Kamis, 03 Mei 2012

Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman

Tamasya Sejarah Bersama Hatta
#
#
Ketajaman Pena Hatta dan Kekuatan Analisisnya Justru Lebih Digdaya Daripada Tembakan Salvo Mana pun.....^^.
*
*
*
Hatta menulis pertama kali ketika berusia 18 tahun, belum lagi dia masuk universitas. Dimuat dalam majalah Jong Sumatra, tulisan itu mengisahkan secara "otobiografis" tokoh khayali, seorang janda cantik dan kaya raya yang terbuju kawin lagi. "Namaku Hindania!" tulis Hatta. "Aku dilahirkan di matahari, hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya".
Kisah sederhana itu akan terjatuh menjadi roman picisan seandainya Hatta bercerita tentang cinta belaka. Hindania adalah personifikasi "Indonesia". Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, dia bertemu seseorang musafir dari Barat, Wolandia yang kemudian mengawininya. Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga "lebih mencintai hartaku daripada diriku" dan "menyia-nyiakan anakku". Dalam kepedihan Hindania bersyukur terjadi perubahan besar di Barat. Yakni ketika Maharaja Mars yang bengis naik tahta di "negeri maghrib", yang kebengisannya menyadarkan Wolandia untuk lebih bermuka manis.
Pada 1920, ketika Hatta menulis itu, pemerintah Belanda sedang gencar menerapkan kebijaksanaan "politik etis", bersikap lebih manis kepada rakyat pribumi, setelah mereka mengalami sendiri pahitnya dijajah Jerman selama Perang Dunia I, perang dahsyat yang dipersonifikasikan Hatta sebagai Maharaja Mars.
Tulisan pendek itu melukiskan luasnya bacaan Hatta dan minatnya pada sastra. Hatta mengintip sajak Heinrich Heine dalam bahasa Jerman. Dia juga menyebut Leo Tolstoi, Karl Marx, Bakunin, serta Dostojevsky.
Hatta hanya salah satu dari sedikit pemuda kala itu yang memiliki kesadaran terhadap kebangsaan Indonesia, sebuah konsep yang masih samar-samar. Dan sejak itu, seperti ingin mengompensasi tubuhnya yang kecil, wajahnya yang dingin berkacamata tebal, serta gaya bicaranya yang membosankan, dia mencari kekuatan pada menulis. Pena adalah senjata dia untuk memerdekakan bangsanya.
Bakat Tulisan di Negeri Belanda..
Bakat menulisnya, dan timbunan bacaannya, kian meluap ketika Hatta kuliah di Negeri Belanda. Buku dan perpustakaan tetap menjadi pusat hidupnya. Tetapi Hatta bukan cendekiawan di menara gading.
Di jantung kekuasaan kolonial itu, Hatta ikut mengubah watak Indische Vereeniging, perhimpunan mahasiswa Hindia, yang semula lebih bersifat sosial, menjadi gerakan politik perlawanan. Hatta dan teman-teman bahkan menjadi kelompok pertama pemuda yang memperkenalkan kata "Indonesia" dalam pengertian geopolitik, yakni ketika mereka mengubah nama perhimpunan itu dari Indische menjadi Indonesische Vereeniging.
Perhimpunan Indonesia menerbitkan majalah Hindia Poetra, yang belakangan juga diberi nama lebih provokatif, Indonesia Merdeka. Hatta menulis dua artikel dalam edisi perdana majalah itu, dalam bahasa Belanda yang dipujikan. Kelak, dalam memoirnya yang terbut pada 1980, Hatta mengenang betapa "para profesor Leiden meragukan majalah itu ditulis seluruhnya oleh pemuda-pemuda Indonesia".
Disamping menguasai bahasa Melayu dan Belanda, Hatta sendiri fasih berbahasa Inggris, Jerman dan Perancis, yang membuat tulisan dan pidatonya tentang gagasan kemerdekaan Indonesia memiliki gaung lebih luas secara internasional.
Banyak tulisan Hatta menjadi bukti terpenting yang menggugurkan mitos di kalangan tentara bahwa militerlah yang paling berjasa memerdekakan Indonesia melalui perjuangan senjata. Mengikuti perjuangan tanpa kekerasan ala Mahatma Gandhi, ketajaman pena Hatta dan kekuatan analisisnya justru lebih digdaya daripada tembakan salvo mana pun.
Akibat tulisan-tulisannya yang tajam mengkritik pemerintah kolonial, Hatta ditahan pada 1927. Dia tidak surut. Dari ruang penjara yang sempit, dia menulis pidato pembelaan yang nantinya akan dia bacakan selama tiga setengah jam di depan pengadilan. Judu pidato itu, "Indonesia Vrij" (Indonesia Merdeka), menjadi salah satu manifesto politik yang monumental. Disitulah persis di ulu hati kekuasaan kolonial dia menusukkan tikamannya.
Pulang ke Indonesia dengan membawa gelar sarjana, Hatta makin larut dalam kegiatan politik. Bersama Sutan Sjahrir dia mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, sebuah partai politik yang lebih menekankan aspek pendidikan politik dan pemberdayaaan rakyat terjajah. Dia juga aktif menulis dalam majalah yang diterbitkan partainya: Daulat Ra'yat.
Dan kembali, akibat tulisan-tulisannya di situ Hatta di buang ke Boven Digul, Irian, sebuah wilayah pembuangan yang sering disebut sebagai Siberianya Hindia Belanda. Tapi, dasar Hatta, dia membawa serta 16 peti buku ke tanah pengasingan. Buku-buku itu membuatnya mempunyai amunisi cukup untuk meluncurkan tulisan-tembakan salvonya ke koran-kooran di Batavia maupun Den Haag. Dia memang tidak bisa dibungkam.
Hatta adalah orator besar seperti halnya Sukarno. Tapi bukan lewat pidato dengan suara di bariton yang penuh wibawa, melainkan lewat tulisan-tulisannya yang tajam dan menggetarkan.
Setelah kemerdekaan, Hatta lebih bertindak sebagai seseorang "administratur", yang mencoba menerapkan pengalaman akademisnya yang luas ke alam nyata. Dia terlibat dalam penyusunan konstitusi yang menyumbangkan beberapa pasal penting, seperti "hak berkumpul dan berserikat" dan "penguasaan negara atas sumber daya alam", yang dua-duanya mencerminkan kepeduliannya pada kedaulatan rakyat serta kehidupan ekonomi mereka.
Memenuhi sumpahnya hanya kawin setelah Indonesia merdeka, dia melamar Rahmi Rahim pada November 1945. Hatta menghadiahi calon istrinya emas kawin yang tidak akan dipikirkan orang lain: buku Alam Pikiran Yunani yang ditulisnya sendiri.
Pada awal kemerdekaan itu Hatta juga terlibat dalam pergulatan politik yang diwarnai perpecahan di kalngan pendiri negara.
Terpaksa menjadi perdana menteri setelah beberapa kkali kabinet jatuh-bangun, Hatta harus menghadapi soal rumit: pemberontakan Madiun, agresi Belanda, diplomasi untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia dan pembentukan tentara nasional.
Namun, disela-sela kesibukannya, dia masih menulis artikel attau buku. Topik perhatiannya sangat luas, dari politik, koperasi, perbankan, hingga tentang Islam dan demokrasi. Hatta setidaknya dua kali menulis di Foreign Affairs, sebuah jurna prestisius internasional tentang kebijakan luar negeri. Disitualah Hatta menyodorkan konsep politik luar negeri yang "bebas dan aktif", yang diadopsi pemerintah Indonesia hingga kini.
Ketika wafat pada 1980, Hatta meninggalkan "30 ribu judul buku" dalam perpustakaan pribadi, sebagai warisannya yang termahal. Integritas dan kesederhanaan hidup menjadikannya mutiara yang langka di antara deretan pemimpin Indonesia masa kini maupun lampau. Tapi dia lebih langka lagi sebagai negarawan yang menulis.
Dengan begitu luas sumbangannya, dan begitu bernas pikirannya, adakah cara yang lebih baik untuk memperingati Hatta dengan membaca kembali buku-bukunya? Dengan mengikuti tamasya sejarahnya?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar