua dapat ditempuh lewat pendidikan.
Setelah Taman Siswa berdiri, ternyata banyak mengalami rintangan, antara lain:
1. Pada 1924, barang milik Taman Siswa dilelang di muka umum karena Ki Hajar Dewantara tidak bersedia membayar pajak rumah tangga. Akan tetapi, barang-barang itu setelah dibeli/dilelang dikembalikan lagi oleh pembelinya.
2. Pada tahun 1932, keluar onderwijs ordonantie sekolah partikelir, yang isinya:
- sekolah partikelir harus meminta izin
- guru-gurunya harus mempunyai ijin mengajar, dan
- isi pengajarannya harus sesuai dengan sekolah negeri.
Ini berarti keberadaan Taman Siswa terancam. Dengan perjuangan yang gigih, Ki Hajar Dewantara menentang ordonantie itu, dan tahun 1933 ordonantie itu dicabut.
3. Pada tahun 1935, Taman Siswa dikenakan pajak upah. Ini jelas tidak sesuai karena Taman Siswa tidak mempunyai majikan ataupun buruh. Taman Siswa bekerja atas dasar kekeluargaan.
4. Penderitaan yang paling parah ialah pada zaman penjajahan Jepang. Pada waktu itu, sekolah-sekolah partikelir dilarang. Akibat peraturan itu, Taman Siswa yang sudah mempunyai 199 cabang dan tersebar di seluruh Indonesia ditutup. Akan tetapi diam-diam ada beberapa cabang yang masih dapat meneruskan.
C. Pengembangan Taman Siswa
Di dalam mengembangkan Taman Siswa ini, Ki Hajar Dewantara menempuh jalan non-kooperasi, harus mampu berdiri sendiri dan atas dasar keyakinan sendiri. Oleh karenya, beberapa kali tawaran subsidi dari pemerintah Hindia-Belanda datang padanya ia menolak (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 61-63).
Asas-asas Taman Siswa yang dibantu/disusun pada 1922 merupakan asas perjuangan yang disahkan oleh Kongres taman Siswa tanggal 7 Agustus 1930.
Adapun asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Adanya hak seseorang untuk mengatur dirinya.
2. Pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia yang merdeka lahir batin, pikiran dan tenaga.
3. Pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat.
4. mempertinggi pengajaran, tetapi yang tidak menghambat tersebarnya pendidikan dan pengajaran untuk seluruh masyarakat.
5. Berkehendak untuk mengusahakan kekuatan diri sendiri.
6. Keharusan untuk hidup sederhana.
7. Mengorbankan segala kepentingan untuk kebahagiaan anak didik (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 63).
Di dalam perkembangannya, asas-asas itu kemudian dijadikan dasar Taman Siswa dengan nama Panca darma. Setelah diperbaiki, isi Panca darma itu menjadi seperti berikut:
1. Kemanusiaan
Darma tiap-tiap kemanusiaan itu ialah mewujudkan kemanusiaan dengan kesucian dan kemurnian hati serta adanya rasa cinta kasih terhadap sesama. Pendidikan merupakan usaha kebudayaan yang bermaksud untuk memberikan tuntunan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar kelak dalam garis kodrati pribadinya dan dengan adanya pengaruh segala keadaan yang mengelilingi dirinya anak dapat berkembang lahir batinnya dan maju ke arah peradaban kemanusiaan.
2. Kodrat Hidup/Alam/Ilahi
Diri manusia menunjukkan adanya suatu kekuatan, sebagaimana telah ditentukan adanya oleh kekuatan dari ilahi. Kekuatan ini perlu dikembangkan agar anak mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup.
3. Kebudayaan
Kebudayaan sebagai buah budi manusia di dalam memperjuangkan hidupnya terhada kekuasaan alam dan kemajuan zaman. Manusia harus dapat membuktikan kesanggupannya mengatasi persoalan-persoalan hidupnya agar dapat mencapai kebahagiaan hidupnya, dalam suasana tertib dan damai. Menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan yang merupakan buah budi manusia yang bersifat lahir dan batin, selalu mengandung sifat-sifat keluhuran, kehalusan dan keindahan/keharuan, yang ada pada hidup manusia pada umumnya. Pendidikan juga harus diarahkan untuk mengembangkan kebudayaan agar bangsa Indonesia dapat maju sesua dengan perkembangan zaman. Di dalam mengembangkan kebudayaan itu, Ki Hajar Dewantara mengajukan teori "trikon", yaitu:
1. Konsentris
Di dalam mengambangkan kebudayaan, tidak boleh mengalahkan kebudayaan sendiri, justru itu bertitik tolak atau berpusat pada kebangsaan kita.
2. Kontinu
kebudayaan itu tidak mandeg, tidak statis, tetapi dinamis, selalu berkembang terus. Kebudayaan tiap generasi merupakan mata rantai kebudayaan generasi sebelumnya.
3. Konvergensi
Kebudayaan di dalam perkembangannya selalu mendapat pengaruh dari kebudayaan lain, kebudayaan bangsa-bangsa lain. Di dalam hal ini, kita harus selektif, tidak semua pengaruh itu menjadikan kebudayaan kita berkembang baik. Maka, dalam menerima pengaruh kebudayaan bangsa lain itu, kita harus memilih agar perpaduannya dapat mengembangkan kebudayaan kita.
4. Kebangsaan
Manusia di dunia ini memang mempunyai harkat dan martabat yang sama. Akan tetapi, di dalam mengembangkan harkat dan martabatnya, manusia mempunyai ciri-ciri khas sendiri sesuai denga ciri-ciri kehidupan kebangsaannya. Hidup manusia tidak akan memperoleh kebahagiaan apabila manusia itu menyendiri.
Manusia tidak dapat melupakan atau mengabaikan kehidupan bersama, terutama dalam kelompok kemasyarakatan. Pendidikan bertujuan menuntun anak agar dapat bekerjasama secara kooperatif, bersatu dalam satu kekuatan bangsa.
5. Kemerdekaan/Kebebasan
Manusia dalam hidupnya mempunyai kebebasan di dalam mengembangkan dirinya. Akan tetapi, kebebasan ini tidak berarti kebebasan yang tidak terbatas, tetapi kebebasan yang bertanggungjawab. Anak sebagaimana manusia, perlu diberikan kebebasan agar anak dapat mengembangkan diri sebaik-baiknya (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 64-66).
Sementara itu, untuk mencapai cita-cita dasar kebudayaan bangsa, terutama pada anak didik, dikembangkan beberapa hal yaitu:
1. Anak harus dididik untuk dapat menerima, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan.
2. Mengembangkan budaya bangsa sekaligus menjunjung harkat dan martabat manusia pada umunya.
3. Tidak melupakan kepentingan dan kehidupan anak.
4. Mendidik anak harus disesuaikan denga kodrat hidup anak.
5. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk mengembangkan dirinya (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 66-67).
D. Sistem Pendidikan Taman Siswa
Sistem pendidikan Taman Siswa yang dijalankan disebut Sistem Pamong yang mendasarkan pada:
1. Kodrat Hidup Anak
Kodrat anak meliputi Kodrat Ilahi-suatu kemampuan yang dimiliki anak sebagai anugerah Tuhan- dan Kodrat alam, yaitu kemampuan yang dimiliki anak sebagaimana mestinya sebagai anak.
Kodrat anak itu terwujud sebagai bakat anak. perkembangan dan kemajuan anak dicapai berdasarkan perkembangan kodratnya. Pendidik tidak dapat memaksakan, tidak dapat ikut menentukan secara mutlak, tetapi pendidik harus bisa menjadi "pamong". Pendidik harus berdiri di belakang anak, tetapi tetap mempengaruhi dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan diri. Pendidik baru turun tangan apabila anak memang perlu bimbingan dan tuntunan agar anak tidak menyimpang dari garis dasarnya karena adanya gangguan atau rintangan, misalnya. Inilah maksud semboyan Ki Hajar Dewantara yang disebut "Tut Wuri Hnadayani". Atau, lengkapnya, "Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani".
2. Dasar kedua adalah kemerdekaan. Artinya, anak didik harus diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri. Anak didik hendaknya dibiasakan menggunakan cipta, rasa dan karsanya sendiri. Begitu pula sikap hatinya. Jadi, hendaknya anak dididik agar menjadi orang dewasa yang merdeka lahir dan batinnya, yang disertai rasa tanggungjawab.
E. Pandangan Ki Hajar Dewantara terhadap Pendidikan
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan secara luas. Anak mendapatkan pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah, dan di masyarakat. Maka, dikenal tiga lingkungan pendidikan, yaitu:
1. Lingkungan Pendidikan di Keluarga
Lingkungan pendidikan ini merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Orangtua memegang peranan penting di dalam proses pendidikan.
2. Lingkungan Pendidikan di Sekolah
Keluarga tentu tidak mampu memberikan semua kebutuhan pendidikan anak. Maka, keluarha harus dibantuk oleh sekolah. Oleh karena itu, pada prinsipnya sekolah hanyalah menolong melayani kebutuhan yang belum dapat terlayani di dalam keluarga.
3. Lingkungan Pendidikan di Masyarakat
Anak perlu teman, perlu bergaul dengan teman dan orang lain agar mendapat wawasan yang luas. Di dalam pergaulan inilah anak-anak mendapatkan pendidikan (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 67-69).
Pelaksanaan kegiatan pendidikan Taman Siswa, terbagi dalam beberapa hal yaitu sebagai berikut:
1. Sekolah Taman Siswa menggunakan tingkatan-tingkatan:
- Taman Siswa Indriya: Taman Kanak-Kanak,
- Taman Muda: Sekolah Dasar,
- Taman Dewasa: SMP,
- Taman Madya: SMA dan,
- Taman Ilmu: Perguruan Tinggi,
2. Bahan pengajaran dan kurikulm yang ada di Taman Siswa sesuai dengan sifatnya yang nasionalis. Maka, bahan pengajaran/kurikulum harus didasarkan dan digali dari kebudayaan nasional.
3. Pendidikan budi pekerti memperoleh perhatian yang lebih besar karena hal itu merupakan dasar pembentukan watak kepribadian anak. Tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara ialah agar anak mencapai hidup yang bahagia lahir dan batin (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 70-71)
DAFTAR PUSTAKA
Soemanto, Wasty dan F.X. Soeyarno. 1983. Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar