Jumat, 27 April 2012

ANALISIS KEBANGKITAN ISLAM dalam EKONOMI PETANI yang SEDANG BERUBAH: SUMATERA TENGAH 1784-1847 CHRISTINE DOBBIN


KEBANGKITAN ISLAM DALAM EKONOMI PETANI YANG SEDANG
BERUBAH: SUMATERA TENGAH 1784-1847
(CHRISTINE DOBBIN, Jakarta INIS, 1992)

Christine Dobbin
Buku Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847 pertama kali diterbitkan oleh Curzon Press bekerjasama dengan Scandinavian Institute of Asian Studies, sebagai Monograph Series No. 47 pada tahun 1983. Lembaga ini kemudian berubah nama menjadi Nordic Institute of Asian Studies, disingkat menjadi NIAS. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) tahun 1992, di bawah judul Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847.
Substansi Tulisan
Dobbin mengawali paparannya secara detail tentang ekologi sosial dan topografi Minangkabau, tentang tantangan dan anugerah alam dalam gerakan perdagangan masyarakat Minangkabau. Ternyata masih banyak yang tidak ketahui tentang perubahan sosial yang spektakuler dan tentang gerakan Paderi di Minangkabau dan Tapanuli. Kurang lebih 75% dari buku yang tebalnya 428 halaman ini, bercerita tentang dinamika perubahan orang Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pantai barat dengan segala masalah yang ditimbulkannya, dan tentang pertambangan emas dan besi, tentang industri rumah, perbengkelan alat pertanian, senjata tajam dan bedil, pertukangan, pertenunan, perkebunan komoditi ekspor, persaingan dan perang dagang dengan Belanda. Hal itu terjadi sejak berabad sebelum timbulnya gerakan Paderi.
Menarik untuk disimak, bahwa berabad sebelum lahirnya gerakan Paderi, agama Islam sudah lama berkembang di Natal , pantai barat Mandailing, Tapanuli Bagian Selatan. Hal ini terbukti dengan kehadiran Tuanku Lintau, seorang kaya, penduduk asli Lintau di Lembah Sinamar, yang datang  ke Natal untuk belajar agama Islam. Kemudian Tuanku Lintau meneruskan pendidikannya ke Pasaman yang juga didiami orang Mandailing yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal.
Usai menuntut ilmu agama Islam itu, kira-kira 1813, Tuanku Lintau kembali ke desanya  membawa keyakinan, bahwa sebagai penduduk Tanah Datar, ia mempunyai misi untuk memperbaiki tingkah laku dan moral penduduk lembah itu. Tuanku Lintau terkesan pada gerakan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh di Agam. Ia pun bergabung dengan kaum Paderi.
Secara khusus Tuanku Lintau merasa wajib menyadarkan keluarga raja yang bergaya hidup tidak sesuai dengan ajaran Islam, agar kembali ke jalan yang benar. Semula, Tuanku Lintau mendapat perlindungan dari Raja Muning, ialah Raja Alam Minangkabau yang bertahta di Pagaruyung. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, Tuanku Lintau justru melancarkan revolusi sosial, karena ia yakin  bahwa sistem kerajaan yang korup adalah hambatan bagi keberhasilan cita-citanya.
Tuanku Lintau dan pengikutnya menyerang Raja Alam. Banyak yang terbunuh, termasuk dua putera Raja Alam. Raja Alam dan cucunya berhasil menyelamatkan diri ke Lubuk Jambi di Inderagiri. Cucu Raja Alam ini kelak terkenal sebagai Sultan Alam Bagagar Syah, Raja Minangkabau terakhir.
Bahwa Natal di pantai barat Mandailing sebagai tempat pertama Tuanku Lintau menimba ilmu agama Islam, membuktikan, ternyata Perang Paderi bukanlah gerakan Islamisasi di Mandailing. Karena berabad sebelum timbulnya gerakan Paderi, ulama-ulama sufi telah mengajarkan agama Islam kepada orang Mandailing Natal. Tokoh utama penyebar agama Islam di kawasan pantai barat itu sampai ke pedalaman Mandailing adalah ulama besar sufi Syekh Abdul Fattah  (1765-1855). Ulama besar ini wafat dan dimakamkan di Pagaran Sigatal, Panyabungan. Murid-murid para sufi itulah yang secara damai membawa Islam ke pedalaman Mandailing.
Baik Paderi maupun Belanda saling khawatir terhadap ancaman penghancuran hegemoni dagang masing-masing di kawasan Minangkabau dan pantai barat itu. Itu sebabnya Belanda mengunci wilayah Padang sampai ke selatan agar tidak dijamah oleh kaum Paderi. Inilah yang mendorong pendudukan wilayah utara dalam hal ini Rao dan Mandailing yang kaya emas berkualitas tinggi dan komoditi ekspor lainnya. Dengan paparan ini menjadi mengerti mengapa gerakan perdagangan ini menjadi mengeras dalam era gerakan Paderi.
Gerakan Paderi di Mandailing mendapat perlawanan dari Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, raja ulama sekaligus primus inter pares raja-raja Mandailing. Ia dijuluki oleh Belanda sebagai Primaat Mandailing.
Dobbin, memaparkan bahwa perdagangan budak sangat penting bagi sistem Paderi. Pasalnya,  budak-budak bukan saja sebagai dagangan, tetapi juga sebagai pengangkut barang dan tentara cadangan. Itu yang menyebabkan kaum Paderi dapat bertahan begitu lama dalam melancarkan peperangan.
Mungkin tidak enak untuk mengatakan bahwa, Perang Paderi yang begitu lama (1803-1838),  yang selama ini begitu disakralkan, disebut oleh Dobbin sebagai perang dagang. Fakta  menunjukkan cara-cara kaum Paderi menggerakkan perang yang penuh kekerasan dan kebrutalan, jauh dari nilai-nilai Islam. Inilah yang mendorong sadar atau tidak sadar, lebih percaya kepada Dobbin.
Dobbin memperlihatkan, bahwa Paderi mampu menggeser para pedagang yang beroperasi di pemukiman orang Eropa yang berdekatan. Salah satu ciri gerakan Paderi yang menonjol adalah usaha membina perdagangan Minangkabau sekaligus melawan upaya-upaya dari luar yang hendak memonopoli perdagangan di kawasan ini. 
Dobbin menegaskan pada halaman 281-284 buku ini, bahwa tidak mengherankan jika Imam Bonjol mengarahkan perhatiannya ke utara, ke arah tetangganya yang kaya, setelah ia menetapkan kekuasaannya di Lembah Alahan Panjang. Imam Bonjol memulai serbuannya ke Rao dengan mengawasi pembuatan jalan yang baik ke Lubuk Sikaping, desa utama di ujung selatan lembah. Paderi mengukuhkan kedudukannya di Rao dan Mandailing yang terkenal sebagai penghasil emas berkualitas tinggi. Imam Bonjol sendiri, sebagai pelindung Tuanku Rao, diketahui telah dijanjikan akan mendapat keuntungan tahunan dari satu tambang emas di dekat Pakantan, Mandailing, dan mungkin beberapa tambang emas lainnya lagi.
Menurut Dobbin, salah satu bagian esensial dari pemikiran strategis Imam Bonjol adalah penguasaan lembah Mandailing yang subur itu. Sebab, dengan menguasai jalan keluar masuk ini, berarti menguasai jalan dagang darat ke pelabuhan-pelabuhan di pantai barat Mandailing yang sudah lebih dahulu dikuasai oleh konglomerat Paderi, Peto Mage, seperti pelabuhan Batahan, Natal, Kunkun, Tabuyung dan Singkuang.
Dobbin mengungkapkan bahwa Paderi mengobarkan simbol-simbol agama untuk memperkuat kelancaran perdagangannya. Serbuan pertama Tuaku Rao ke Mandailing Godang berjalan cepat dan sukses. Para Paderi sangat bersemangat menghapus memori kolektif orang Mandailing dengan menghancurkan karya-karya sastra daerah itu yang berisi nilai-nilai luhur kearifan Mandailing. Setelah membakar Panyabungan dan membawa budak sebanyak mungkin, Tuanku Rao mundur lagi ke Rao.
Dobbin menjelaskan bahwa selain pasar komoditi ekspor, Panyabungan juga merupakan pasar budak dan kerbau yang berasal dari Barumun. Tidak pelak, pasar Panyabungan menjadi ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang Minangkabau yang datang dari pantai barat itu.
Pusat Mandailing, Panyabungan, dan tiga desa besar di sekitarnya Hutasiantar, Gunung Tua dan Pidoli berpenduduk 10.000 orang dan 40 desa kecil lainnya berpenduduk 14.000 orang, merupakan daerah kaya, sekaligus sebagai pengespor beras. Emas dari Mandailing Kecil ditukar dengan beras di pasar Panyabungan, kemudian emas itu dibawa ke pantai barat untuk ditukar pula dengan garam, besi, kain katun, benang tembaga, ikan kering dan barang-barang lainnya. Lokasi pasar Panyabungan terletak di pinggir Aek Mata, tepat di simpang empat menuju Hutasiantar di timur, Pidoli Lombang di selatan, Panyabungan di barat dan Gunungtua di utara. Pasar inilah yang dibumihangus Paderi. Kemudian setelah tentara kompeni menguasai Mandailing, mereka membangun Fort Elout  (Benteng Elout) di atas puing-puing pasar Panyabungan, Juli 1834. Dengan demikian, kegiatan ekonomi tetap berjalan yang berpusat di dalam dan di sekitar benteng.
Dobbin memaparkan, bahwa gerakan Paderi, khususnya di utara Minangkabau, lebih pada gerakan perdagangan daripada gerakan penyebaran agama Islam. Pantaslah, tak satu pun bekas jejak kaum Paderi dalam bidang agama di kawasan itu. Jadi sesuai dengan sinyalemen saya di dalam buku Greget Tuanku Rao, bahwa Islam dibawa oleh orang Mandailing sendiri dari Pasaman dan pantai barat Mandailing. Proses Islamisasi itu berlangsung secara damai dalam suasana kekeluargaan. Mereka telah mengenal Islam berabad sebelum keberadaan kaum Paderi. Reputasi Natal sebagai pusat perguruan Islam di pantai barat Mandailing telah dibuktikan oleh Tuanku Lintau, tokoh legendaris Paderi yang belajar agama Islam di Natal, sebelum ia menceburkan diri dalam gerakan Paderi.
Gerakan reformasi ajaran Islam dan perdagangan pra Paderi, pada saat Paderi dan pasca Paderi pada hakikatnya adalah revolusi sosial yang dahsyat di Sumatera Barat. Saya mendapat kesan, bahwa Dobbin tidak mengenal secara langsung kawasan Mandailing dan pelabuhan-pelabuhannya di pantai barat. Padahal kawasan itu sangat penting dalam kancah perdagangan kaum Paderi. Selain itu ada nama-nama tempat yang tidak dikenal di daerah itu seperti Sungai Taru yang seharusnya Batangtoru, Achin seharusnya Aceh, Gunung Bualbuali seharusnya Sibualbuali dll. Seyogianya  penerjemah, Lilian T. Tedjasudhana dapat melakukan penyelarasan nama-nama itu. Tetapi ternyata justru penerjemah ini menambah kekeliruan dengan memakai istilah-istilah Jawa yang tidak kena-mengena dengan tradisi di alam Minangkabau, seperti kraton dan ningrat yang seharusnya istana dan bangsawan.
Buku ini sangat layak dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui kiat-kiat sukses orang Minangkabau dalam berniaga, sekaligus tentang taktik dan strategi gerakan Paderi, serta perubahan sosial yang luar biasa pada orang Minangkabau yang disebabkan oleh gerakan Paderi.
Ketertarikan Christine Dobbin melakukan penelitian ini
Gejolak dan ekspansi Islam sedemikian rupa sehingga dalam istilah sejarah keagamaan murni, periode antara tahun 1789 sampai 1848, paling tepat digambarkan sebagai masa kebangkitan Islam sedunia (E.J. Hobsbawn, 1962: 225).
Gerakan kebangkitan yang mekar di sejumlah masyarakat Islam pada akhir abad kedelapan belas dan permulaan abad kesembilan belas masih belum banyak dijelajahi dan tidak akan habis dikaji secara ilmiah seumur hidup penulis. Penulis sepakat dengan Hugh Seton-watson yang, ketika membahas gerakan Murid pada awal abad kedelapan belas di Caucasus, menulis: “Ketidakpuasan sosial, kebencian terhadap orang asing, dan puritanisme agama bercampur dalam gerakan itu, dan boleh dikatakan tidak mungkin seorang ahli sejarah untuk melepaskan mereka satu persatu (H. Seton-Watson, 1967: 291). Namun banyak perkembangan yang tampak dalam masyarakat Islam pada zaman itu akan tetap kabur kalau para ahli sejarah sedikitnya tidak mencoba menjalankan proses “pelepasan”, dan melanjutkan menilai letak kebangkitan dalam evolusi masyarakat islam. Meskipun sudah ada sejumlah usaha yang cukup mutakhir dalam jalur-jalur ini, harus dikatakan pada mulanya bahwa sangat sedikit kajian tentang gerakan kebangkitan Islam yang besar pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas telah berhasil menempatkan fenomena ini pada konteks sosial dan ekonomi yang memadai.
Penulis menyediakan konteks ini untuk memberi isi pada teks yang kosong tentang kebangkitan, memaksa pakar sejarah untuk menarik penelitiannya lebih mendalam ke masa lampau masyarakat tertentu yang menjadi tempat terwujudnya gerakan kebangkitan Islam itu sendiri. Dalam hal gerakan padri yang menjadi pokok kajian ini, masyarakat yang terlibat adalah masyarakat Minangkabau di Sumatra Tengah, salah satu kelompok besar yang menghuni Kepulauan Indonesia ini. Karena begitu sedikit tulisan ilmiah yang ada tentang sejarah masyarakat indonesia pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, maka tiap perembesan ke dalam lapangan kelihatannya hampir tidak akan menimbulkan masalah. Namun, sang pakar sejarah akan segera menemukan bahwa sejumlah ilmuwan yang mengabaikan orang-orang itu tidak akan ditiru oleh kelompok lain, dan para pakar antropologi, ekonomi dan ahli ilmu bumi ternyata memang sangat bersemangat dalam mengadakan penelitian. Meskipun upaya mereka sebagai pionir sangat berharga, patut disayangkan bahwa para pakar sejarah menerapkan cara memilah-milah yang memang dapat diterapkan dalam zaman ini, tetapi belum tentu andal untu masa lampau. Oleh sebab itu, para ahli sejarah yang merekonstruksi masa lampau Minangkabau harus sangat berhati-hati.
Christine Dobbin menyadari bahwa menulis tentang gerakan Padri berarti juga merekonstruksi sebuah masyarakat yang berada dalam gejolak transformasi pertanian. Untuk itu perlu dikumpulkan informasi sepotong demi sepotong mengenai semua desa-desa penting di Minangkabau, dan khusus mengenai sejarah pertaniannya. Namun, sejarah perkembangan desa di Indonesia sampai sekarang hampir tidak diketahui. Sampai sekarang belum ada sejarah satu desa yang menjadi pokok tulisan ilmiah. Sementara memperhatikan kajian dari sejarah Eropa, ke manakah pakar-pakar sejarah Indonesia harus berpaling untuk memungkinkan mendapatkan bimbingan jika tidak kepada pakar ekonomi yang khususnya mempelajari urusan Indonesia. Namun, bayang-bayang karya J.H Boeke sangat mempengaruhi persepsi. Walaupun ada pengakuan modern mengenai kesedian petani Indonesia untuk berinovasi apabila risiko dan ketidakpastiannya tidak terlalu besar (B. Glassburner, 1971: 162-78), dengan semua implikasinya terhadap dinamika sejarah desa, argumentasi Boeke bahwa “memasarkan produk pertanian sebenarnya asing bagi desa timur yang asli” (J.H. Boeke, 1953: 24) pasti telah menjadi hambatan bagi para sejarawan desa yang potensial. Yang lebih meyakinkan, sejauh yang menyangkut para pakar sejarah tentang Indonesia, adalah pandangan Boeke bahwa, kalau ada perubahan yang tanpak dalam ekonomi desa, “gerakannya terutama bersifat ekonomi; motif-motif yang menentukan bukan ekonomis, melainkan sosial..”. Ciri utama kehidupan desa adalah perubahan-perubahan yang terjadi harus diselidiki di bidang lain, terutama bukan di bidang ekonomi.” (J.H. Boeke, 1953: 30).
Meluasnya pandangan ini menimbulkan ketertarikan Christine Dobbin untuk memandang gerakan-gerakan sosial dan ekonomi di Indonesia pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas dari segi perubahan budaya atau dari segi tanggapan terhadap inisiatif kebijakan langsung yang dijalankan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tidak dapat diragukan lagi bahwa karena alasan ini, gerakan Padri secara tradisional dipandang sebagai akibat persengketaan antara kepala-kepala suku dalam masyarakat desa Minangkabau dan guru-guru Islam yang memasuki dunia Minangkabau dengan gagasan-gagasan baru dari dunia luar. Untuk mencoba melihat gerakan ini secara lebih luas, dengan mencakup sejarah ekonomi dan sosial tiap desa diperlukan kesediaan untuk melontarkan prakonsepsi intelektual pribadi dan menyimpang dari norma-norma tradisional
Sumber-sumber yang Dipergunakan:
Materi sumber yang dipergunakan dalam pengkajian ini sebagian besar menggunakan sumber-sumber dari Belanda, antara lain:
A.    Sumber Naskah
1.      Arsip-arsip resmi Belanda yaitu Algemeen Rijksarchief, Den Haag, antara lain seperti;
a.      Koloniaal Archief
Arsip ini berisi catatan United East India Company. Seri yang dipakai terdiri atas surat-surat dari pos-pos luar VOC kepada Gubernur Jenderal di Batavia, dan diberi judul Bataviasche Inkomende Brieven, Overgekomen. Untuk Padang butir-butir yang diacu adalah sebagai berikut:
3752         Inkomend        Briefboek         en Bylagen van Sumatra’s Weskust
                 Overgekomen 1790
3800         Inkomend        Briefboek         en Bylagen van Sumatra’s Weskust
                 Overgekomen 1791
3853         Inkomend        Briefboek         en Bylagen van Sumatra’s Weskust
                 Overgekomen 1793
3876         Inkomend        Briefboek         en Bylagen van Sumatra’s Weskust
                 Overgekomen 1794
b.      Archief van het Ministerie van Kolonien
Dokumen-dokumen penting yang berasal dari Kementrian Daerah Jajahan dalam periode 1814-1849 terdapat dalam satu tiga berkas Verbalen (notulen) – Openbare (umum), Geheim (rahasia) dan Kabinet. Ketiga kategori dipakai dalam karya ini. Setiap Verbaal terdiri dari seri dosir bernomor, dan setiap dosir berisi satu seri Exhibitum yang disusun menurut tanggal. Untuk mendapatkan bahan mengenai Sumatra Tengah harus melalui indeks, dari sini perlu diambil nomor dosir yang dimaksud dan tangga Exhibitum yang relevan. Selain itu untuk telaah ini juga dipakai buku-buku mengenai Besluiten (keputusan) Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan beberapa dokumen lain.
2.      Laporan-laporan yang diterbitkan yang ditulis oleh para pengamat Belanda masa itu tentang situasi Sumatra Tengah yaitu: Algemeen Rijksarchief Hulpdepot, Schaarsbergen Archief van de Nederlandsche Handel-Maatschappij.
Reisverslagen (Laporan Perjalanan), 1826-1840 No. 13, 22, 33, 38, 39
3.      Sedangkan laporan yang ditulis oleh orang Minangkabau hanya ada dua, laporan ini memberikan informasi akan keikutsertaan dalam gerakan kebangkitan Islam. Dapat ditemukan dan dipakai sumber informasi, bersama-sama dengan bahan dari Minangkabau seperti cerita-cerita tradisional, ungkapan-ungkapan adat dan bukti-bukti arkeologis.
Mempelajari segudang bahan arsip Belanda mengenai periode ini membutuhkan segenap ketrampilan “ahli sejarah sebagai ahli arkelogi” karena setiap laporan yang berjilid-jilid mengenai kampanye dan pertempuran Belanda di Sumatra Tengah harus diasing untuk mendapatkan beberapa cuil informasi yang ada di dalamnya mengenai ekonomi dari desa-desa yang dimaksud, keyakinan keagamaannya, dan rincian lain yang penting.
Mengenai gerakan kebangkitan Islamnya sendiri, banyak dari analisisnya harus didasarkan atas laporan paling awal yang dicatat oleh perwira militer dan pejabat sipil pemerintah Hindia Belanda, yang menyelidiki orang-orang Minangkabau yang berhubungan dengan mereka.
Selain itu, survai yang dilakukan oleh para penyelidik ilmiah Belanda dan para pelancong, yang sangat berharga untuk kajian ekonomi desa, ternyata juga bermanfaat sebagai acuan mengenai desa-desa sebagai pengikut atau penentang gerakan kebangkitan Islam ini, meskipun diperlukan penyaringan yang cermat untuk mengemukakan dalil mengenai aliran atau kecenderungan dalam sebuah desa.

B.     Sumber Cetakan
1.      Sumber Utama
Anderson, J., Anchen, and the Ports on the North and East Coast of Sumatra. London, 1840.
Anderson, J., Mission to the east Coast Sumatra, in MDCCCXXIII. Edinburg dan London, 1826.
Anon, “Het Inlandsch bestuur ter Westkust van Sumatra”, TNI, ii (1839), i.
B..d., “de Padries op Sumatra”, IM, ii (1845), i.
Bastin, J., The British in West Sumatra (1685-1825). Kuala Lumpur, 1965.
Bastin, (ed.) The Journal of Thomas Otho Travers, 1813-20. Singapura, 1960.
Boelhouwer, J.C., Herinneringen van Mijn Verbkijf op Sumatra’s Westkust, Gedurende de jaren 1831-1834. Den Haag, 1841.
Burckhardt, J.L., Notes on the Bedouins and Wahabys. 2 vol. London, 1831.
Burger, H., “Aanmerkingen Gehouden op eene Reize door Eenige Districten der Padangsche Bovenlanden”, VBG, xvi (1836).
Cortesao, A. (ed.), The Suma Oriental of Tome Pires. 2 vol. The Hakluyt Society, Seri II, vol. Lxxxix, xc. London, 1944.
2.      Sumber Sekunder
Abdullah, T., “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau”, Indonesia, ii (1996).
Abdullah, T., “Modernization in the Minangkabau World; West Sumatra in the Early Decades of the Twentieth Century”, Indonesia, ii (1996).
Bachtiar, H.W., “Negeri Taram: A Minangkabau Village Community”, dalam Koentjaraningrat (ed.), Villages in Indonesia. Ithaca, 1967.
Barratt Brown, M., The Economics of Imperialism. Harmondswortha, 1974.
Hobsbawn, E.J., The Age of Revolution. Europe 1789-1848. London, 1962.
Seton-Watson, H., The Russian Empire 1801-1917. Oxford, 1967

Sistematika Penulisan
Agar diperoleh suatu gambaran yang memadai dan mudah dipahami, maka sistematika penulisan buku Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatra Tengah 1784-1847 oleh Christine Dobbin ini di susun sebagai berikut:
Bab I sebagai bab pengantar untuk memberi penjelasan dan dasar-dasar geografis kebudayaan Sumatra Tengah.
Bab II dipaparkan tentang keadaan desa dan pasar dalam ekonomi domestik Minangkabau 1818-1834 dengan rinciannya sebagai berikut; perubahan dalam ekonomi Minangkabau, desa dataran: beras dan mineral, desa bukit: hasil pabrik dan hasil bumi khusus, pantai barat: desa-desa di kaki dan pantai, pantai timur: enterpot sungai dan pergeseran budi daya, pasar dan pedagang
Pembahasan buku ini akan di mulai dengan Bab III yang berisikan mengenai perwujudan perkembangan dan perubahan dalam jaringan perdagangan luar, 1347-1829. Pada bagian pertama dalam bab ini akan dikemukakan mengenai pentingnya perdagangan emas Minangkabau 1347-1795, entrepot di pantai barat dan pialang pantai 1529-1795, orang-orang Belanda dan pertumbuhan sistem pialang Padang 1665-1795, orang-orang Inggris dan kebangkitan perdagangan pertama 1760-1795, orang-orang Inggris, Penang dan kebangkitan perdagangangan kedua 1786-1819, orang-orang Amerika dan menanjaknya perdagangan kopi Minangkabau 1790-1829.
Permasalahan yang akan di bahas dalam Bab IV berisikan kebangkitan Islam 1784-1803, dengan analisisnya; Islam dalam masyarakat Minangkabau, gerakan kebangkitan Islam yang pertama 1784-1803, gerakan Padri 1803-1832, masuknya orang-orang Eropa di Dataran Tinggi Minangkabau 1818-1832
Pada Bab V akan diuraikan mengenai gerakan Padri di Utara 1807-1832; desa Bonjol 1807-1832, kemenangan Padri atas tanah Batak.
Bab VI berisikan nasionalisme Minangkabau dan tantangan dagang Belanda 1833-1841 dengan rincian; nasionalisme Minangkabau, perdagangan petani Minangkabau dan kebijakan dagang Belanda.
Bab VII epilog berisikan Imperialisme kopi 1841-1847 dan sesudahnya

Gaya Penulisan
Termasuk pembabagan penulisan sejarah modern atau historiografi modern sebab latar penulisan banyak dipengaruhi oleh masuknya ekspansi kegiatan orang-orang Eropa (Belanda) di Asia (Indonesia).
Berdasarkan tata urut tahun penulisan sejarahnya, Dobbin memaparkan sesuai dengan urutan tahun dan urutan peristiwa atau kebijakan pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sumatera Tengah, sehingga dapat di analisis bahwa penulisan Dobbin bersifat diakronik (sesuai urutan tahun dan peristiwa/kronologis).
Tulisan Cristine Dobbin yaitu Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847 termasuk ke dalam gaya penulisan Sejarah Ekonomi Pertanian. Dalam tulisannya Dobbin mencoba mengemukakan hubungan antara ekonomi dan kebangkitan keagamaan pada masyarakat di Sumatera Barat.
Dobbin melihat bahwa petani di Sumatera Barat telah gembira dengan karena telah terbebas dari tanaman kopi yang dipaksakan, di susul dengan masa kebangkitan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di dalam tulisan tersebut telah terjadi “Revolusi dalam Jiwa” atau telah dirasuki dengan mental ekonomi. Akibatnya dalam masyarakat Sumatera Barat telah mempunyai pandangan adanya “pilihan rasional” terutama dengan mengupayakan pertanian hasil perdagangan sehingga telah menggeser tanaman padi. Tulisan Dobbin ini sebagai pemahaman yang mendasar tentang terjadinya perubahan di Sumatera Barat.

Kelebihan Penulisan
Penulisan buku ini oleh Dobbin, kiranya sudah obyektif sebab mempunyai keunggulan memanfaatkan data-data arsip pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sumatera tengah tentang kebijakan ekonomi daerah tersebut. Keunggulan buku yang ditulis oleh Christine Dobbin seorang peneliti Inggris dengan menggunakan literatur yang 90% menggunakan literatur Barat itu adalah dalam hal penyajian sumber dan metodologi. Christine Dobbin memahami secermat mungkin fenomena masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat petani desa yang sedang berubah. Buku Christine Dobbin layak dibaca sebab memiliki keuggulan lebih terutama dalam penyajian data dan sumber-sumber serta metodologi. Dalam penyajian data dan sumber, Dobbin melacak hingga perpustakaan di Belanda, Malaysia, Inggris, Australia, Amerika sehingga ia paham dan fasih menggunakan bahasa-bahasa di negara itu. Hal ini menjadi acuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya apalagi yang berkaitan dengan penelitian-penelitian sosial kemasyarakatan.
Selain itu Dobbin dalam penulisan buku ini mampu mengilustrasikan/menggambarkan kegigihan yang kuat masyarakat Sumatera Tengah dalam berdagang. Kuatnya semangat dagang orang Minangkabau dan kaum Padri digambarkan oleh Christine Dobbin secara gamblang dan jelas. Beberapa penjelasan tentang semangat dagang kaum Paderi antara lain ditulis oleh Christine Dobbin pada halaman 260, 261, 280, 281 sebagai berikut: Pada kira-kira tahun 1812, Bonjol mulai menarik penduduk dari tempat-tempat lain di Minangkabau. Mereka datang untuk mengkaji ajaran Padri maupun untuk ikut serta dalam perdagangan desa yang sedang berkembang. Sama seperti pemimpin utama Padri lainnya, Imam Bonjol ingin membuat kampung halamannya menjadi pusat dagang yang penting. Dalam memoarnya disebutkan bahwa segera setelah ia mendirikan tempat pemukiman itu, ia menanam padi dan pohon buah-buahan dan mendirikan tempat peternakan sapi dan kuda. Selanjutnya, ia berkata bahwa kira-kira pada tahun 1812, Bonjol “begitu makmur berkat meningkatnya industri dan perdagangan sehingga banyak orang datang ke situ karena tertarik pada murahnya harga bahan makanan sebab beras, ternak, dan kuda tersedia berlimpah”. Tambahan lagi, setelah benteng desa lebih disempurnakan dan penduduknya dipersenjatai dengan layak, “mereka memusatkan diri sepenuhnya pada perdagangan. Dengan menikmati keadaan damai dan bersatu, kemakmuran nagari Bonjol makin lama makin bertambah dan pedagang-pedagang dari tempat lain banyak yang datang ke sini” (hal. 260). Walaupun sulit dibedakan antara yang suci dan yang duniawi, keadaan menjadi lebih mudah oleh kenyataan bahwa Imam Bonjol dengan cepat menjadi pemimpin perang dan perhatiannya tertuju pada hal lain. Kepada murid-muridnya yang berbondong-bondong datang ke Bonjol, ia memberikan latihan silat. Kemudian, ia membentuk pasukan khusus setelah kedudukannya di lembah cukup kuat untuk menyatakan jihad kepada daerah sekitarnya. Ia lalu mengembangkan pola serbuan tahunan ke daerah-daerah sekitarnya dan pasukan Bonjol selalu kembali dengan hasil rampasan yang cukup banyak. Setelah menang perang, mereka beristirahat untuk bercocok tanam selama satu tahun sebelum melakukan serbuan lain. Serbuan-serbuan ini biasanya dilakukan atas permintaan salah seorang pemimpin Padri. Pada diri mereka bercampur erat semangat agama dan keserakahan manusiawi. Diberitakan pada suatu penyerbuan di Agam, orang Bonjol tidak saja kembali dengan membawa ternak rampasan, melainkan juga piring, cangkir, kuali, dan alat keperluan rumah tangga lainnya (hal. 261). Kebanyakan perdagangan produk Batak pun berada di tangan orang-orang Minangkabau. Oleh sebab itu, serbuan pasukan Padri ke Mandailing dan hulu Barumun hanya merupakan satu tahap lain dalam pembebasan yang terus menerus dari dunia Minangkabau ke dunia Batak yang telah berlangsung berabad-abad (hal. 280). Tidak mengherankan jika Imam Bonjol memalingkan matanya ke utara, ke arah tetangganya yang kaya, setelah ia menetapkan kekuasaannya di Lembah Alahan Panjang. Lembah yang panjang dan sempit di sebelah lembahnya menampakkan kemakmuran yang cukup besar. Para pemimpin masyarakat Padri di Alahan Panjang menyadari bahwa kepemilikan atas tambang emas Rao pasti akan memberikan dimensi ekstra pada jaringan dagang yang hendak mereka ciptakan. Selain itu, tenaga kerja dari lembah itu juga merupakan tambahan yang sangat diharapkan. Imam Bonjol memulai serbuannya ke Rao dengan mengawasi pembuatan jalan yang baik ke Lubuk Sikaping, desa utama di ujung selatan lembah (hal. 281).

Kelemahan Penulisan
Dobbin dalam memaparkan tulisan ini lebih banyak menceritakan kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sumatera Tengah. Dan juga, dalam menuliskan penelitian ini lebih dominan menggunakan sumber-sumber Eropa. Sehingga corak penulisan Dobbin ini lebih dominan pada penulisan sejarah yang bersifat Eropasentris dan Nerlandosentris yaitu lebih banyak menampilkan peran orang-orang Eropa dan Belanda dalam sejarah ekonomi pertanian Sumatera Tengah.
Kata kunci Islam yang dimunculkan oleh Christine Dobbin pada judul dan pembahasannya di dalam buku, adalah tentang sejarah masuknya Islam dan keberagamaan orang Minangkabau. Hal itu cukup membuktikan bahwa Christine Dobbin memahami Islam dengan baik. Namun apakah dalam setiap pembicaraan tentang pergerakan Islam itu harus disertai keharusan menuliskannya dalam kisah-kisah heroik seorang tokoh yang gagah berani dan gegap gempita kehidupan masyarakat, dan jika tidak, penulisnya jadi kurang memahami Islam?. Padahal corak atau nuansa sejarah Islam di Sumatera Tengah tidak hanya di pusatkan pada tokoh tertentu, namun pergerakan masyarakat kecil, serta bentuk-bentuk budaya khas lain juga sangat berpengarh terhadap perkembangan sejarah Islam di Sumatera Tengah. Sehingga dapat diberi analisis kesimpulan, bahwa Dobbin kiranya kurang memahami bagaimana sejarah Islam yang ada di Sumatera Tengah, khususnya sejarah Islam yang timbul di tengah masyarakat Sumatera Tengah, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa peran tokoh Islam juga berpengaruh besar.

Kamis, 26 April 2012

SEJARAH PROSTITUSI


PROSTITUSI DI JAKARTA MASA TIGA KEKUASAAN
Sejarah dan Perkembangannya
Oleh : Lamijo
A. Pendahuluan
Pelacuran merupakan fenomena sosial yang senantiasa hadir dan berkembang di setiap putaran roda zaman dan keadaan. Keberadaan pelacuran tidak pernah selesai dikupas, apalagi dihapuskan. Walaupun demikian, dunia pelacuran setidaknya bisa mengungkapkan banyak hal tentang sisi gelap kehidupan manusia, tidak hanya menyangkut hubungan kelamin dan mereka yang terlibat di dalamnya, tetapi juga pihak-pihak yang secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati dan mengambil keutungan dari keberadaan pelacuran. Jakarta (pada masa kolonial bernama Batavia) merupakan pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda, yang sekaligus berperan juga sebagai kota pelabuhan, kota perdagangan, serta menjadi salah satu titik awal lintasan kereta api di Jawa.
Dengan kedudukan dan posisinya yang penting dan cukup strategis, Batavia berkembang dengan pesat dan dinamis, baik dari segi pemerintahan maupun ekonomi. Perkembangan perekonomian yang pesat di Batavia, terutama karena ditunjang oleh peran pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan perdagangan internasional, tempat untuk mengekspor hasil-hasil tanaman ekspor Hindia Belanda seperti gula, kopi, dan sebagainya yang semakin meningkat sejak diterapkannya UU Agraria 1870, telah menimbulkan pula akibat sampingan, yaitu semakin suburnya pertumbuhan prostitusi.
Batasan temporal makalah ini adalah tahun 1930-1959. Periode ini setidaknya meliputi masa kolonial akhir, masa pendudukan Jepang, dan masa awal kemerdekaan Indonesia. Tahun 1930 dipilih sebagai batasan awal penelitian ini dikarenakan pada tahun tersebut sedang terjadi krisis ekonomi yang hebat di dunia, di mana efeknya begitu besar di Hindia Belanda. Akibat krisis ekonomi tersebut, sebagian besar aktifitas perekonomian mengalami gangguan yang serius. Kondisi demikian tentu berpengaruh pada lapangan pekerjaan. Akibatnya, muncul berbagai persoalan menyangkut upaya untuk tetap mendapatkan penghasilan agar tetap dapat survive dalam kondisi perekonomian yang serba sulit itu. Salah satu gejala yang kemudian tampak cenderung meningkat adalah berkembangnya aktivitas prostitusi di sentrasentra perekonomian yang sedang goyah, termasuk di Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda. Tahun 1959 dipilih sebagai batasan akhir periode dalam makalah ini, karena pada tahun tersebut terjadi pergantian sistem politik di Indonesia, yaitu dari demokrasi Parlementer ke demokrasi Terpimpin.
Pergantian sistem politik itu secara langsung memang tidak ada pengaruhnya dengan perkembangan prostitusi di Jakarta, namun berbagai situasi sosial dan ekonomi yang serba sulit sejak kemerdekaan hingga memasuki akhir tahun 1950an, yang ditandai dengan banyaknya pengangguran dan kemiskinan, setidak-tidaknya memberikan asumsi bahwa proses politik yang terjadi ikut mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi ada. Selain itu, sejak tahun 1950an mulai terjadi arus urbanisasi ke Jakarta seiring dengan perkembangan kota Jakarta dan adanya proses nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan lapangan pekerjaan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan di Jakarta, di antaranya masalah prostitusi.
Makalah ini mengkaji sejarah dan perkembangan prostitusi di Jakarta seiring dengan perkembangan dan berbagai perubahan yang terjadi di Jakarta pada kurun 1930-1959. Analisis makalah ini lebih menitikberatkan pada persoalanpersoalan yang melatarbelakangi perkembangan prostitusi, bentuk-bentuk prostitusi, pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan prostitusi, akibat yang ditimbulkan oleh aktifitas prostitusi, dan berbagai upaya untuk menanggulangi prostitusi.
B. Sekilas Sejarah Jakarta
Jakarta dalam sejarahnya mengalami beberapa kali pergantian nama seiring dengan pergantian kekuasaan dan penguasanya. Jakarta pada awalnya adalah Sunda Kelapa sebagai kota pelabuhan kerajaan Hindu Pajajaran yang terletak di muara Kali Ciliwung. Banyak kapal dari berbagai belahan dunia dan penjuru nusantara hilir mudik ke pelabuhan ini, sehingga menyebabkan pelabuhan Sunda Kelapa tidak hanya menjadi tempat transit untuk mengambil air tawar, kayu bakar, dan bahan makanan, tetapi juga menjadi tempat perdagangan komoditas yang dicari dan diminati oleh para pedagang dari Asia Barat dan Cina.
Pada tahun 1527 Sunda Kelapa jatuh ke tangan Demak di bawah pimpinan Fatahillah dan namanya kemudian diubah menjadi Jayakarta—yang berarti volbrachte zege atau kemenangan yang nyata— tanggal 22 Juni 1527 dan selanjutnya Jayakarta dimasukkan ke dalam kekuasaan kerajaan Banten. Pada tanggal 30 Mei 1619, VOC berhasil menaklukkan Jayakarta. Setelah Jayakarta berhasil ditaklukkan, kota tersebut kemudian dibakar habis atas perintah J.P. Coen, Gubernur Jenderal VOC saat itu. Di atas reruntuhan kota Jayakarta itu kemudian dibangun sebuah kota baru yang memiliki gaya meniru kota-kota di negeri Belanda dan diperkuat pula dengan bentengbenteng pertahanan. Kota itu kemudian di sebut Batavia. Pada tanggal 4 Maret 1621 untuk pertama kalinya terbentuk pemerintah kota bernama Stad Batavia. Jadi, pada masa Gubernur J.P. Coen inilah titik awal pembangunan Batavia sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan dimulai. Setelah VOC runtuh pada tahun 1799, sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1808, Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia.
Di bawah pemerintahan Daendels inilah pusat pemerintahan berpindah dari Oud Batavia ke Weltevreden (Nieuw Batavia). Nama Batavia terus bertahan sampai dengan tahun 1942 pada saat kota Batavia jatuh ke tangan Jepang. Tentara Dai Nipon Jepang kemudian secara resmi mengganti nama Batavia menjadi Jakarta Toko Betsu Shi berdasarkan Maklumat Gunseikanbu tanggal 8 Desember 1942, dan nama itu terus bertahan hingga saat ini. Selain perkembangan fisik kota Jakarta yang tampak sangat pesat—dari suatu kota pelabuhan tradisional di masa Sunda Kelapa menjadi kota Batavia di masa kolonial Hindia Belanda, sejak masa awal penjajahan Belanda (masa kekuasaan J.P.Coen) telah berkembang sistem pergundikan di Batavia yang nantinya menjadi salah satu cikal perkembangan prostitusi di Jakarta. Jakarta memiliki sejarah pelacuran yang panjang. Menurut Ridwan Saidi, tempat konsentrasi prostitusi pertama di Jakarta adalah di kawasan Macao Po, yaitu berupa rumah-rumah tingkat yang berada di depan stasiun Beos (sekarang stasiun Jakarta Kota). Disebut demikian karena para pelacurnya berasal dari Macao yang didatangkan oleh para germo Portugis dan Cina untuk menghibur para tentara Belanda di sekitar Binnenstadt (sekitar kota Inten di terminal angkutan umum Jakarta Kota sekarang).
Tempat itu juga menjadi persinggahan orang kaya Cina untuk mencari hiburan Dalam perkembangan selanjutnya pada masa kemerdekaan, terutama memasuki tahun 1950an, terjadi peningkatan arus urbanisasi penduduk dari luar Jakarta ke Jakarta dengan maksud mengadu nasib di ibukota pemerintahan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sejak itu sektor informal, khususnya sektor jasa, di Jakarta pun ikut berkembang seiring dengan tingginya arus urbanisasi. Perkembangan selanjutnya, Jakarta kemudian tidak hanya sibuk di siang hari, tetapi geliat berbagai usaha di sektor jasa pun bermunculan di ambang petang. Geliat Jakarta di waktu malam, terutama denyut nadi perekonomian dari sektor jasa, dalam hal ini adalah jasa layanan seks—prostitusi—mulai tampak menonjol sejak awal tahun 1950an, di mana saat itu terjadi ledakan penduduk di Jakarta, akibat arus urbanisasi yang tidak terkendali. Terbatasnya kesempatan dan lapangan pekerjaan dibandingkan dengan jumlah pekerja berakibat pada meningkatnya angka pengangguran, sehingga kondisi demikian menjadi salah satu penyebab tumbuh suburnya praktek-praktek prostitusi kelas rendah di seantero Jakarta, seperti di sekitar Bendungan Hilir, Bongkaran, Kali Malang, dan stasiun Senen. Praktik-praktik prostitusi kelas bawah seperti itulah yang dari hari ke hari semakin menguatkan geliat Jakarta di waktu malam.
C. Sisi Kelam Perkembangan Jakarta: Prostitusi Lintas Masa
1. Perkembangan Prostitusi Masa Kolonial Belanda
Praktik-praktik prostitusi sudah ada sejak masa awal penjajahan Belanda, dikarenakan jumlah perempuan Eropa dan Cina di Batavia lebih sedikit dibandingkan jumlah prianya saat itu. Bahkan, sejak masa J.P. Coen pun telah berkembang praktik-praktik prostitusi walaupun secara tegas ia tidak setuju dengan praktik-praktik semacam itu. J.P. Coen sendiri bahkan pernah menghukum putri angkatnya, Sarah, yang ketahuan “bermesraan” dengan perwira VOC di kediamannya. Sang perwira itu dihukum pancung, sedangkan Sarah didera dengan badan setengah telanjang. Walaupun Coen secara tegas menolak prostitusi, kenyataannya ia dan pengganti-penggantinya kemudian tidak mampu membendung berkembangnya prostitusi dan prostitusi merupakan masalah klasik yang dihadapi Batavia seiring dengan perkembangan kota ini. Seperti telah disinggung di muka, perkembangan prostitusi pertama di Jakarta terkonsentrasi di kawasan Macao Po (Jakarta Kota) pada abad XVII.
Seiring dengan perkembangan ekonomi dan fisik kota Jakarta, serta peran dan posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, maka tempat-tempat pelacuran pun juga mengalami perkembangan dan bergeser—tidak terkonsentrasi di satu tempat saja, misalnya kemudian berkembang tempat pelacuran kelas rendah di sebelah timur Macao Po (sekitar jalan Jayakarta sekarang), yang saat itu bernama Gang Mangga. Tempat ini cukup terkenal sebagai salah satu tempat berlangsungnya kegiatan prostitusi, bahkan saat itu orang menyebut sakit sipilis dengan sebutan sakit mangga. Dalam perkembangan selanjutnya, kompleks pelacuran Gang Mangga kemudian tersaingi oleh rumah-rumah bordil yang didirikan oleh orang Cina yang disebut soehian. Kompleks pelacuran semacam ini kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh Jakarta. Karena sering terjadi keributan, maka pada awal abad XX soehian-soehian di sekitar Gang Mangga kemudian ditutup oleh pemerintah Belanda. Pemicu ditutupnya soehian adalah peristiwa terbunuhnya pelacur Indo yang tinggal di Kwitang bernama Fientje de Ferick pada tahun 1919 di soehian Petamburan.
Setelah soehian ditutup, sebagai gantinya muncul kompleks pelacuran serupa di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar). Sampai awal tahun 1970an Gang Hauber masih dihuni oleh para pelacur, sedangkan Kaligot sudah tutup pada akhir 1950an. Faktor kurangnya jumlah perempuan dibandingkan dengan prianya, misalnya selama periode 1860-1930, merupakan alasan logis meningkatnya permintaan jasa prostitusi, sehingga praktek-praktek prostitusi berkembang semakin pesat di masa kolonial Belanda. Pada tahun 1930 misalnya perbandingan jumlah perempuan tiap 1000 pria di Hindia Belanda adalah sebagai berikut: Eropa, 1.000:884, Cina, 1.000:646, dan Arab, 1.000:841. Selain itu, kondisi perekonomian yang stagnan dan cenderung memburuk pada dasawarsa 1930an ketika terjadi krisis ekonomi turut pula mempengaruhi seorang perempuan dalam menentukan keputusan untuk terjun ke dunia prostitusi. Kemiskinan merupakan kondisi tak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia selama masa penjajahan. Sebagaimana diketahui, memasuki dasawarsa 1930an, kekuasaan Belanda di Indonesia—dan hampir semua negara di dunia—mulai mengalami tekanan ekonomi, terlebih saat krisis ekonomi melanda dengan dahsyatnya pada tahun 1930. Keberhasilan ekonomi yang dinikmati oleh pemerintah kolonial Belanda berakhir karena depresi ekonomi tahun 1930 itu.
Depresi ekonomi yang mulai terasa pada pertengahan tahun 1920an di antaranya disebabkan oleh jatuhnya harga-harga komoditi internasional seperti gula dan kopi, sehingga berdampak pada menurunnya aktivitas ekspor dan impor yang pada akhirnya juga berpengaruh pada berkurangnya kesempatan kerja. Berkurangnya kesempatan kerja secara otomatis meningkatkan jumlah pengangguran. Sebenarnya, kerugian yang diderita oleh Jakarta tidak begitu besar, tidak separah apa yang dialami oleh Surabaya, karena Jakarta tidak terlalu terlibat dalam industri gula. Meskipun krisis ekonomi masih melanda di tahun 1930an, perlu digarisbawahi bahwa selama dasawarsa 1930an sebenarnya ada perkembangan industri di Jakarta dengan indikasi meningkatnya jumlah pabrik yang beroperasi di Jakarta Namun sayang, meningkatnya perkembangan industri tersebut hanya mampu menyerap 19% tenaga kerja dari seluruh angkatan kerja yang ada di Jakarta saat itu, di mana 13% dari tenaga yang terserap adalah orang pribumi. Tenaga kerja selebihnya yang tidak terserap di pabrik/industri bekerja di bidang transportasi (kapal, trem, dan kereta api).
Walaupun demikian, jumlah tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan lapangan pekerjaan yang ada dan menurunnya jumlah impor barang-barang dari luar negeri mengakibatkan pengangguran semakin meningkat. Dari kondisi itulah kemudian muncul suatu gejala menarik yang dapat dilihat di sektor informal yang berkembang cukup menyolok pada masa itu, yaitu meluasnya penjaja jasa, khususnya jasa layanan seksual. Dengan demikian, kita dapat berasumsi bahwa prostitusi yang berkembang di Jakarta pada dasawarsa 1930an ini lebih didominasi oleh faktor kesulitan ekonomi akibat terjadinya krisis ekonomi.
2. Perkembangan Prostitusi Masa Jepang
Berakhirnya penjajahan Belanda oleh Jepang pada tahun 1942 bukan berarti Indonesia bebas dari penjajahan, melainkan justru sebaliknya, semakin memprihatinkan. Penjajah Jepang sebagai ganti kekuasaan Belanda di Indonesia, menjalankan pemerintahan dengan sangat represif. Keadaan ekonomi penduduk sangat parah, sebab segala hasil produksi ditujukan untuk kepentingan Jepang. Jepang juga mengerahkan tenaga rakyat secara paksa yang disebut romusha, untuk membangun prasarana perang, lapangan udara, dan jalan raya. Kemiskinan dan kelaparan terjadi di mana-mana. Banyak penduduk yang hanya berpakaian dari kain goni, sehingga berbagai penyakit kulit diderita oleh penduduk.
Untuk mengurangi penderitaan karena penyekit kulit itu, mereka melepas baji goni lalu mencucinya. Selama menanti baju goni kering, mereka berjemur agar kudis dan penyakit kulit bisa kering oleh sinar matahari. meninggal di berbagai tempat sudah menjadi kejadian lumrah sehari-hari waktu itu. Di sekitar stasiun Tanah Abang waktu itu banyak orang-orang kelaparan, sakit lalu meninggal. Masa pendudukan Jepang merupakan zaman yang paling tidak bisa dilupakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia, sebab penduduk mengalami tekanan lahir dan batin yang luar biasa di tengah suasana perang yang berkepanjangan.
Pada masa pendudukan Jepang, secara ekonomi sosial masyarakat Jakarta mengalami perubahan. Pada masa itu penduduk dianjurkan untuk menggarap semua tanah kosong dengan menanam sayur-sayuran dan pohon jarak tanpa memperdulikan siapa pemilik tanah yang digarap. Penduduk juga diperbolehkan mendirikan gubug-gubug di kebun-kebun yang digarap tersebut. Gubug-gubug itu lambat laun dibangun secara semi permanen sehingga menjadi rumah-rumah sederhana16. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Jakarta selama pendudukan Jepang itu digambarkan sebagai berikut:
“ …Beras masuk ke Jakarta dari Karawang dan pulau Jawa pada umumnya. Tekenan hanya walaupun bagaimana beras misalnya itu adalah bahan strategis. Jadi Jepang tidak mau itu diperdagangkan secara bebas. Sebab, walaupun bagaimana Jepang membutuhkan beras itu sendiri bagi war of fort mereka. Jadi bahan-bahan strategis itu dikuasai oleh mereka ….Jadi orang Jepang perlu menguasai bahan pangan itu untuk usaha peperangan mereka, sehingga bagi kita tidak banyak yang lebih. Dan untuk mendapatkan itu kita bisa melihat antrian di kampong-kampung”.
Selama Jepang menduduki Indonesia, secara fisik dapat dikatakan bahwa Jakarta sama sekali tidak mengalami perkembangan, namun prostitusi dan komersialisasi seks terus berkembang selama pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang inilah disinyalir terjadi eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan juga ada jaringan perdagangan perempuan untuk dijadikan pelacur. Indikasi ini terkait dengan banyaknya perempuan yang tertipu atau dipaksa memasuki dunia prostitusi. Bangsa Jepang menawarkan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik di Tokyo atau kota-kota Indonesia lainnya kepada sejumlah perempuan. Banyak perempuan yang tertarik dengan tawaran itu dan dibawa dan ditampung ke daerahdaerah sekitar pelabuhan Semarang, Surabaya dan Jakarta (Tanjung Priok). Dalam kenyataanya mereka dipaksa melayani hasrat seks para serdadu dan perwira Jepang serta dilarang meninggalkan rumah bordil. Seperti penuturan Kartini,
“Begitu saya naik kapal saya terus disambut oleh tentara Jepang. Ia tertawa dan dengan lancang, ia menggerayangi tubuh saya. Saya menjerit ketakutan tetapi tak ada yang menolong saya. Saya diciumi terus dan dipondongnya saya ke dalam kamar, ia geletakkan saya….dan ketika bangun seluruh badan lemas, pakaian rusak semua, badan sakit semua dan kemaluan ini bengkak. Saya menangis. Tiap-tiap saya menangis dia malah datang lagi dan diulanginya perbuatan itu…dan saya pingsan lagi. Begitu terus sampai saya tidak dapat menangis lagi”.
Pada umumnya perempuan yang tertipu dan dipaksa menjadi pemuas nafsu tentara Jepang (belakangan mereka dikenal sebagai Jugun Ianfu) itu berasal dari latar belakang keluarga pegawai pangreh praja yang takut kehilangan pangkat dan jabatannya. Janji-janji untuk disekolahkan ke luar negeri tidak disiarkan melalui surat kabar, tetapi dari mulut ke mulut yang ditangani oleh Sendenbu (Jawatan propaganda). Pada masa Jepang, pangreh praja tunduk melaksanakan perintah Sendenbu. Sebagai konsekuensinya, para pangreh praja—dari bupati sampai lurah—harus memberi contoh menyerahkan anaknya.
Mereka tidak boleh hanya berpropaganda, tetapi juga harus jadi suri tauladan. Selain itu, mereka ada juga yang berasal dari perempuan-perempuan desa yang berpendidikan rendah dan atau tidak berpendidikan sama sekali, sehingga tidak mengenal baca tulis. Kebanyakan mereka ini berasal dari desa, yang secara ekonomi sanat miskin. Sebagian masih gadis—malah ada yang masih di bawah umur, ada juga yang telah bersuami dan punya anak. Bagaimana perempuan-perempuan itu bisa terjebak menjadi Jugun Ianfu? Tawaran pekerjaan yang dijanjikan oleh Jepang merupakan pola perekrutran yang dominan.
Masalah kelangkaan lapangan pekerjaan sebagai akibat situasi ekonomi yang sulit pada masa Jepang menjadi alasan utama para perempuan mudah dijebak dengan iming-iming mendapatkan pekerjaan untuk meringankan beban hidup keluarga. Gambaran kesulitan ekonomi tampak dari apa yang diungkapkan oleh Ibu Lasiyem (seorang mantan Jugun Ianfu) sebagai berikut:
“….yang ada dalam pikiran saya adalah bagaimana bisa bekerja. Saya ingin membelikan makanan untuk anak-anak saya…..karena itu ketika ada tawaran kerja, langsung saya sanggupi…saya tidak bilang dengan suami saya….
Sisi yang menonjol dari model perekrutan calo Jugun Ianfu adalah sifatnya yang tertutup melalui mekanisme desas-desus, dari mulut ke mulut, dan tidak ada suatu pengumuman yang terbuka. Para perempuan yang telah tertipu oleh model perekrutan dengan janji akan mendapatkan kerja, ditawari sekolah, atau akan mendapatkan penghasilan yang tinggi tersebut baru akan sadar setelah mereka ditempatkan di rumahrumah bordil Jepang. Rumah bordil Jepang benar-benar diawasi secara khusus untuk orang Jepang, baik militer maupun sipil. Hal lain yang menarik dari rumah bordil Jepang adalah adanya sistem penggantian nama, dari nama Indonesia ke nama Jepang. Semua orang yang direkrut Jepang akan langsung diberi nama Jepang dan tidak boleh lupa menggunakannya. Perekrutan para perempuan untuk djadikan budak seks tentara Jepang itu terus berlanjut hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, sehingga tidak mengherankan bila terdapat begitu banyak perempuan Indonesia yang menjadi korban nafsu birahi tentara Jepang.
3. Perkembangan Prostitusi Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, aktivitas dan perkembangan prostitusi terus tumbuh dengan subur. Alasan ekonomi merupakan kondisi yang patut diperhatikan di sini sebab pada masa-masa awal Indonesia merdeka kondisi perekonomian bangsa Indonesia memang masih memprihatinkan. Kondisi perekonomian Jakarta pada masa memepertahankan kemerdekaan ini digambarkan sebagai berikut:
“….Ya karena Jakarta ini sudah merupakan kota yang tidak aman dan ekonomi juga tidak teratur maka tidak sedkit rakyat untuk mencari beras saja harus sampai jalan kaki atau naik kereta yang berjubel-jubel, mencari beras sepuluh liter dari daerah Tambun, dari Bekasi. Dan tidak jarang kadangkadang istilahnya pada waktu itu dijabel, dirampas oleh menteri Belanda untuk menyakiti rakyat. Jadi rakyat itu jalan kaki ke Bekasi kadang-kadang lebih dari Bekasi untuk mencari beras sebab jalan raya itu ditutup dengan pertempuran-pertempuran. Nah, inilah penderitaan rakyat. Jadi kebanyakan itu perempuan pun tidak segan-segan jalan kaki jarak yang begitu jauh untuk mencari beras. Nah ini penderitaan rakyat.”
Kondisi politik dan perekonomian yang belum stabil sejak masa kemerdekaan berpengaruh besar dalam pembangunan Indonesia. Walau demikian, Jakarta sebagai ibukota negara tentu saja memiliki prioritas utama dalam perbaikan segala sektor sejak masa kemerdekaan. Pembangunan kota Jakarta sebagai kota besar, kota pelabuhan, dan ibukota negara, tidak bisa dipungkiri telah membangkitkan dan meningkatkan arus urbanisasi dan berdatangannya penduduk baru, dari pedalaman ke kota, terutama sejak awal tahun 1950an. Mereka adalah golongan masyarakat kelas bawah (buruh tani) dari pedesaan.
Di Jakarta mereka tinggal di daerah-daerah sekitar stasiun kereta api Senen, Manggarai, Gambir, Tanah Abang, Kota, Krekot dan Tanjung Priok. Mereka pun menempati beberapa daerah kosong di sekitar jalur kereta api yang menghubungkan berbagai daerah di wilayah Jakarta. Mereka bekerja serabutan, baik sebagai tukang becak, penjual kopi, penjual nasi, tukang sapu, penjual barang kelontong eceran, bahkan pencopet dan pelacur. Tidak banyak yang dapat diperbuat untuk membendung proses dan arus urbanisasi, selain dari larangan-larangan bagi pendatang baru yang berdatangan secara bergelombang dengan penuh harapan, tertarik oleh semerbak wangi kota Jakarta besar yang sedang berkembang dengan segala geliatnya, dan yang seakan-akan tiada batasnya Kondisi demikian dibenarkan oleh H. Ali Abu Bakar Shahab, seorang mantan anggota KKO (Angkatan Laut). Ia mengisahkan :
“Sebenarnya pada tahun 1950an Jakarta masih menjadi daerah yang menakutkan, belum banyak orang luar yang berani datang ke Jakarta karena banyak kriminal. Tapi di beberapa tempat memang sudah terkenal ramai seperti Tanjung Priok, Rawa Belong, Senen. Dan setelah Kebayoran dibuka dan diikuti pembangunan Rawa Mangun, banyak pendatang yang cari kerja. Makin banyak pendatang ke Jakarta ketika dibangun Senayan…”
Tingginya arus urbanisasi ke Jakarta sejak awal 1950an untuk mengadu nasib mengakibatkan Jakarta berkembang pesat dan mengalami berbagai perubahan yang cukup penting di beberapa sektor kehidupan. Banyak para pendatang yang ingin mengadu nasib di Jakarta dan tinggal di sembarang tempat dengan mendirikan gubuk-gubuk liar, sehingga banyak terjadi penyerobotan tanah dan Jakarta semakin semrawut. Pada tahun 1952 misalnya, di Jakarta tercatat adanya pembukaan tanah liar dengan gubukgubuk liar sejumlah 30.000 buah. Penduduk Jakarta pun meningkat drastis dari 655.000 jiwa ditahun 1940 menjadi 1.823.918 di tahun 1954 dan di tahun 1958 menjadi 2.025.929 jiwa. Jika disimak secara mendalam, berbagai masalah sosial di Jakarta tampaknya sebagian besar berakar pada persoalan kependudukan, terutama masalah ledakan penduduk yang tidak bisa dikendalikan secara efektif.
Masalah kependudukan yang belum tuntas itu pada gilirannya melahirkan problem ikutan, yaitu masalah penyediaan lapangan kerja, permukiman, dan masalah sosial lain dengan tingkat kerawanan yang makin tinggi, sehingga pada akhirnya berdampak pada munculnya berbagai masalah sosial perkotaaan, seperti kemiskinan, kriminalitas, dan meningkatnya prostitusi di Jakarta. Terkait dengan prostitusi ini, maka pada tahun 1950an sampai 1960an terdapat banyak tempat prostitusi yang tumbuh subur di Jakarta, seperti di Jalan Halimun, antara Kali Malang (dekat markas CPM Guntur) hingga Bendungan Banjir Kanal. Tempat lainnya tersebar di Kebon Sereh, belakang stasiun Jatinegara, Bongkaran, Tanah Abang, Kali Jodo, dan stasiun Senen. Kawasan Senen, misalnya, pada masa revolusi fisik memiliki peran yang cukup besar, karena daerah ini merupakan salah satu front untuk menghadapi tentara Belanda yang berbasis di lapangan Banteng.
Namun, sejak arus urbanisasi menggalir deras ke Jakarta di tahun 1950an, kegiatan perekonomian di kawasan Senen mulai menggeliat. Banyak penjaja berbagai jenis makanan yang menjajakan dagangannya siang dan malam, muncul keramaian di sekitar bioskop Rex dan Grand yang memutar film-film koboi, serta berdiri pula beberapa restoran yang sering dikunjungi oleh para seniman tersohor waktu itu. Pesatnya perkembangan Jakarta yang diiringi dengan meningkatnya kebutuhan akan tenaga kerja untuk berbagai pembangunan dan proyek di Jakarta, berdampak pula pada peningkatan arus urbanisasi, sehingga pada gilirannya memicu muncul dan berkembangnya pemukiman kumuh di kawasan Senen, di sepanjang rel kereta api berjejer gubuk-gubuk liar, dan bahkan gerbong kereta api pun—yang sudah tidak terpakai—menjadi tempat hunian liar.
Di malam hari kawasan sekitar stasiun kereta api Senen menjelma menjadi pasar seks. Tidak mengherankan jika pada pertengahan tahun 1950an pelacuran kelas bawah terjadi di gerbong-gerbong kereta api atau di rumah-rumah dari kotak kardus di sekitar stasiun Senen. Konsumen dan penawar jasa seks bergerombol di sekitar tanah gundukan. Orang menyebutnya ‘planet’, sehingga kemudian ‘planet Senen’ terkenal ke manamana sebagai nama kompleks lokalisasi kelas bawah30. Saat itu kawasan Senen seolah menjelma menjadi “surga” bagi orang-orang yang suka dengan hiburan malam, namun sekaligus menjadi salah satu sarang berbagai tindak kriminalitas, di antaranya pencopet. Pada dasawarsa 1950an kawasan Senen terkenal sebagai tempat kedudukan atau pusat organisasi copet di bawah pimpinan Pi’i.
Para pencopet dalam organisasi Pi’i ini umumnya adalah orang yang pada awalnya telah berusaha mencari kerja atau pernah bekerja, tetapi kemudian putus asa untuk mendapatkan pekerjaan layak karena sempitnya peluang kerja. Alasan para pencopet ini tampak dalam koran Merdeka sebagai berikut:
“Ingin bekerdja sebagai buruh pelabuhan (buruh kasar)….badannja tidak tahan. sebagai djalan terachir, untuk menghindari kelaparan, dipilihlah djalan jg. semudah2nja jakni masuk ke dalam prganisasi tjopet ini. Lama-kelamaan karena sudah biasa hidup dengan tjara pindjam2 barang dari orang jang tidak dikenalnja, sudah malas mereka memeras keringat bekerdja seperti orang lain” (Merdeka, 2-7-1955).
Selain di kawasan stasiun Senen, kawasan Bongkaran Tanah Abang juga menjadi tempat kegiatan prostitusi kelas bawah yang telah terkenal sejak dulu, di mana kebanyakan konsumennya adalah para sopir, buruh, dan pekerja kasar lainnya. Menurut seorang warga, nama Bongkaran berasal dari aktivitas di daerah itu pada siang hari sebagai tempat membongkar bahan galian, seperti pasir dari Tangerang yang diangkut dengan kereta. Setibanya di daerah itu, lalu diangkut dengan truk untuk di bawa ke daerah Jakarta. Bongkaran yang terletak hampir berdampingan dengan stasiun kereta api Tanah Abang, sejak jaman dulu bongkaran merupakan tempat pelacuran kelas rendah di Jakarta.
Ia bercerita: “….Ketika saya masih SR tahun 1950an, saya sering bermain di daerah Bongkaran dan kadang mengintip apa yang mereka lakukan, tapi pernah juga saya dilempar pakai batu oleh mereka…..”
Bongkaran memang merupakan kawasan yang letaknya cukup strategis untuk pertumbuhan praktek-praktek prostitusi, karena berada pada bantaran kali Krukut dengan deretan gubuk-gubuk liarnya, bersebelahan dengan pasar Tanah Abang yang selalu ramai, serta dekat juga dengan stasiun kereta api Tanah Abang. Stigma Bongkaran yang “hitam” begitu kuat melekat dalam benak hampir semua orang. Seolah-olah semua orang yang berada dan atau tinggal di kawasan Bongkaran adalah orang-orang yang menekuni dunia prostitusi, padahal tidak demikian kenyataannya.
Hal seperti itu diungkapkan oleh Ibu Amah: “ Tahun 1954 sampai 1956 saya pernah tinggal di Bongkaran sebelum pindah ke sini (Kebon Kacang). Seingat saya, walaupun waktu itu banyak para perempuan yang sering nongkrong di warung-warung minuman di Bongkaran hingga larut malam dan kemudian para sopir truk, kuli pasar, dan kuli bangunan silih berganti datang, tetapi kita tidak merasa terganggu. Kita sih berpikiran itu urusan mereka, sedang kita yang tinggal juga di situ ya mesti mawas diri aja” Berbeda dengan kasus prostitusi di Surabaya yang telah menyediakan lokalisasi khusus sejak abad XIX—bahkan telah diperkuat dengan peraturan daerah (kotapraja Surabaya), maka di Jakarta tidak ada lokalisasi secara khusus yang tersedia, setidaknya tahun-tahun akhir 1960an.
Lokalisasi secara resmi di Jakarta pertama kali diadakan tahun 1970an, yaitu di Kramat Tunggak yang terletak dekat pelabuhan Tanjung Priok. Kramat Tunggak ditetapkan sebagai lokalisasi prostitusi dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973. Sebelum Kramat Tunggak dijadikan lokalisasi, pada tahun 1969 tercatat ada 1.668 pelacur dan 348 orang germo di Jakarta. Pada saat Kramat Tunggak diresmikan sebagai lokalisasi, tercatat ada 300 pelacur dan 76 orang germo.
D. Mata Rantai Dunia Prostitusi Di Jakarta
1. Mereka Yang Terlibat
Dalam praktek-praktek prostitusi, pasti terdapat beberapa pihak yang saling terkait, sebab prostitusi tetap ada karena masih adanya hukum penawaran dan permintaan. Dalam konteks ini, tentu ada penyedia jasa (pelacur) sebagai pihak penawar dan pembeli (konsumen). Selain itu, ada pula germo atau mucikari yang mengkoordinir keberadaan para pelacur di lokalisasi. Bahkan, walaupun secara resmi praktek prostitusi dilarang dan dibenci oleh masyarakat, tetapi masyarakat—dalam hal ini pemerintah, yaitu lewat pajak— tanpa malu-malu menikmati hasil kerja para pelacur. Hal ini terjadi karena masyarakat menerapkan standar ganda dalam menilai praktek prostitusi.
Ada sebagian masyarakat yang dengan tegas menolak dan mengutuk prostitusi karena dianggap sebagai perusak moral. Ada juga sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan prostitusi, yang tidak menolak kehadiran prostitusi. Lain masa tentu saja akan lain pula pihak-pihak yang terkait dengan praktekpraktek prostitusi di Jakarta. Pada masa kolonial Belanda, jelas sekali dinyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda memang mengijinkan adanya praktek-praktek prostitusi tetapi dengan pengawasan dan syarat yang ketat.
Hal ini tidak terlepas dari pandangan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menilai perlunya ada hiburan dan pelayanan seks bagi tentaratentaranya, sehingga kunjungan para pelacur ke penjara-penjara dan barakbarak militer diperbolehkan untuk menghilangkan kejenuhan, ketegangan, dan keresahan politik. Pada masa awal kolonial Belanda, para pelacur sebagian besar adalah perempuan-perempuan dari Cina (Macao) yang didatangkan oleh para germo Cina. Sementara pada tahun 1930an, para pelacur sudah bergeser, tidak hanya orang Cina, tetapi orang dari Jepang, Rusia, Indo, dan Indonesia pun telah ada. Para pelanggan pun berasal dari berbagai strata sosial, ada yang pedagang, tentara, dan juga buruh kasar. Pelacur pribumi tarifnya sekitar f 1,- dan Tarif pelacur Cina lebih tinggi dibangingkan pelacur pribumi, yaitu sekitar f 2,50,-37.
Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan prostitusi terorganisir dengan rapi dan tersamar dalam bungkusan propaganda dan janji-janji manis Jepang kepada para perempuan yang mau dijadikan pelacur. Dengan iming-iming pekerjaan atau hendak disekolahkan, banyak perempuan-perempuan muda yang tertarik dan ikut Jepang yang ternyata dipaksa untuk melayani nafsu birahi tentara Jepang. Dalam proses perekrutan perempuan untuk dijadikan pelacur ini, selain pemerintah Jepang, aparat desa/pemerintah setempat— yang punya akses langsung untuk memobilisasi penduduk—juga terlibat dalam pengerahan perempuan untuk mau ikut Jepang38. Pada masa pendudukan Jepang ini, pelanggan tetap rumah-rmah bordil orang Jepang adalah orang-orang Jepang sendiri, baik sipil maupun militer.
Setelah Jepang kalah dan Indonesia merdeka, prostitusi tidak gulung tikar, tetapi tetap bertahan. Di Jakarta sendiri, pada tahun 1950an banyak pelacur yang berasal dari daerah Jawa Barat terutama Indramayu. Ini terkait erat dengan kenyataan bahwa pada tahun 1952 tingkat perceraian di Jawa Barat adalah yang tertinggi di dunia. Kultur orang Indramayu yang menilai tinggi seorang janda kembang dan menjadi pelacur di Jakarta atau kota-kota lainnya merupakan hal biasa, semakin memantapkan asumsi bahwa tidak semua perempuan terjun ke dunia prostitusi karena alasan ekonomi. Salah satu hal penting dalam memahami persoalan pelacuran adalah pola pelacuran yang berkembang, khususnya di Jakarta. Menurut Bapak Amar, kecenderungan pola pelacuran kelas menengah ke bawah seperti di Bongkaran Jakarta Pusat, sebagian besar akan senantiasa berujung pada profesi sebagai germo.
Ia menandaskan, “Seorang pelacur tidak akan mudah untuk melepaskan diri dari dunia kelam tersebut. Kalaupun ia sudah tidak menjadi pelacur, maka ia akan ganti profesi sebagai germo. Dan pola seperti ini akan terus berjalan, lebih-lebih jika ia malu untuk kembali ke daerah asalnya”. Maraknya perkembangan tempat-tempat prostitusi di Jakarta pada tahun 1950an—sebagai salah satu konsekuensi dari tingginya arus urbanisasi yang tak terkontrol—berarti samakin banyak pula orang-orang yang terlibat dalam praktek-prkatek prostitusi. Pada masa ini kesulitan ekonomi merupakan mayoritas alasan para perempuan yang tidak punya banyak pilihan pekerjaan untuk menekuni profesi pelacur.
2. Bentuk-Bentuk Prostitusi
Bentuk-bentuk prostitusi di Jakarta pada masa Hindia Belanda–terutama sejak 1928 setelah praktik pergundikan dilarang secara tegas–secara garis besar terbagi dua, yaitu prostitusi yang terselubung dan yang terang-terangan (lokasinya jelas). Bentuk prostitusi terselubung banyak terdapat di jalan-jalan dekat rumah-rumah orang Belanda di sekitar kota. Adapun prostitusi yang terang-terangan adalah prostitusi di mana tempatnya telah tetap dan pemerintah mengetahui keberadaannya, seperti di sekitar Jakarta Kota, Stasiun Senen, dan juga di stasiun Jatinegara.
Selain itu, sejumlah warung makan, kedai-kedai kecil, dan tempat hiburan malam lainnya yang terdapat di kota dan sekitar pelabuhan Tanjung Priok ternyata juga berfungsi sebagai tempat prostitusi, sebab di tempat-tempat tersebut dijumpai banyak gadis cantik yang menjadi pelayan sekaligus berprofesi sebagai pelacur. Pada dekade 1930an, bentuk prostitusi semakin beragam dengan semakin beraninya para pelacur orang Jepang, Rusia, Cina, Indo, dan juga pelacur orang Indonesia beroperasi secara terang-terangan. Kondisi demikian tentu sangat berlain dengan masa pendudukan Jepang, di mana hampir semua praktik prostitusi ‘didominasi’ dan dikoordinir oleh pemerintah tentara Jepang.
Bentuk prostitusi pada zaman Jepang ini terstruktur secara rapai, mulai dari perekrutan, penyeleksian, penempatan di rumah bordil milik Jepang, hingga tamu-tamu yang harus dilayani, yang hampir semuanya adalah orang Jepang. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pada masa Jepang kegiatan prostitusi memiliki bentuknya tersendiri. Pada masa setelah kemerdekaan, bentuk prostitusi yang liar terjadi di hampir seluruh wilayah Jakarta yang terdapat pemukiman padat dan kumuh, seperti di sepanjang rel kereta api Senen, Bongkaran Abang, yang kebetulan lokasinya juga dekat sekali dengan stasiun kereta api Tanah Abang, dan juga di kawasan stasiun Jatinegara.
Tersebarnya praktik-praktik prostitusi liar dan tak terkontrol ini—yang tentu saja sangat rentan terhadap penularan penyait kelamin—disebabkan hingga tahun 1960an di Jakarta tidak ada lokalisasi resmi yang menampung para pelacur. Lokalisasi resmi prostitusi di Jakarta pertama kali diadakan tahun 1970an, yaitu di Kramat Tunggak yang terletak dekat pelabuhan Tanjung Priok. Kramat Tunggak ditetapkan sebagai lokalisasi prostitusi dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973.
3. Faktor-Faktor Penyebab Prostitusi
Salah satu faktor penyebab maraknya praktek prostitusi di Jakarta dalam tiga lintas kekuasaan adalah kemiskinan. Kondisi ekonomi penduduk pribumi pada masa kolonial umumnya dalam keadaan subsisten, karena sebagian tanah mereka disewa untuk ditanami tanaman komoditi eksport. Ketika pengaruh ekonomi uang semakin kuat dan meluas di kalangan penduduk pedesaan yang membawa mereka semakin jauh terlibat dalam ekonomi kapitalistik, kondisi perekonomian penduduk Jakarta pada umumnya tetap miskin dan bahkan semakin tidak menentu ketika terjadi depresi ekonomi pada tahun 1930-an.
Ketika depresi ekonomi memuncak pada sekitar tahun 1930, kondisi sosial dan perekonomian penduduk Jakarta terguncang hebat karena banyak buruh dan tenaga kerja kehilangan pekerjaan akibat banyak peusahaan yang bangkrut, adanya pembatalan proyek-proyek pemerintah akibat krisis tersebut, dan sebagainya, sehingga angka pengangguran pun membengkak. Dengan kondisi sosial dan perekonomian seperti itu41 tidaklah mengherankan jika aktivitas prostitusi di Jakarta cenderung meningkat karena desakan ekonomi. Kondisi demikian juga di dukung oleh kenyataan bahwa sebagian besar tenaga kerja dari luar Jakarta yang sebagian besar kehilangan pekerjaan mereka di desa dan melakukan mobilitas ke Jakarta adalah pria, sehingga tidak mengherankan apabila aktivitas prostitusi kemudian cenderung meningkat. Di tempat-tempat yang merupakan pusat kegiatan perdagangan maupun perekonomian seperti perkebunan, industri/pabrik, dan pelabuhan— seperti halnya Batavia—sering dijumpai praktik-praktik prostitusi yang sulit terkontrol.
Meningkatnya pembangunan dan perluasan jaringan transportasi di Jawa, khususnya jalur kereta api dan jalan raya, sejak masa liberal tahun 1870 dan sesudahnya memacu pula laju urbanisasi orang-orang miskin dari pedesaan ke kota, seperti Jakarta, untuk bekerja di luar sektor agraria. Hal ini pada akhirnya mendorong perkembangan perkampungan buruh, tempattempat penginapan, warung-warung minuman, serta praktek-praktek prostitusi di sekitar stasiun kereta api seperti di sekitar stasiun Kota, Jatinegara, Tanah Abang, juga di sekitar pelabuhan Tanjung Priok. Selain itu, kemiskinan juga menimbulkan semakin banyak gembel dan pengemis di Jakarta, seperti di daerah Pancoran dan Glodok
Faktor lain yang turut memiliki andil besar bagi pesatnya perkembangan prostitusi di Jakarta adalah tingginya arus urbanisasi ke Jakarta. Memasuki masa awal kemerdekaan, keberadaan, posisi, serta peran ibukota Jakarta memang mempunyai arti sangat penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Kondisi perekonomian yang masih memprihatinkan dan tingginya arus urbanisasi penduduk ke ibukota Jakarta pada tahun 1950an, lebih-lebih sejak 1959 perkembangan ibukota menjadi bagian politik mercu suar yang bertujuan membuar RI sebagai inti dari The New Emerging Forces, mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk dengan berbagai eksesnya, seperti kurangnya lapangan kerja, pemukiman, pertanahan, dan masalah sosial dengan tingkat kerawanan tinggi, termasuk perkembangan prostitusi.
E. Dampak Prostitusi dan Upaya Penanggulangannya
Meningkatnya jumlah penderita penyakit kelamin adalah dampak utama dari adanya praktek-praktek prostitusi, terutama bentuk prostitusi liar. Sebagai contoh, tabel 4 di bawah ini menggambarkan jumlah penderita penyakit kelamin pada tahun 1927-1930. Walaupun data tentang peningkatan jumlah penderita penyakit kelamin pada masa Jepang belum ditemukan, namun melihat dari praktek prostitusi pada zaman Jepang yang terorganisir secara rapi, dapat diasumsikan bahwa tetap ada tentara Jepang yang menderita penyakit kelamin, walaupun mungkin tidak sebanyak masa sebelumnya. Setelah kemerdekaan pun penyakit kelamin tetap berkembang dan sulit dibrantas. Penyakit kelamin yang banyak diidap pada masa tahun 1950an sampai 1960an adalah sipilis, di mana sebagian orang dulu mengenalnya sebaga penyakit raja singa, dan bahkan di sebagian wilayah Jakarta ada yang menamakanya penyakit mangga—ini terkait dengan salah satu tempat prostitusi kelas bawah yang berada di Gang Mangga, sekitar jalan Jayakarta sekarang.
Sebenarnya pemerintah DKI Jakarta telah menempuh berbagai upaya untuk mengatasi masalah pelacuran dan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan sering mengadakan rasia oleh trantib untuk menangkap dan kemudian memberi pengarahan kepada para pelacur jalanan, namun cara itu tidak efektif menekan perkembangan prostitusi. Upaya serius dan riil pemerintah daerah Jakarta dalam rangka menekan pertumbuhan prostitusi, yang tentu saja bila berhasil akan menekan pula laju jumlah penderita penyakit kelamin, adalah dengan menetapkan Kramat Tunggak sebagai tempat relokasi pelacur di Jakarta pada tahun 1970 dan kemudian diperkuat dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973.
Kramat Tunggak pada awalnya berada di pinggiran utara kota Jakarta, berlokasi dekat dengan pelabuhan Tanjung Priok. Kramat Tunggak sudah ada sejak tahun 1950an walaupun belum begitu terkenal. Saat itu lokasi praktek prostitusi di Kramat Tunggak masih bercampur dengan rumah-rumah penduduk—tidak berbeda dengan kondisi prostitusi di Bongkaran yang juga bercampur dengan rumah-rumah penduduk. Kramat Tunggak bukan satusatunya lokasi prostitusi di wilayah Jakarta utara. Tempat prostitusi lainnya tersebar antara lain di Kelurahan Cilincing, Kalibaru, Koja Utara, Pejagalan, Pademangan, dan Penjaringan44. Seiring dengan penutupan beberapa lokasi prostitusi, kemudian bermunculan lokasi prostitusi tidak resmi seperti di Rawa Malang, Boker, dan Kali Jodo.Seperti halnya Kramat Tunggak, Kali Jodo juga sudah ada sejak tahun 1950an.
Hingga saat ini lokalisasi Kali Jodo masih tetap eksis walaupun telah ada upaya untuk menutup lokasi itu digantikan dengan kegiatan keagamaan seperti halnya yang telah terealisasi di kawasan Kramat Tunggak yang kini berdiri kokoh Islamic Centre. Lembah hitam bernama Kramat Tunggak itu memang secara resmi telah ditutup oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanggal 31 Desember 1999, dan di atas lahan seluas kurang lebih 10,9 hektar tersebut dibangun Jakarta Islamic Centre. Namun, upaya-upaya tersebut belum mampu menghentikan atau mengurangi praktik prostitusi, karena upaya yang ditempuh lebih cenderung bersifat instant—membongkar atau merazia tempat-tempat prostitusi dan kemudian menangkapi para pelacur–dan tidak pernah berupaya memecahkan persoalan yang sebenarnya, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa menjamin mereka untuk tidak kembali ke dunia prostitusi.
Selain itu, kurangnya sanksi atau hukuman bagi laki-laki hidung belang yang menikmati jasa para pelacur mengakibatkan para penikmat perempuan malam itu tidak merasa jera. Selama tidak ada solusi pemecahan persoalan pelacuran yang tepat, maka upaya-upaya yang telah dan akan ditempuh ibaratnya seperti meremas sebuah balon, di mana bagian yang ditekan akan cenderung tenggelam dan tidak tampak, akan tetapi bagian yang lain akan menonjol lebih besar. Hal ini persis seperti apa yang terjadi dengan persoalan prostitusi di Jakarta; begitu satu lokalisasi dirazia dan ditutup, maka akan muncul lokalisasi-lokalisasi lainnya.
F. Kesimpulan
Praktik-praktik prostitusi di Jakarta sudah ada sejak masa awal kekuasaan Hindia Belanda, dikarenakan jumlah perempuan Eropa dan Cina di Batavia lebih sedikit dibandingkan jumlah prianya. Perkembangan prostitusi pertama di Jakarta terkonsentrasi di kawasan Macao Po (sekarang Jakarta Kota) pada abad XVII, yang kemudian semakin meluas ke daerah gang Mangga, gang Hauber, dan Kaligot. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, terutama abad XIX, pemerintah Hindia Belanda menganggap perlu adanya upaya penyegaran dan hiburan bagi tentaranya dengan mengijinkan mereka untuk pergi ke tempat-tempat pelacuran guna menghilangkan stres dan rasa jenuh.
Di sini pemerintah ikut terlibat dalam urusan prostitusi walau sekedar ‘membiarkan’. Pada periode ini dominasi pelacur orang Cina, Indo, dan Jepang seolah meneggelamkan para pelacur orang Indonesia yang juga mulai bertambah banyak. Para konsumennya pun pada periode ini sebagian besar adalah para serdadu Belanda dan orang Eropa lainnya, termasuk juga para Cina kaya. Pada masa pendudukan Jepang, ketika segala sektor kehidupan dikontrol secara ketat dan cenderung represif, maka kondisi ini pun berpengaruh pada perkembangan prostitusi, di mana hampir semua praktek prstitusi ‘didominasi’ dan diawasi oleh Jepang secara ketat.
Selain pemerintah Pendudukan Tentara Jepang, para aparat desa pun turut terlibat dalam perekrutan perempuan-perempuan Indonesia untuk dijadikan pelacur pada masa Jepang. Selain orang Jepang, orang Indonesia pun ada yang dipercaya mengelola rumah bordil Jepang. Karena rumah bordil Jepang dikontrol ketat, maka tidak heran jika pelanggannya pun hampir semua orang Jepang, baik sipil maupun militer. Sementara pada masa pasca kemerdekaan, pemerintah pun “secara tersembunyi” terlibat dalam praktek-praktek prostitusi di Jakarta. Pada awal tahun 1950an banyak pelacur di Jakarta berasal dari Jawa Barat, khususnya Indramayu. Mucikari atau germonya pun kebanyakan adalah orang yang dulu menjadi pelacur atau bergulat dengan dunia prostitusi Ekonomi (kemiskinan) merupakan faktor pendorong utama tumbuh suburnya prostitusi di Jakarta.
Kondisi politik dan perkonomian penduduk Indonesia yang tidak menentu sepanjang masa revolusi fisik, menyebabkan sebagian rakyat hidup miskin. Karena semakin sempitnya lahan pertanian di kampung dan adanya keinginan untuk mendapat pekerjaan yang mudah di kota, mendorong penduduk desa melakukan urbanisasi ke kota Jakarta. Adapun arus urbanisasi yang sangat tinggi ke Jakarta pada tahun 1950an semakin memantapan eksistensi praktek-praktek prostitusi, karena semakin banyak permintaan akan jasa layanan seks. Berbagai upaya upaya telah dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi praktik-praktik prostitusi.
Pada masa Belanda misalnya, upaya untuk menganggulangi penyebaran prostitusi telah dilakukan dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur tanggal 15 Juli tahun 1852 No.1, mengenai peraturan untuk menanggulangi penyebaran prostitusi. Selain itu ada juga Besluit Gubernur Jenderal tanggal 21 Januari 1874 N0.14, tentang peraturan pemberantasan prostitusi. Sementara salah satu upaya pemerintah Jakarta menaggulangi prostitusi adalah dengan menetapkan Kramat Tunggak sebagai tempat relokasi pelacur di Jakarta pada tahun 1970 dan kemudian diperkuat dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973.
Namun, berbagai upaya tersebut belum berhasil memberantas prostitusi, karena upaya yang ditempuh cenderung bersifat instant, tidak pernah menyentuh pemecahan persoalan yang sebenarnya, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa menjamin mereka untuk tidak kembali ke dunia prostitusi. Selama tidak ada solusi pemecahan yang tepat, maka berbagai upaya yang telah dan akan ditempuh ibaratnya seperti meremas sebuah balon. di mana bagian yang ditekan akan tenggelam dan tdak tampak tetapi pada bagian lain akan menonjol dan membesar.Hal ini mirip dengan persoalan prostitusi di Jakarta, begitu satu tempat pelacuran dirazia dan ditutup, maka akan bermunculan tempat-tempat pelacuran lainnya
G. Referensi
Arsip, Koran, dan Majalah
Arsip Nasional Republik Indonesia, Penerbitan Naskah Sumber: Perjuangan Mempertahankan Jakarta Masa Awal Proklamasi: Kesaksian Para Pelaku Peristiwa. Jakarta: ANRI, 1998.
Arsip Nasional Republik Indonesia, Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial. Jakarta: ANRI, 2001.
“Macao Po di Kota Inten” , www.republika.co.id., Minggu, 22 Juni 2003.
“Orang-orang Djembel di Pantjoran dan glodok”, dalam Sin Po, 24 Mei 1930.
“Prostitusi Bukan Sekedar Masalah Moral”, dalam Minggu Pagi, No.24, IV, Oktober, 1999.
Branconier, A. De, “Het Prostitutie-vraagstuk in Nederlandsch-Indie”, De Indische Gids, 1933.
Burgelijk Geneeskundige Dienst van 260, tanggal 8 April 1891.
Jaarverslag van den Burgelijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch- Indie over 1923. Weltevreden: G.Kolff &Co., 1923.
Kolonial Verslag, 1931, 1941.
Makmoer, Tahun I, 25 Desember 1945.
Merdeka, 2 Juli 1955.
Onderzoek Naar De Mindere Welvaart der Inlandscche Bevolking op Java en Madoera, Vol.Ixb. Batavia: Drukkerij & Co., 1912
Pandji Poestaka, No.3, 25 April 1943
Republika, Minggu, 22 Juni 2003.
Republika, Minggu, 25 Juni 2005.
Buku, Jurnal, dan Makalah
Abeyasekere, Susan, Jakarta A History. Singapore : Oxford University Press, 1989.
Azuma, Yoshifumi, Abang Beca. Sekejam-kejamnya Ibu Tiri Masih Lebih Kejam Ibukota. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Berdoeri, Tjamboek, Indonesia dalan Api dan Bara. Jakarta: ELKASA, 2004.
Brown, Louise, Sex Slaves. Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Kata pengantar Sulistyowati Iranto. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Cruetzberg, P. dan J.T.M. van Laanen (eds), Sejarah Statistik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987.
Darmarastri, Hayu Adi, “Keberadaan Nyai di Batavia, 1870-1928”, dalam Lembaran Sejarah, vol.4, No.2, 2002.
Hadiz, L. S. Aripurnami, S.Sabaroedin, “Perempuan dan Industri Seks” dalam INFID (ed.), Pembangunan di Indonesia,Memandang dari Sisi Lain. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1993.
Hanna, Willard A., Hikayat Jakarta, penerjemah Mien Josbhar dan Ishak Zahir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Hartono, A. Budi dan Dadang Juliantoro, Derta Paksa Perempuan. Kisah Jugun Ianfu pada Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan LBH Yogyakarta, Yayasan Lampera Indonesia, dan The Ford Foundation, 1997.
Hull, Terence H., Endang Sulistyaningsih, dan Gavin W. Jones, Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.
Ingleson, John, “Prostitution in Colonial Java”, dalam David P. Chandler dan M.C. Ricklefs (eds.), Nineteenth and Twentieth Century Indonesia, Essays in Honor of Professor J.D. Legge. Victoria: Southeast Asian Studies, 1986.
Jones, Gavin W., Endang S., dan Terence H.Hull, “Prostitution in Indonesia”, Working Paper in Demography (Research School of social Sciences no.52). Canberra: The Australian National University, 1995
Koentjoro, Tutur dari Sarang Pelacur. Yogyakarta: Tinta, 2004.
Kusuma, Hembing Wijaya, Pembantaian Massal 1740. Tragedi Berdarah Angke. Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005.
M.D., Sagimun, Jakarta: Dari Tepian Air ke Kota Proklamasi. Jakarta: Pemda Khusus Ibukota Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah, 1988.
Mokoginta, Lukman, Jakarta untuk Rakyat. Jakarta: Yayasan SATTWIKA, 1999.
Onghokham, “Orang Indonesia: Bukan Makhluk Ekonomi”, dalam Onghokham, Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang ( Jakarta: Freedom Institute, 2003), hlm.136. PD. Pasar Jaya, Pasar Tanah Abang 250 Tahun. Jakarta: Pasar Pusat Tanah Abang PD Jaya, 1982.
Rahardjo, Supratikno, MPB.Manus, dan P.Suryo H., Sunda Kelapa sebagai Bandar di Jalan Sutera. Jakarta: Depdikbud RI, 1996.
Saidi, Ridwan, Profil Orang Betawi. Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya. Jakarta: PT Guara Kata 2004.
Soehoed, A.R., Reklamasi Laut Dangkal. Canal Estate Pantai Mutiara Pluit: Perekayasaan dan Pelaksanaan Reklamasi bagi Proyek Pantai Mutiara di Pluit Jakarta. Jakarta: Djambatan, 2004.
Suparlan, Parsudi, Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Surjomihardjo, Abdurrachman, Sejarah Perkembangan Kota Jakarta. Cetakan keempat Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran Propinsi DKI Jakarta, 1999/2000.
Toer, ramudya Ananta, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001.
Troung, Thanh Dam, Seks, Uang, dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1992.
Wawancara
Wawancara dengan Bapak Ahmad Sofyan (65 tahun), asli pernduduk Betawi, tanggal 25 Maret 2005.
Wawancara dengan Bapak Amar (58 tahun), seorang warga yang tinggal di daerah lokalisasi Bongkaran, Tanah Abang, 1 Oktober 2005.
Wawancara dengan Bapak Darmo Suwito (71 tahun), 23 Mei 1999.
Wawancara dengan Bapak Sapar (78 tahun), 15 April 2005. Wawancara dengan Ibu Amah (67 tahun), 30 Sepetember 2005.
Wawancara dengan H. Ali Abu Bakar Shahab (90 tahun), 21 Mei 2006.
Artikel, 08 April 2009