Minggu, 17 Juni 2012

DARI BALI ke LAMPUNG: PERIHAL PESISIR



“Adrian Vikers, penulis buku ini tidak pernah ragu untuk menempatkan karya sastra baik sebagai sumber sejarah maupun sebagai historiografi dan representasi dari kenyataan mentalitas masyarakatnya”
(Prof. Dr. Bambang Purwanto)


DARI BALI ke LAMPUNG:
PERIHAL PESISIR

Pelayaran apa yang membawa kita dari Bali ke Lampung dengan kapal? Di pantai mana kita berlabuh untuk menautkan dua budaya Indonesia ini? Sejarah kultural menjadi isu identitas nasional di Indonesia pada awal abad ke-20, ketika pertanyaan eksistensi “Indonesia” menyeruak dari perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Kini kohesi kultural Indonesia adalah fakta yang lahir dari rahim nasionalisme, kendati fakta tidak selalu tanpa perselisihan.
Sejak era nasionalis hingga dewasa ini, salah satu kiblat historis utama adalah kuno Majapahit. Akibatnya, kebudayaan dominan Indonesia dipandang sebagai kebudayaan keratin-keraton Jawa Tengah yang mengaku keturunan kerajaan klasik tersebut. Warisan nasionalis “bhineka tunggal ika” tidak bergulat dalam kancah persaingan berbagai model dan visi alternatif tentang masa silam. Upaya pemerintah sekarang untuk mengelola kebudayaan nasional dan, terkait dengan itu, suatu penerimaan umum terhadap kesatuan identitas Indonesia oleh seluruh rakyat Nusantara, belum menghasilkan sejarah identitas kultural Indonesia yang koheren. Pada tulisan ini adalah ikhtiar untuk mendefinisikan salah satu aspek dari hakikat identitas kultural yang menautkan mayoritas kerajaan dan “suku” di Indonesia yang pada masa sebelum Indonesia eksis sebagai negara modern. Contoh yang dipakai adalah lukisan dari Bali dan tekstil dari Lampung, Sumatera Selatan. Koneksi antara keduanya menyiratkan bahwa di luar Jawa, di tepian ideal Jawa klasik tentang intisari “Indonesia”, terhampar serangkaian koneksi dan satu kesadaran peradaban yang sama sekali berbeda dari model Orde Baru tentang kejawakunoan, meskipun demikian, kesadaran peradaban ini menggunakan Jawa (atau lebih tepatnya, “Jawa”) sebagai acuan kunci. Kesadaran peradaban ini bukan pula seperti yang dipeluk oleh Sukarno yang modernis-dinamis, yang dalam upayanya membentuk sebuah bangsa telah menyeru preseden-preseden kuno yang kiranya mengaburkan kebaruan negaranya. Kesadaran yang Adrian Vikers maksud di sini adalah kesadaran peradaban di mana perbedaan kultural dikenali, kadang ditegaskan, tetapi tetap mengusung simbol-simbol bersama, dan dengan itu memunculkan berbagai model tindakan yang dihayati bersama dan suatu kesadaran tentang masyarakat yang didefinisikan melalui jalinan bahari.

Kesadaran Pesisir
Rempah-rempah, budak dan kisah pergerakan benda, manusia dan bentuk-bentuk kultural seantero Asia Tenggara, khususnya melalui dunia maritim yang berbataskan bandar-bandar Asia Tenggara benua dan meliputi apa yang kini Malaysia, Filipina Selatan dan Indonesia adalah penting selama berabad-abad sebelum kehadiran orang Eropa terasakan di kawasan ini.
Di bidang perdagangan, anyaman cosmopolitan dari berbagai budaya di dunia maritim Asia Tenggara telah terdokumentasikan dengan baik sejak zamannya Van Leur, tetapi nama untuk dunia maritim ini justru datang dari ranah filologi, Pesisir (Pasisir). Th. Pigeaud mendeskripsikan teks-teks yang dimiliki bersama di berbagai wilayah sebagian bagian dari sastra “Daerah Pantai” atau sastra Pesisir. Namun lebih dari itu, dalam dokumentasi Pigeaud tentang teater dan seni di Jawa, makna istilah ini tidak merujuk kepada dunia sastra belaka, melainkan dunia budaya (1967: 6-7; 1938).
Sastra Pesisir, demikian dikemukakan Pigeaud, dalam penyebarannya di sepanjang Pantai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan Malaysia pada khususnya adalah kesusastraan teks berbahasa Jawa atau Melayu, dan terkait dengan bangkitnya negara-negara Islam kuat di Jawa. Pada awal abad ke-16, pusat budaya Pesisir adalah Surabaya-Gresik, Demak-Jepara dan Cirebon-Banten. Dari pusat-pusat ini, menurut uraian Pigeaud, sastra Pesisir menyebar berturut-turut ke Lombok dan Palembang, ke Lampung dan ke Banjarmasin (Kalimantan). Dalam prosesnya, watak Jawa dari kesusastraan pusat-pusat inti ini jalin-menjalin dengan kesusastraan Melayu, Arab dan Persia (Pigeaud, 1938). Contoh-contoh semacam ini pararel dengan pergerakan politik para pangeran di Nusantara, atau mereka yang disebut sebagai bajak laut, dan para budak, dalam sebuah sistem terbuka yang mencakup berbagai kerajaan yang bergolak, dan di mana kerajaan-sebagaimana diistilahkan orang Eropa-bercampur dengan apa yang oleh para penutur Eropa yang sama digolongkan sebagai rakyat “suku pribumi” (“tribal” peoples).

Simbolisme Kapal
Untuk mengilustrasikan keserumpunan Pesisir, Adrian Vikers telah memilih dua contoh dari budaya Pesisir, yaitu lukisan Bali yang menampilkan sebuah versi adegan cerita Panji Malat Rasmi, Malat, dan kain Lampung (Sumatera Selatan) yang dikenal dengan sebagai tampan pasisir. Keduanya menarik karena sama-sama menggambarkan kapal, meski secara stilistik jelas tidak memiliki kesamaan apapun. Selain menunjukkan bagaimana aspek-aspek umum budaya Pesisir beroperasi di lingkungan spesifik, keduanya dapat dipergunakan sebagai bagian dari kritik terhadap cara mempelajari sejarah kultural Indonesia yang menitikberatkan pada muasal “primitif” sebagai kunci untuk menjelaskan kemiripan budaya.
Kedua contoh Adrian Vikers adalah representasi tentang kapal, dan dapat dijelaskan dengan merujuk kepada khazanah sastra perihal simbolisme kapal di Indonesia. Sastra semacam ini berpusat pada simbolisme kapal sebagai manifestasi dari masyarakat Indonesia kuno. Pelbagai simbol terjalin melalui asal-usul bersama dan difusi. Dalam tulisan ini, Adrian Vikers bermaksud menjelajahi berbagai koneksi dalam budaya historis yang lebih mutakhir. Adrian Vikers akan melakukan itu dengan coba mengikhtisarkan salah satu kontur budaya Pesisir.
Kapal, lazimnya dalam bentuk peti mati atau sarkofagus, digunakan di berbagai daerah Indonesia untuk merepresentasikan perjalanan jiwa (Lihat Vroklage 1936: 712-57; 1940: 193-99, 230-34, 263-70). Dengan membandingkan kain tampan dan ritual Lampung, ada pendapat yang menyatakan bahwa kapal juga menyimbolkan gerak menempuh babak-babak kehidupan (Dijk dan de Jonge 1980). Kedua argumen ini terikat pada sebuah pandangan bahwa distribusi simbol-simbol semacam itu bersumber dari asal-usulnya pada zaman kuno. Melalui sebaran simbol kapal, rumah, tanduk kerbau, ular dan burung, kita bisa-dengan metode ini-menguraikan suatu budaya-Asali (Ur-culture) Indonesia megalitik.
Argumen ini terasa persuasif jika menilik deretan buktinya. Berbagai bentuk dan pola yang mirip antara satu sama lain terentang dari Madagaskar sampai Taiwan (Jerome Feldman, 1985). Distribusi bentuk-bentuk tersebut pararel dengan relasi rumpun bahasa yang menautkan Indonesia, Malaysia, Filipina, Australia Aborigin, dan pulau-pulau Pasifik.
Mazhab Antropologi Strukturalisme Belanda tampil mempelajari hubungan di antara berbagai belahan Indonesia sebagai manifestasi kultural dari pola-pola perkerabatan orisinal. Bentuk-bentuk simbolik yang disebutkan di atas dikaji oleh mazhab ini terutama dalam kaitannya dengan pola-pola perkerabatan puak ganda dan perkawinan lintas-puak (Van Dijk dan de Jonge, 1980). Penjelasan difusionis telah lama ditolak dalam aliran antropologi lainnya, karena menciptakan berbagai citra yang sepenuhnya hipotesis atau tidak relevan dengan masyarakat masa kini (Penny van Esterik, 1984: 77-91). Namun betapa pun pendekatan ini tetap tertanam kukuh dalam kajian tentang kesenian Indonesia di luar Jawa dan Bali.
Kebanyakan tulisan mengenai kesenian Indonesia yang tidak berfokus pada keindiaan (Indic) atau pengaruh eksternal lainnya dengan ringan menerima berbagai asumsi perihal difusi dari asal-usul tunggal dan pencarian terhadap pola kultural bersama yang “primitif”, “arkais” atau “kesukuan” (tribal) dalam bentuk-bentuk simbolisme (Fabian, 1983: 30). Namun di luar Indonesia, ada sejumlah kecil mazhab analisis yang melanggengkan apa yang pada hakikatnya merupakan sebuah model dari Jerman abad ke-19 tentang penyelidikan “ruh” nasional atau rasial dan muasal prasejarahnya.

Simbolisme Kapal Bali
Pendekatan “arkais” cukup mudah dipakai untuk menjelaskan citra kapal dalam contoh dari Bali yang ditampilkan di dalam tulisan ini: citra kapal merepresentasikan sebuah perjalanan simbolik, yaitu perjalanan menempuh babak-babak kehidupan, atau perjalanan dari kehidupan menuju kematian. Untuk memperkuat argumen ini, tidak tertutup kemungkinan ditemukan simbolisme kapal yang lain di Bali. Dalam ritual kematian, pendeta yang menjadi imam, biasanya seorang pedanda (pendeta tinggi Brahmana), harus “melayarkan” (ngentas) jiwa dari dunia ini ke alam baka (Hooykaas 1976: 46). Demikianlah, di sebuah desa di Bali Timur, simbolisme kapal menjadi bagian dari upacara pemurnian. Sebuah kapal dibiat dari pelepah daun kelapa dan diberi muatan simbolik. Pada saat bersamaan, dibuatlah falus setinggi kira-kira satu meter, disebut “lingga desa” (kleng desa). Pada gilirannya kemudian, kapal tersebut dibawa ke gundukan batu yang merepresentasikan laut, dan serta-merta dibakar ketika tetua desa melocati falus itu (Danker Schaareman, 1986: 132-40).
Dari riset Adrian Vikers mengenai penggunaan episode yang digambarkan tersebut dalam beragam bentuk artistik di Bali, Adrian Vikers mendapati bahwa setumpuk asosiasi lain yang muncul dari narasi ini sulit diabaikan. Untuk mempertahankan penjelasan tentang “kapal mendiang”, dan “ritus transisi”, ada aspek-aspek dari plot episode itu yang relevan dengan tema-tema tersebut. Akan tetapi ada pula berbagai kemungkinan makna lain yang akan terabaikan ketika berfokus pada dua makna simbolik itu.

DAFTAR PUSTAKA
Dijk, Tos van dan Nico de Jonge. 1980. Ship Cloths of the Lampung, South Sumatra. Amsterdam: Galerie Mabuhang.
Esterik, Penny van. 1984. “Continuities and Transformations in Southeast Asian Symbolism: A case Study from Thailand”. BKI 140: 77-91.
Feldman, Jerome (ed.). 1985. The Eloquent Dead. Los Angeles. UCLA Museum
Fabian, Johannes. 1983. Time and the Other. New York: Columbia University Press.
Hooker, M.B. (ed.). 1976a. “Balinese Death Ritual – As Described and Explained from the Inside”, Riview of Indonesian and Malayan Affairs. RIMA 10, 2: 46.
Piageaud, Th. 1967-1970. Literature of Java Cataloque Raisonne of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public Collections in the Netherlands, 3 jilid.
Schaareman, Danker. 1986. Tatulingga: Tradition and Continuity. Basel: Wepf, Basler Beitrage zur Ethnoglogie Band 24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar