Minggu, 17 Juni 2012

DARI BALI ke LAMPUNG: PERIHAL PESISIR



DARI BALI ke LAMPUNG:
PERIHAL PESISIR

Tuun di Tuban
Ringkasan cerita yang dikenal Tuun di Tuban (Mendarat di Tuban) sebagai berikut:
Adegan yang dilukiskan adalah tentang pendaratan raja Melayu di Tuban (pantai utara Jawa). Raja Melayu ini sesungguhnya seorang pangeran kerajaan Jawa, Daha, yang hijrah ke tanah seberang dan diadopsi sebagai pewaris takhta oleh raja Melayu yang sudah uzur, Bagawan Malayu. Sang raja muda dianugerahi dua isteri, Putri dari Tanjungpura dan Awantipura (Kalimantan dan Ava-Birma?). dia meninggalkan raja tua dan kembali ke Jawa untuk melanjutkan pencarian terhadap saudarinya yang hilang. Di tengah perjalanan, raja tua mangkat, dan dikirimlah sebuah kapal untuk memberitahu raja muda. Mereka bertemu dan menyampaikan kabar duka itu kepada raja muda ketika kapalnya telah menempuh separuh perjalanan ke Jawa. Raja muda meneruskan perjalanan dan mendarat di Tuban, di mana dia disambut oleh pembesar setempat (akuwu), yang belakangan mempersembahkan putrinya untuk diambil sebagai isteri ketiga oleh raja Melayu itu. Ketika orang-orang Melayu dan orang-orang Jawa bertemu, pada mulanya timbul kecurigaan dan ancaman permusuhan, tetapi kemudian berlangsung pesta perayaan besar-besaran, di mana busana, makanan, dan tarian Melayu dan Jawa dipersandingkan. Akhirnya, oleh Adipati Tuban, sang raja Melayu diantarkan menemui raja Gegelang dan menawarkan jasanya (Manuskrip Malat)

“Transisi” yang terlibat di sini boleh dibilang adalah peristiwa naik takhta, kendati sang raja tua sudah menjadi Begawan atau pertapa dan “pensiun” dari singgasana kerajaan sebelum raja muda itu meninggalkan Melayu. “Kematian” yang disimbolkan kiranya kematian raja tua, meskipun simbolisme semacam ini agak membingungkan, karena bukan dia yang ditampilkan menempuh perjalanan dengan kapal.
Seorang seniman Ida Bagus Made Togog, menyebutkan lakon ini sebagai episode Malat yang paling “bermakna” (suksma –yang menyiratkan “berkah” dan “makna rohani”). Kisah ini sekarang tidak dipentaskan atau dilukis, namun pernah popular sebagai episode sendratari gambuh spektakuler yang melibatkan perahu-perahu, sebagai lakon wayang Gambuh, dan sebagai tema lukisan seperti yang dicontohkan disini, yang berasal dari desa seni lukis tradisional Kamasan, Klungkung (K.T. Satake, 1935).
Para pemain Gambuh yang Adrian Vikers wawancarai enggan membicarakan episode ini, karena dirasa angker dan berbahawa “menyebabkan kapal tenggelam”. Sejumlah pemain menyebutkan bahwa kisah ini membangkitkan emosi yang sangat kuat hingga merasuki aktivitas di luar pementasan (“kehidupan nyata”), dan mencontohkan berbagai pementasan di mana khalayah menjadi terluka dalam pertempuran. Mereka khususnya berbicara tentang emosi-emosi ini dalam konteks terjadinya konflik antara orang Melayu dan orang Jawa ketika kapal-kapal itu berlabuh untuk pertama kalinya. Walaupun tidak disebutkan dalam versi literer, atau minimal tidak ditonjolkan, hal ini merupakan bagian penting dari pementasan Gambuh yang disusun sedemikian rupa hingga berakhir dengan adegan konflik atau di-ambang konflik. Sejumlah pemain lain menonjolkan aspek-aspek yang lebih positif dalam narasi ini, dengan mengatakan betapa episode tersebut mengungkapkan asal-mula tiga tarian Bali yang dibawa ke kampung halaman oleh sang Raja Melayu, yakni tari laga Baris, yang ia gunakan untuk menggembleng pasukannya; Jauk, tari yang melibatkan figur seram yang dipakai sang raja untuk menggentarkan musuhnya sebelum perang; dan tari keratin Legong, yang dia gunakan sebagai hiburan sehabis berperang. Ida Bagus Togog, dalam versi lisan episode ini yang dituturkannya, menunjukkan identitas kultural serupa ketika mengasosiasikan Melayu denga Jawa, dan lokasi naratif “Jawa” dengan “Bali”
Deskripsi abad ke-19 tentang pementasan lakon ini tercantum dalam teks yang dikenal sebagai Kidung Yuda Mengwi atau Geguritan Nderet. Teks ini sebagian besar mengenai konflik antara penguasa Mengwi dan sebuah desa. Pada babak awal konflik, seorang hamba raja (parekan) yang sudah tua menyuarakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan yang diambil raja setelah dipengaruhi oleh pejabat tinggi perpajakan dan irigasi (sedahan agung), Gusti Nderet. Hamba ini ketika algojo hendak membawanya ke kuburan untuk melaksanakan eksekusi, dia mengenakan busana putih yang dihadiahkan oleh raja lama sebagai pengakuan atas kepiawaiannya pada masa muda sebagai pemain Gambuh. Dikisahkan bahwa dia menarikan lakon “Mendarat di Tuban”, mengakhiri pementasannya dengan menghaturkan sembah kepada Raja Gegelang. Dalam konteks ini, kisah ini dipergunakan untuk menonjolkan tema kesetiaan mengatasi munculnya  ancaman atau konflik. Di sini, sebagaimana di tempat-tempat lain di Bali, narasi adalah unsur semiotik dari perjuangan politik.
Inilah kisah yang paling bermakna, berbagai pernyataan, isyarat, dan asosiasi tersebut mengundang kita untuk merenungkan banyak kemungkinan interpretasi dan ramifikasi yang dibiakkan lakon ini. “Kematian” dan “transisi” tampil ke pemukaan. Salah satu pembahasan paling mutakhir tentang simbolisme kapal di Asia Tenggara menyarankan adanya kemungkinan dimensi makna yang lain. Dalam sebuah artikel yang menguliti problem tentang mengapa simbolisme kapal “terus-menerus ditepiskan, dikembangkan atau direkonstruksi” dalam wacana historis, Pierre-Yves Manguin menunjukkan bahwa simbolisme kapal dapat dibahas tanpa mengandalkan argumen-argumen yang berkutat pada perkara difusi atau asal-usul (1986).
Manguin mengemukakan bahwa kapal berfungsi sebagai wahana bagus (dan mudah diakses) untuk menyimbolkan tatanan sosial, karena kapal harus “dijalankan menurut hierarkhi yang ketat”. Selain itu “tatanan ruang adalah vital di atas kapal”, sehingga “bentuk-bentuk yang menyerupai kapal dapat dipandang sebagai prinsip pengorganisasian esensial masyarakat yang tertib”. Manguin mengutip contoh dari sebuah teks Bali, Kidung Sunda, yang menuturkan perjalanan segenap bangsa Sunda ke Majapahit dengan menumpang 200 kapal besar dan 200 perahu (1986: 201). Jika analisis Manguin kita tambahkan pada komentar-komentar sebelumnya tentang episode Malat, khususnya versi lukisan, terbukalah kemungkinan untuk memandang kesemuanya itu sebagai komentar mengenai tatanan politik hierarkhis dan pengorganisasian sosial. Dalam sejumlah lukisan (misalnya, contoh yang diilustrasikan di sini), ini tampak jelas dalam penggambaran deretan bangsawan yang ditampilkan secara berjenjang, dari kedudukan terendah sampai tertinggi (Vikers, 1984: 1-35). Problem lain yang dilihat Adrian Vikers pada argumen Manguin adalah argumennya terkesan mengusung konteks dan isu politik kontemporer, namun ia membingkai uraiannya seakan-akan penggambaran kapal tersebut relevan dengan masyarakat Indonesia kuno.
Dari banyak penggambaran episode ini yang tersedia dalam lukisan, dan dengan menggunakan berbagai komentar Bali yang disebutkan di atas, tafsir lebih lanjut dimungkinkan. Penggambaran dalam lukisan tentang episode pendaratan di Tuban (Vikers, 1984: 19; 1985: 164; danTh. Galestin, 1954: 7-30) menonjolkan pertemuan antara orang Melayu dan orang Jawa, antara budaya asing dengan budaya yang sudah dikenal akrab. Dalam banyak lukisan, perbedaan itu ditegaskan dengan memasukkan pelaut Cina dan Eropa, yang dalam sejumlah adegan tampak mengusung peti, mungkin kiasan tentang perang orang asing dalam perdagangan di Bali (Vikers, 1984: 17-26). Dalam lukisan lainnya, penekanan diberikan pada tanda-tanda perbedaan kultural yang terjelma dalam aneka gaya busana, makan, minum, tari dan musik. Di sini, perbedaan asing adalah mewah dan eksotik, tetapi merupakan bagian dari hakikat pertukaran. Dalam lukisan yang menonjolkan tatanan dan hierarkhi sosial, ada penekanan pada bagaimana orang asing Melayu dapat terserap dengan mudah ke dalam struktur sosial dominan. Betapa pun, masyarakat Melayu pada umumnya dengan masyarakat Jawa, dan perbedaannya hanya terletak pada gaya tampilan luar (Galestin, 1954: 7-30; Vikers, 1987). Secara signifikan, istrinya bersembahyang di kuil “Penguasa Selatan” (Galestin, 1954: 21). Dalam hal ini pertemuan serta bahaya dan ikhtiar dalam menempuh perjalanan diberkahi lewat ritual. Persembahyangan menegaskan dimensi spiritual kisah ini, karena perjalanan dengan bobot dan bahaya yang demikian besar tentu menuntut keteguhan batin dan kesaktian luar-biasa. Ritus juga menegaskan sebuah tema yang hadir dalam berbagai versi literer kisah ini: bahwa sang raja Melayu sendiri sesungguhnya bukan orang asing, melainkan seorang pangeran Jawa yang menyamar. Daya adikodrati yang mendalangi pertemuan dan pertukaran antara Jawa dan Melayu adalah para dewata Bali yang sudah tidak asing lagi.
Isu ini penting bagi contoh yang dipilih di sini: Dalam lukisan koleksi Tropen Museum yang berlatar Tuun di Tuban, ditampilkan di pojok kiri bawah, kapal raja digambarkan sebagai kapal terbesar. Dalam adegan di kanan bawah, raja dan para pengikut para pengikutnya bertemu dengan Akuwu Tuban di keratin Tuban, dan sang Akuwu memberikan penghormatan kepada raja mancanegara itu. Pada lajur bawah karya ini, aliran gerak menuju kanan, ke kelompok orang Jawa yang menduduki kira-kira seperempat ruang dari kedua adegan. Di lajur tengah lukisan, gerak mengarah ke kiri, seolah menunjukkan bahwa kedatangan orang Melayu berujung pada integrasi dengan konteks Jawa, sebuah integrasi yang bersambung ke lajur atas, di mana tokoh-tokoh dalam lukisan kembali menghadap ke kanan. Berkenaan dengan lajur atas ini, orientasinya adalah ke pura Penguasa Selatan. Pada tiap lajur unsur-unsur narasi yang signifikan ditampilkan di sebelah kiri: di tingkat bawah ada kapal-kapal yang mengangkut raja dan para pengikutnya; di tingkat tengah ada putri-putri sang Akuwu yang dihaturkan sebagai isteri untuk raja; dan di tingkat atas ada pura. Melalui paralelisme, lukisan ini berupaya mengisyaratkan pertautan antara perjalanan ke luar negeri atau aristokrasi mancanegara, jalinan perkawinan, dan persembahan religius atau identitas Hindu. Lukisan ini tidak menampilkan pelaut Cina atau Eropa, melainkan berkonsentrasi pada martabat kedirajaan sang penguasa Melayu dan hubungan dia dengan budaya dan agama Jawa, yang betapa pun adalah budaya dan agama Bali. Lukisan ini menekankan pertemuan dua unsur: “Melayu” dan “Jawa”, budaya Melayu dan budaya Jawa. Inilah dua fokus budaya Pesisir yang lebih umum, dua titik acuan dalam aneka teks dan penjelasan kultural (Vikers, 1987).
Dalam berbagai ringkasan dari banyak versi episode ini, dimungkinkan untuk menangkap ragam kandungan maknanya: pertemuan antara budaya asing dan budaya yang sudah dikenal akrab, serta kemungkinan konflik dan akomodasi yang muncul darinya; hubungan antara perdagangan dan pertukaran kultural; transportabilitas budaya; dan suatu kesadaran tentang betapa berbagai daerah di Nusantara dipandang oleh orang Bali sebagai memiliki basis kultural dan sosial yang serumpun.
Untuk membicarakan episode ini lebih jauh, tiap versi kiranya harus dianalisis dalam konteks spesifiknya. Saying sekali, kurangnya informasi pokok perihal kapan dan di mana lukisan-lukisan itu dikoleksi tidak mengizinkan analisa kontekstual yang terperinci tentang jenis makna yang disarankan oleh contoh tarian Gambuh dalam Kidung Yuda Mengwi. Namun demikian, Adrian Vikers memakai contoh tentang episode ini untuk menunjukkan betapa berbagai kemungkinan maknanya banyak bersangkut-paut dengan Bali abad ke-19. Pelbagai versi adegan itu berkaitan dengan pola interaksi dengan Islam, para pedagang asing, Belanda, Jawa, serta hakikat agama dan politik di dalam kerajaan-kerajaan Bali. Ada banyak kemungkinan makna personal yang berhubungan dengan isu tentang kekuasaan, tatanan dan pagelaran. Semua makna tersebut sangat sedikit sangkut-pautnya dengan budaya Austronesia atau Dongson.

Tampan Pasisir
Tampan pasisir Lampung tidak dapat dianalisis dengan sama terperincinya seperti karya-karya Bali, karena dewasa ini tidak ada pengrajin tenun atau seniman yang bisa menuturkan makna yang sekiranya dimiliki tekstil tersebut. Kendati demikian, menarik bahwa sejumlah kecil pengarang yang berspekulasi tentang makna kain ini tertarik kepada maknanya pada abad ke-18, abad ke-19 atau abad ke-20. Kebanyakan mengawali dengan data perihal masyarakat Lampung yang memperlihatkan “kelestarian” (survival) watak kultural primordial, kemudian meloncat mundur ribuan tahun.
Agar lebih jelas, dalam kesempatan ini Adrian Vikers tidak membicarakan semua kain Lampung yang bermotif kapal. Bentuk tampan pasisir hanyalah satu jenis kain Lampung bermotif kapal yang terbatas di wilayah selatan Lampung. Jenis lainnya adalah berbagai kain “darat” yang membentuk khazanah tekstil yang dikoleksi di Barat, dan pelbagai corak selatan setempat dari Kalianda dan Teluk Semangka (Holmgren dan Spertus, 1980: 157-198). Corak Kalianda dan Teluk Semangka dapat dipandang sebagai variasi corak tampan pasisir.
Ada korelasi antara corak kain dan pengelompokkan kultural di Lampung (atau “ranah Lampung”, sebutan Belanda untuk kawasan ini). Corak “darat” terutama bertalian dengan wilayah-wilayah yang digolongkan sebagai adat pepaduan, yaitu wilayah yang menonjolkan semacam identitas “suku pribumi” (tribal), yang nanti Adrian Vikers bahas lebih jauh. Dalam penyebarannya, corak Kalianda tampak bertalian dengan Kerajaan Darah Putih (yang mencakup wilayah Ratu, Daratan, dan Rajabasa), sedangkan corak Teluk Semangka dapat dihubungkan dengan wilayah Kerajaan Semangka (di seputar wilayah Wanasaba dan Kota Agung). Tampan pasisir terutama berasal dari kawasan atau bekas Kerajaan Teluk Betung, dan mungkin dari sejumlah wilayah Darah Putih (B. Suwondo, 1980: 48-52). Ciri paling mencolok dari ragam-ragam tampan yang lebih mutakhir adalah penggambaran non-abstrak berbagai figur wayang dan (terutama) kapal. Kecenderungan abstraksi dalam corak Kalianda dan Teluk Semangka mungkin hasil dari upaya sengaja mengembangkan corak unik untuk menandai identitas khas dua wilayah ini (Holmgren dan Spertus, 1980).
Corak tampan pasisir sudah dibahas secara mendalam oleh Holmgren dan Spertus, yang memaparkan bahwa tekstil-tekstil tersebut sangat kuat mengusung narasi (Holmgren dan Spertus, 1980). Mereka menguraikan sebagian dari banyak ragam adegan pada tampan pasisir: penggambaran kelahiran seorang putra agung di kapal; prosesi armada raja, lengkap dengan gajah-gajah di kapal; transfer peti harta dengan kapal; dan penggambaran seorang bangsawan kerajaan bersama tiga wanita di sampan pelesir. Setidaknya sebagian dari adegan-adegan ini pararel dengan proses ritual di kalangan bangsawan Lampung Selatan yang memiliki kain itu.
Sebagai catatan kaki untuk wawasan mengagumkan yang disediakan oleh Holmgren dan Spertus, Adrian Vikers ingin mengemukakan dengan lebih terperinci tentang apa kiranya narasi pada kain-kain itu. Tidak seperti penulis yang lain yang menulis tentang tekstil Lampung (Dijk dan de Jonge 1980), mereka tidak mengajukan Dongson atau muasal kultural lainnya sebagai kunci menafsirkan kain-kain itu. Sebagai gantinya, mereka membahas kain-kain itu dengan mengacu kepada kurun sepanjang delapan abad sebelum kain-kain itu diproduksi. Mereka berargumen bahwa dunia kultural yang disikapkan oleh tekstil-tekstil tersebut adalah dunia sebuah budaya pesisir internasional klasik Sriwijaya-Jawa kuno. “Kami percaya bahwa citraan kapal yang canggih mulai berkembang pada suatu ketika dalam kurun perdagangan awal (sekitar abad 3-14), yang kemungkinan besar mencapai puncaknya antara abad 7 dan abad 11” (Holmgren dan Spertus, 1980: 165). Bukti tentang rujukan kepada budaya kuno ini muncul dalam penggambaran berbagai corak kapal yang belum ada untuk sekurang-kurangnya 400 tahun, beserta gaya wayang yang dipergunakan figure-figurnya, wayang yang merupakan ragam “teater utama” (Holmgren dan Spertus, 1980: 167, 179). Tidak disebut adanya narasi lokal yang dapat menjelaskan episode-episode yang digambarkan itu (Tos van Dijk dan de Jonge, 1980: 32; P.J. Worsley, 1972: 222-223), dan pembicaraan mengenai rujukan ditinggalkan pada taraf yang secara teoritis kabur.


DAFTAR PUSTAKA

Dijk, Tos van dan Nico de Jonge. 1980. Ship Cloths of the Lampung, South Sumatra. Amsterdam: Galerie Mabuhang
Galestin, Th. 1954. “Malat Story”, dalam Lamak and Malat in Bali, and a Sumba Loom. Amsterdam: Royal Tropical Institute Amsterdam Nr. CXIX, Dept. of Cultural and Physical Anthrropology Nr. 53.
Hoolmgren, Robert J. dan Anita E. Spertus. 1980. “Tampan Pasisir: Pictorial Documents of an Ancient Indonesian Coastal Culture”, dalam Matiabelle (ed). Indonesian Textille: Irene Emery Roundtable on Museum Textille. Washington D.C.: Textille Museum
Satake, K.T. 1935. Camera Picture of Sumatra, Jawa, Bali. Middlesbrough: Hood.
Suwondo, Bambang et al. 1980. Adat Istiadat Daerah Lampung. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Woorsley, P.J. (ed). 1972. Babad Buleleng (penerjemah dan pengantar). The Hague: Nijhoff
Vikers, Adrian. 1984. “Ritual and Representation in Nineteenth-Century Bali”. RIMA 18, 2.
_____________. 1987. “Hinduism and Islam in Indonesia: Bali and the Pasisir World”. Indonesia, 44.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar